PENDIDIKAN
MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
(Based
on 3 of 10 URL About “Pendidikan Ki Hajar Dewantara”)
A. Kaitan Ajaran-Ajaran Pendidikan Menurut Ki Hajar Dengan 4 Pilar Pendidikan Menurut UNESCO dan Pertentangan ajaran KHD dengan Linguistic Imperialism Berdasarkan 3 URL Terpilih.
- Kaitan (Kesamaan) antara pendidikan menurut Ki Hajar dengan 4 Pilar Pendidikan UNESCO Komisi pendidikan untuk abad 21 (UNESCO 1996) melihat bahwa hakikatnya pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning). Sehingga UNESCO sejak tahun 1997 sudah mulai menggali kembali dan memperkenalkan The Four Pillars of Education untuk mengantisipasi perubahan yang bukan hanya linear tetapi mungkin eksponensial yang diantisipasi akan terjadi dalam masyarakat yang mengglobal. Empat pilar yang dimaksud adalah :
- Learning to know (belajar untuk mengetahui) Definisi learning to know bagi siswa berarti dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan. Artinya siswa memiliki pemahaman dan penalaran yang bermakna terhadap produk dan proses pendidikan (apa, bagaimana, dan mengapa) yang memadai. Mereka diharapkan pada pembelajarannya tidak hanya berhenti pada prosesnya, mengetahui pengetahuan-pengetahuan/ilmu-ilmu yang telah di pelajari, tetapi mereka diharapkan memahami serta menguasai secara dalam dan luas akan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan tersebut. Pilar ini memiliki kesamaan dengan ajaran Ki Hajar Dewantara bahwa perserta didik janganlah mandeg hanya sekedar mengetahui atau menghafal ilmu yang telah dipelajari namun tentu saja peserta didik harus memahami serta menguasai ilmu pengetahuan tersebut. Karena hanya sekedar mengetahui tidaklah cukup jika tanpa dibarengi dengan pemahaman dan penguasaan yang lebih mendalam.
- Learning to do (belajar untuk menerapkan): Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi. Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Ditekankan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna “Active Learning ” peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standart kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan mengali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah informasi dan mengambil keputusan (information procesing and making skill) serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Siswa memiliki keterampilan dan dapat melaksanakan proses pembelajaran yang memadai untuk memacu peningkatan perkembangan intelektualnya. Menurut Ki Hajar Dewantara, seorang anak yang telah mengetahui dan paham tentang suatu ilmu pengetahuan, dia juga harus bisa melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuan yang didapatkannya. Mencari informasi, menemukan informasi, menggali lebih dalam tentang informasi tersebut, mengolah informasi yang telah didapatkan, mengambil keputusan apa yang harus dilakukan berdasarkan informasi itu, kemudian mencoba menyelesaikan masalah yang ditemui pada informasi tersebut.
- Learning to be (belajar menjadi sesuatu): Belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri. Tentu saja untuk menjadi diri sendiri, siswa harus memiliki kepercayaan diri. Perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus “berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan dengan orang lain. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri. Jika sang anak menguasai pengetahuan dan keterampilan yang baik maka dia akan menjadi mandiri dan percaya diri untuk mewujudkan tujuan bersama. Bukan hanya mandiri dan percaya diri saja, namun bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya juga nenjadi sikap dasar seorang anak dalam kehidupannya. Ki Hajarpun berpendapat bahwa pendidikan yang berhasil adalah pendidikan dimana sang anak mampu mandiri dan memperoleh kepercayaan diri serta dapat bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya. Karakter ini sangat memnbatu siswa untuk membangun dirinya seperti apa yang dia impikan. Dengan begitu siswa dapat mengetahui seperti apa dirinya kelak dengan hasil pembelajaran ilmu yang dia dapatkan.
