MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN

Sabtu, 19 September 2015

1. Pengertian Kualitas Pendidikan 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mutu adalah baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya (Depdiknas, 2001:768). Secara umum kualitas atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat (Depdiknas, 2002:7). Dalam pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible atau intangible. Mutu yang tangible artinya dapat diamati dan dilihat dalam bentuk kualitas suatu benda atau dalam bentuk kegiatan dan perilaku. Misalnya televisi yang bermutu karena mempunyai daya tahan (tidak cepat rusak), warna gambarnya jelas, suara terdengar bagus, dan suku cadangnya mudah didapat, perilaku yang menarik, dan sebagainya. Sedangkan mutu yang intagible adalah suatu kualitas yang tidak dapat secara langsung dilihat atau diamati, tetapi dapat dirasakan dan dialami, misalnya suasana disiplin, keakraban, kebersihan dan sebagainya (Suryosubroto, 2004:210). 

Mutu pendidikan dapat dilihat dalam dua hal, yakni mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah berbagai input, seperti bahan ajar, metodologi, sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Sedangkan mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta dan Ebtanas). Dapat pula di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah-raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya computer, beragam jenis teknik, jasa dan sebagainya. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana, disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya (Suryosubroto, 2004: 210-211). UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS melihat pendidikan dari segi proses dengan dengan merumuskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” (Fokusmedia, 2003:3). 

Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif (Edward & Sallis, 1993, dalam Nurkolis, 2003: 67; Daniel C. Kambey, 2004:10- 12). Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang melebihi. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu membayarnya. 

Sedangkan dalam konsep relatif, kualitas berarti memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Oleh karena itu kualitas bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai alat ukur atas produk akhir dari standar yang ditentukan. Produk yang berkualitas adalah sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Definisi kualitas dalam konsep relatif memiliki dua aspek, yaitu dilihat dari sudut pandang produsen, maka kualitas adalah mengukur berdasarkan spesifikasi yang ditetapkan dan dari sudut pandang pelanggan maka kualitas untuk memenuhi tuntutan pelanggan (Edward Sallis, 1993, dalam Nurkolis 2003:68). 

Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal adalah kepala sekolah, guru dan staf kependidikan lainnya. Pelanggan eksternal ada tiga kelompok, yaitu pelanggan eksternal primer, pelanggan sekunder, dan pelanggan tersier. Pelangan eksternal primer adalah peserta didik. Pelanggan eksternal sekunder adalah orang tua dan para pemimpin pemerintahan. Pelanggan eksternal tersier adalah pasar kerja dan masyarakat luas ( Kamisa, 1997, dalam Nurkolis, 2003: 70 – 71; lih. juga Senduk J.E., 2006: 110). 

Berdasarkan konsep relatif tentang kualitas, maka pendidikan yang berkualitas apabila: 
  1. Pelanggan internal berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan kreatifitasnya. 
  2. Pelanggan eksternal : 
  • Eksternal primer (para siswa) : menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik dalam bahasa nasional dan internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, siap secara kognitif untuk pekerjaan yang kompleks, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, dan menjadi warga Negara yang bertanggung-jawab secara sosial, politik dan budaya (Phillip Hallinger, 1998, dalam Nurkolis, 2003:71). Intinya para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya. (Kartini Kartono, 1997:11).
  • Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan): mendapatkan konstribusi dan sumbangan yang positif. Misalnya para lulusan dapat memenuhi harapan orang tua dan pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan. 
  • Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) : para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. 
2. Kualitas Pendidikan yang Direncanakan 
Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang baik. Dalam perencanaan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi, strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan memiliki kriteria penilaian (Nurkolis, 2003:74-78). Suksesnya perencanaan pendidikan diperlukan beberapa kondisi, yakni: 
  1. Adanya komitmen politik, 
  2. Perencana pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung-jawabnya, 
  3. Harus ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administratif, 
  4. Perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis, 
  5. Perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah, 
  6. Tugas utama perencana pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan alternative teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik pendidikan, 
  7. Harus mengurangi politisasi pengetahuan, 
  8. Harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan, 
  9. Administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan pendidikan, 
  10. Ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kerja-sama yang saling menguntungkan antara pemerintah-swasta-universitas yang memegang otoritas pendidikan. 
Dalam perencanaan pendidikan ada dua strategi penting, yaitu 
  1. Penetapan target dan 
  2. Penetapan prioritas. Menyangkut strategi yang kedua terdapat enam area kritis yang harus dipertimbangkan, yaitu pilihan antara tingkat pendidikan, pilihan antara kuantitas dan kualitas, pilihan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pengetahuan budaya, pilihan antara pendidikan formal dan pelatihan nonformal, pilihan tentang insentif serta pilihan tentang tujuan pendidikan.
Langkah-langkah dalam perencanaan pendidikan adalah kegiatan analisis keadaan sekarang, perkiraan keadaan yang akan datang, perumusan tujuan yang akan dicapai, analisis dan diagnosis, pengembangan alternatif, proses pengambilan keputusan, penentuan kebijakan, penentuan program dan prioritas, perhitungan anggaran, perumusan rencana, penyusunan rincian-rencana, evaluasi rencana dan revisi rencana. 

Dalam perencanaan pendidikan, terdapat tujuh kriteria penilaian desain dan implementasi kualitas program akademik, yaitu atraktif, bermanfaat, kongruen, berciri khusus, efektif, fungsional dan pertumbuhan siswa. Program pendidikan yang berkualitas apabila: 
  • Menarik atau atraktif bagi pelanggan, dan responsif terhadap kebutuhan dan ketertarikan populasi khusus saat itu atau calon siswa.
  • Memperhatikan masalah, kebutuhan dan perhatian masyarakat serta bermanfaat bagi pelanggan. 
  • Kongruen, artinya terdapat kesesuaian antara yang ditawarkan dengan kenyataan. 
  • Memiliki cirri khusus atau berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain (distinctive). 
  • Efektif, artinya hasil belajar yang dimaksud telah didefinisikan secara jelas dan pencapaian belajar didokumentasikan serta dikomunikasikan secara persuasif. Oleh karena itu perlu ada evaluasi untuk mengetahui hasil yang diharapkan sudah tercapai atau belum. 
  • Fungsional, artinya memiliki kebebasan belajar dan menfokuskan pada pengalaman belajar yang akan mempersiapkan dan membantu peserta didik untuk mengembangkan intelektualitas, personal, pekerjaan atau keterampilan khusus, etika dan sikap yang akan bermanfaat dalam kehidupan. 
  • Memperhatikan kebutuhan dan pertumbuhan peserta didik dalam segala aspeknya (kognitif, afektif, moral, sosial, fisik, dan dimensi-dimensi intrapersonal). 
3. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan 
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 
  • meningkatkan ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scholastic Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil portofolio (portofolio profile), 
  • membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (cooperative learning), 
  • menciptakan kesempatan belajar baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur,
4) Meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 

5) Membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan, bertindak sebagai sumber kontak informal tenaga kerja, membimbing siswa menilai pekerjaan-pekerjaan, membimbing siswa membuat daftar riwayatr hidupnya dan mengembangkan portofolio pencarian pekerjaan (John Bishop, dlm Nurkolis, 2003: 78-79). 

Kualitas pendidikan dapat ditempuh dengan menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh Edward Deming, Paine, dkk tahun 1982 (Daniel Kambey, 2004:34-45; Suryosubroto, 2004:198). TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus-menerus di mana lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan di masa mendatang. TQM Merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu : 
  • fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 
  • memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, 
  • menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, 
  • memiliki 5 komitmen jangka panjang, 
  • membutuhkan kerja-sama tim (team work), 
  • memperbaiki proses secara berkesinambungan, 
  • menyelenggarakan pendidikan dan latihan, 
  • memberikan kebebasan yang terkendali, 
  • memiliki kesatuan tujuan, dan 
  • adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
4. Manajemen Berbasis Sekolah sebagai alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan 
Dari penguraian tentang peningkatan kualitas pendidikan di atas kalau dicermati, nampak jelas pentingnya peranan sekolah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Aktifitas dan dinamika pendidikan termasuk di dalamnya soal kualitas pendidikan bukan pertama-tama ditentukan oleh pihak dari luar sekolah, melainkan oleh sekolah yang bersangkutan dalam interkasinya dengan para pelanggan. Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal yang terdepan dengan berbagai keragaman, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi yang otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinastif untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. (Soebagio Atmodiwirio, 2000:5-6). Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (school based quality management/school based quality improvement) (Suryosubroto, 2004:204-205). 

Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa-dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi (Nurkolis, 2003: 81). 