- Learning to live together (belajar untuk hidup bersama): Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya. Learning to live together maksudnya dengan siswa mengetahui dan siswa dapat melakukan sesuatu dari apa yang mereka pelajari, selanjutnya mereka dapat melakukannya untuk diri mereka sendiri sendiri dan juga untuk orang lain yang ada di sekitarnya. Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Belajar hidup bersama dapat mengembangkan pengertian atas diri orang lain dengan cara mengenali diri sendiri serta menghargai ke-saling-tergantung-an, melaksanakan bersama dan belajar mengatasi konflik dengan semangat menghargai nilai pluralitas, saling-mengerti dan perdamaian. Dari sudut pandang Ki Hajar Dewantara, learning to live together ini berarti siswa mampu mengamalkan ilmu yang telah didapatkan sehingga dapat bermanfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri namun juga bagi masyarakat. Jika disimpulkan maka 4 pilar ini sesuai dengan ajaran Tamansiswa yang disebut “Tringo” ( ngerti, ngrasa,lan nglakoni ) yaitu, bahwa terhadap ajaran hidup dan cita-cita hidup diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Karena tahu dan ngerti saja tidaklah cukup kalau, tidak merasakan dan menyadari serta tidak berarti jika tidak melaksanakan dan memperjuangkannya. Sebaliknya, merasa saja dengan tidak mengerti dan tidak melaksanakannya atau; menjalankan tanpa dengan kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu, prasyarat bagi peserta didik adalah ia harus tahu ajaran dan cita-cita hidupnya. Dan ia harus merasa dan sadar dengan arti hidup dan cita-citanya, apa perlunya bagi diri-sendiri dan masyarakat serta harus mengamalkan ilmunya tersebut.Selain itu, pilar-pilar etrsebut juga sesuaidengan konsep pengembangan budaya Ki Hajar yang dikenal dengan ”Konsep Trihayu” yang terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, dan mamayu hayuning bawana. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.
2) Kaitan (Kesamaan) antara pendidikan menurut Ki Hajar dengan 4 Pilar Pendidikan UNESCO bagi Guru
a. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
Guru harus dapat memberikan pengetahuan bagi siswanya. Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya. Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Selain itu, guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
b. Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Guru tidak hanya berhenti pada satu titik –siswa cukup tahu- tentang pengetahuan yang diberikan. Namun, disini guru bertugas untuk mengajarkan siswa bagaimana menerapkan atau melakukan/mengaplikasikan sesuatu berdasarkan dari ilmu yang diberikan. Tentu saja hal ini bertujuan agar para siswa tidak hanya sekedar tahu namun dapat melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang telah diberikan serta memecahkan suatu masalah.
c. Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Guru mendorong/memotivasi siswa untuk menjadi sesuatu, menjadi seseorang yang ‘sebenarnya’. Dengan memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk siswa hingga ia mampu menguasai ilmu tersebut, secara tidak langsung guru telah membantu siswa memupuk keinginan untuk mulai berpikir nantinya ia ingin menjadi seperti apa. Tentu saja pengembangan sikap mandiri dan percaya diri harus selalu diberikan/dicontohkan oleh guru sehingga dia memiliki bekal yang baik dimasa yang akan datang. Belajar untuk bertanggung jawab agar mencapai tujuan bersama yang diinginkan juga menjadi PR penting bagi guru untuk menjadikan siswanya matang dimasa depan
d. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Tidak hanya sampai pada learning to be, guru harus memberikan contoh learning to live together. Dimana mengajarkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Menggunakan ilmu yang telah didapatkannya dalam masyarakat dan berguna/bermanfaat bagi khalayak umum.
Dalam kehidupan global, siswa tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama) oleh karena itu guru memegang peranan penting untuk mengejarkan siswanya berkehidupan dalam lingkungan bermasyarakat.
Jika dilihat secara keseluruhan, 4 pilar ini memiliki kemiripan dengan sistem amongyang digagas oleh Ki Hajar. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari Sistem Among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
Selain itu 4 pilar ini juga memiliki kemiripan dengan konsep dasar pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai fungsi dari seorang guru yaitu:
Dari pembahasan diatas maka jelaslah bahwa konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara memiliki inti yang sama dengan 4 pilar dari UNESCO. Padahal kenyataannya sistem pendidikan KHD sudah ada jauh sebelum dicetuskannya 4 pilar UNESCO. Tentu saja kita patut berbangga hati bahwa sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara bisa jadi menjadi dasar dari 4 pilar yang dibuat UNESCO, who knows?? Oleh sebab itu, marilah kita mengamalkan sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara ini dalam pengaplikasian pengajaran disekolah.
2. Pertentangan ajaran KHD dengan Linguistic Imperialism Berdasarkan 3 URL Terpilih.
Dilihat dari sudut pandang manapun, ajaran Tamansiswa (Ki Hajar Dewantara) dan Linguistic Imperialism sangatlah bertentangan. Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa ajaran KHD sangatlah bersifat Nasionalis dan menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia. Konsep pendidikan beliau didasarkan pada situasi serta kondisi yang ada pada bangsa kita ini. Dalam hal ini, pengembangan karakter siswa pun menjadi poin penting yang harus ada dalam sistem pendidikan KHD.
Dalam proses belajar mengajar secara umum penulis jarang menjumpai metode/tehnik mengajar yang sesuai dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara. Kebanyakan yang dipakai oleh para guru saat ini ialah metode/tehnik pendidikan ala barat. Padahal kita semua mengetahui bahwa beliau adalah seorang pemikir pendidikan asli Indonesia yang telah memperjuangkan pendidikan untuk rakyat dan beliau juga lebih mengetahui harus bagaimana konsep pendidikan untuk Indonesia itu sendiri yang sesuai dengan konteks realita di Indonesia. Hal ini telah mengacu pada pertumbuhan linguistic imperialism di Indonesia. Contohnya saja pada proses pembelajaran bahasa Inggris. Saat ini, bahasa Inggris dipandang sebagai suatu hal yang mewah. Siswa yang mampu berbahasa Inggris/pintar dalam pelajaran bahasa Inggris akan dianggap menjadi siswa yang pintar. Bahasa Inggrispun kini menjadi trend komunikasi dikalangan muda bahkan menjadi titik strata sosial suatu masyarakat. Sungguh menjadi ironi, dimana bahasa Indonesia kian lama kian terkikis dengan adannya linguistic imperialism, bahkan bahasa daerah yang menjadi cirri khas bangsa Indonesia juga mulai terlupakan. Padahal jelas ajaran KHD mengatakan bahwa suksesnya sebuah pendidikan adalah jika peserta didik mampu meninggikan derajat harkat martabat bangsanya, mampu mempertahankan kebudayaan dan rasa nasionalisnya dimata bangsa lain melalui hasil pendidikannya yang sistem pendidikannya berasal murni dari bangsa kita sendiri.
Guru sebagai tenaga pendidikpun selalu memuja-muja bahasa Inggris. Bahasa Inggris dijadikan tolak ukur kesuksesan dirinya sebagai seorang guru. Jika peserta didiknya mampu berbahasa Inggris, maka dia akan berbangga hati karena merasa sukses menjadi seorang guru. Namun, jika peserta didiknya gagal dalam bahasa Inggris, maka ia akan merasa gagal menjadi seorang guru. Memang benar dari segi pelajaran dia sukses, namun jika dilihat dari konsep guru sebagai pengajar/pengembang karakter siswa yang sesuai dengan beangsa Indonesia tentu saja dia telah gagal total.
Dalam berbagai tulisan tentang pendidikan yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia yaitu pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia.