Untuk mendapatkan kualitas seperti apa yang diinginkan maka MBS harus didesain secara matang. Fullan dan Watson (1999) mengajukan dua pertanyaan yang ditujukan kepada desainer MBS ketika mendesain kualitas sekolah, yang meliputi: 
  • Apa yang ingin kita raih, yaitu apakah akhir dari penerapan MBS ini?, dan 
  • Bagaimana cara mencapainya dan kondisi-kondisi apa yang berkaitan dengan pencapaian tujuan yang lebih utama ? 
Melalui dua pertanyaan itu kemudian mereka menyarankan bahwa MBS tidak berarti membiarkan desentralisasi sekolah dan masyarakat menurut cara mereka sendiri. Wohlstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri atas : 
  1. menetapkan secara jelas visi dan hasil yang diharapkan, 
  2. menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 
  3. adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 
  4. tingkat kepemimpinan yang kuat dan dukungan politik dan dukungan kepemimpinan dari atas, 
  5. pembangunan kelembagaan (capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru, dan anggota dewan sekolah,
  6. adanya keadilan dalam pendanaan atau pembiayaan pendidikan. (Nurkolis, 2003:81-82). 
2. MODEL-MODEL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH 
Model-model MBS yang dimaksudkan di sini adalah model-model MBS yang diterapkan di beberapa Negara. Selanjutnya dari studi tentang model-model MBS di beberapa negara akan diketengahkan tentang model MBS yang ideal. Model-model MBS yang diterapkan di beberapa negara semuanya mengarah pada satu titik, yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap negara tak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian difokuskan untuk ditingkatkan kinerjanya (Nurkolis, 2003: 86-111). 

1. Model MBS di Hongkong 
Di Hong Kong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hong Kong yang mendorong munculnya MBS adalah struktur dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung-jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, tidak adanya atau tidak memadainya pengukuran kinerja, penekanan lebih pada pengawasan yang terinci daripada kerangka tanggung-jawab dan akuntabilitas, dan penekanan lebih pada control pembiayaan daripada efektifitas pembiayaan. Prinsip utama system MBS Hong Kong adalah telaah ulang (review) terus-menerus terhadap dasar pembelajaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi yang sistematis terhadap hasil, penegasan tanggung-jawab lebih baik, hubungan yang erat antara tanggung-jawab sumber daya dan tanggung-jawab manajemen, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana (Nurkolis, 2003:87-88; Ibtisam Abu-Duhou, 2002:30-31).Model MBS Hong Kong menekankan pentingnya inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan. Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan tanggung-jawab masing-masing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Tansparansi dan akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah, tetapi juga dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya (Nurkolis, 2003:88). 

2. Model MBS di Kanada 
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat, pengadaan peralatan pembelajaran semuanya dari pusat, dan pelayanan pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sungkowo (2002). Ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum, alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja (Nurkolis, 2003:89). Untuk menjamin akuntabilitas, proses monitoring diselenggarakan. Para siswa di kelas 3,6,9 dan 12 secara regular diuji untuk bidang pelajaran bahasa, ilmu-ilmu social, matematika, dan ilmu alam. Setiap tahun survei pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka 7 merangking tingkat kepuasan mereka dalam kaitannya dengan serangkaian isu-isu mengenai peran mreeka yang berbeda. Kemudian diumumkan secara terbuka. Data spesifik sekolah dan beberapa analisis perbandingan mengenai kinerja beberapa sekolah di suatu wilayah tersedia bagi sekolah-sekolah yang relevan dan atas permintaan, bagi para orang tua dan pihak lainnya (Caldwell dan Spinks, 1992, dalam Ibtisam Abu-Duhou, 2002:29-30).

3. Model MBS di Amerika Serikat 
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggung-jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah (district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang perannya, terutama hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan. Penerapan MBS di Amerika Serikat terjadi akibat adanya reformasi pendidikan yang terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1970-an pada saat sekolah-sekolah di distrik menerapkan Side-Based Management (SBM). Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kurikulum dan ujian nasional. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1980-an, dan MBS mulai diterapkan secara serius. Gelombang kedua terjadi dengan pengurangan keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah federal. Berbagai upaya baik individu dan organisasi mulai bergerak untuk menerapkan dan mengembangkan MBS dengan keyakinan bahwa penyerahan pengelolaan sumber daya ke tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini karena sekolah dapat mengembangkan diversifikasi pendekatan dan strategi untuk mencapai tujuannya (Nurkolis 2003: 91; Ibtisam Abu-Duhou, 2002:40-49). Menurut Wirt (1991), seperti yang dikutip oleh Ibtisam Abu-Duhou (2002:41-42), model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di negara-negara federal, ada dua ciri utama Reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni : 
  • Desentralisasi administratif: kantor pusat Otoritas Pendidikan Lokal menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilkasanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah lokal masih bertanggung-jawab ke atas.
  • Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orangtua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf. Di sini kewenangan pembuatan keputusan adalah lokal, sedangkan tanggung-jawab tidak ditujukan ke atas, tetapi ke masyarakat yang dilayani sekolah.
Di samping dua ciri utama di atas, karakteristik MBS di Amerika Serikat nampak pula dengan adanya sekolah-sekolah khusus (semacam sekolah kejuruan). Inti dari sekolah khusus terdiri dari elemen-elemen berikut : pilihan pendidikan bagi para siswa, orang tua dan guru; sekolah khusus menganut serta mewujudkan proses demokrasi di sekolah umum; desentralisasi; keseimbangan otonomi dan akuntabilitas melalui sekolah khusus; dan sistem lebih digerakkan oleh pasar (Muholland, 1993, dalam Ibtisam AbuDuhou, 2002:48-49). 

4. Model MBS di Inggris 
Model MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS) atau Manajemen Dana Swakelola pada Tingkat Lokal. Ada enam perubahan struktural guna mefasilitasi pelaksanaan MBS di Inggris (Sungkowo, 2002 dalam Nurkolis, 2003:92-93; Ibtisam AbuDuhou, 2002:34-35), yakni : 
  1. Kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh pemerintah (Whitehall); 
  2. Ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11,14 dan 16; 
  3. MBS dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah; 
  4. Adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 
  5. Kewenangan Inner London Education dilimpahkan kepada tigas belas otoritas pemerintah; 
  6. Skema manajemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti : 
  • peran serta secara terbuka pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan lokal, 
  • alokasi sumber daya dirumuskan oleh masing-masing sekolah, 
  • ditentukan prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai kegiatannya, 
  • memberdayakan badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan dana untuk guru dan staf, dan 
  • memberikan informasi kepada orang tua mengenai prestasi guru. 
Di Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen politik dengan adanya Undang-undang Pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas. 

5. Model MBS di Australia 
Di Australia lebih dari seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan pendidikan di atur oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan pada awal tahun 1970-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan desentralisasi administratif. Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi : 
Pertama, menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih di antara tiga kemungkinan, yaitu Standart Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option – 1 (EO 1), dan Enhanced Flexibility Option 2 (EO 2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan. Keempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya sekolah (Nurkolis, 2003:95). 

6. Model MBS di Prancis 
Di Prancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan pendidikannya sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun 1982-1984, di mana otoritas lokal memiliki tanggung-jawab terhadap dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk program-program khusus yang dilaksanakan sekolah (Nurkolis, 2003:96-97). 

7. Model MBS di Nikaragua 
Model MBS di Nikaragua difokuskan pada mendesentralisaskan pengeloaan sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah  (consenjos directivos). Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang berpendapat bahwa sekolah otonom (centros autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ditekankan pada keterlibatan orang tua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik sumber daya dari masyarakat lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan sumbangan tenaga. MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan. Dewan sekolah memiliki otoritas legal yang luas untuk mengangkat dan memberhentikan staf, pimpinan sekolah, penyesuaian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru. Dewan sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan dan dalam hal kurikulum yang dianggap sesuai ((Nurkolis, 2003:99-100). 

8. Model MBS di Selandia Baru
 Di Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang mayoritas anggotanya terdiri dari orang tua siswa yang keanggotannya disetujui oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang membuat kerangka kerja operasional sekolah. Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan didesentralisasikan ke masing-masing sekolah yang kemudian disebut School-Based Budget (SBB). Staf akan disleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989 dikeluarkan UU Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem pendidikan dijalankan secara desentralistik. Di samping adanya dewan sekolah (komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang memiliki tanggung-jawab untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk di antaranya pemilihan guru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja kurikulum nasional msih akan berlakunamun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khsusu kepada siswanya. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah (Nurkolis, 2003: 100-1002, lih. Juga Ibtisam Abu-Duhou, 2002:37-40). 

9. Model MBS di El Salvador 
Model MBS di El Salvador disebut Community Mangred Schools Program (CMSP), kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participacion de la Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung-jawab menjalankan sekolah. Filosofi dari program EDUCO adalah pertama, bahwa orang-orang lokal dapat menjalankan sekolah di dalam komunitas mereka secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang sentralistik. Kedua, perlunya para orang tua tua siswa terlibat secara langsung di dalam pendidikan anakanaknya. Faktor penggerak dari program ini adalah sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orang tua siswa yang memiliki tanggung-jawab untuk pengadministrasian sekolah (lih. Nurkolis, 2003:103-104)

10. Model MBS di Indonesia 
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis, 2003:107, lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu (Depdiknas, 2002:3-4).

Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut : tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,2002:4)



September 19, 2015

0 comments:

Posting Komentar