Menurut KHD, yang membedakan manuasi dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya, bukan terkungkung dan bangga akan budaya asing yang masuk dan menggeser budaya asli bangsa kita sendiri.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu maksudnya dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria. Yang mana jika sikap pendidikan kita seperti ini maka dapat mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (nasionalisme). Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Dari penjabaran diatas, jelaslah bahwa linguistics imperialisme memberikan dampak buruk bagi perkembangan pendidikan di Indonesia khususnya perkembangan karakter para peserta didik. Jika, linguistics imperialism ini tetap dipertahankan, maka tidak diragukan lagi kebudayaan dan rasa nasionalisme kita semakin lama akan semakin etrkikis dan lenyap begitu saja. Boleh saja mengajarkanbahasa Inggris namun jangan mendewakan bahasa Inggris. Kita terlahir sebagai orang Indonesia, dengan bahasa nasional bahasa Indonesia, oleh karena itu jangan lupakan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan kita ini. Boleh menggunakan bahasa Indonesia namun ingat tetap budayakan menggunakan bahasa daerah yang menjadi cirri khas bangsa Indonesia. Tidak ada larangan untuk mengadopsi sistem pendidikan bangsa lain, namun akan lebih baik jika kita menggunakan sistem pendidikan bangsa kita sendiri yang tentu saja jelas sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita sendiri. Karena benar bangsa yang kuat-bangsa yang besar adalah bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan kebudayaan yang ada di bangsa itu sendiri.
a. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
Guru harus dapat memberikan pengetahuan bagi siswanya. Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya. Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Selain itu, guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
b. Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Guru tidak hanya berhenti pada satu titik –siswa cukup tahu- tentang pengetahuan yang diberikan. Namun, disini guru bertugas untuk mengajarkan siswa bagaimana menerapkan atau melakukan/mengaplikasikan sesuatu berdasarkan dari ilmu yang diberikan. Tentu saja hal ini bertujuan agar para siswa tidak hanya sekedar tahu namun dapat melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang telah diberikan serta memecahkan suatu masalah.
c. Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Guru mendorong/memotivasi siswa untuk menjadi sesuatu, menjadi seseorang yang ‘sebenarnya’. Dengan memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk siswa hingga ia mampu menguasai ilmu tersebut, secara tidak langsung guru telah membantu siswa memupuk keinginan untuk mulai berpikir nantinya ia ingin menjadi seperti apa. Tentu saja pengembangan sikap mandiri dan percaya diri harus selalu diberikan/dicontohkan oleh guru sehingga dia memiliki bekal yang baik dimasa yang akan datang. Belajar untuk bertanggung jawab agar mencapai tujuan bersama yang diinginkan juga menjadi PR penting bagi guru untuk menjadikan siswanya matang dimasa depan
d. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Tidak hanya sampai pada learning to be, guru harus memberikan contoh learning to live together. Dimana mengajarkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Menggunakan ilmu yang telah didapatkannya dalam masyarakat dan berguna/bermanfaat bagi khalayak umum.
Dalam kehidupan global, siswa tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama) oleh karena itu guru memegang peranan penting untuk mengejarkan siswanya berkehidupan dalam lingkungan bermasyarakat.
Jika dilihat secara keseluruhan, 4 pilar ini memiliki kemiripan dengan sistem amongyang digagas oleh Ki Hajar. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari Sistem Among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
Selain itu 4 pilar ini juga memiliki kemiripan dengan konsep dasar pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai fungsi dari seorang guru yaitu:
- Ing ngarsa sun tuladha : Seorang guru apabila di depan selain sebagai meneger, tetapi juga memberikan contoh ( modeling ) baik sebagai konservator maupun inovator bagi peserta didik.
- Ing madya mangun karsa : Seorang guru apabila berada di tengah-tengah peserta didik harus bisa membangkitkan motivasi ( motivator ) dan fasilitas ( fasilitator ) atau sebagai mitra ( partner ) untuk meningkatkan produktifitas pembelajaran agar mencapai hasil belajar.
- Tut wuri handayani : Seorang guru apabila berada di belakang harus bisa mendorong ( motivator ) dan membimbing ( directur ) siswa supaya senantiasa maju.
Dari pembahasan diatas maka jelaslah bahwa konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara memiliki inti yang sama dengan 4 pilar dari UNESCO. Padahal kenyataannya sistem pendidikan KHD sudah ada jauh sebelum dicetuskannya 4 pilar UNESCO. Tentu saja kita patut berbangga hati bahwa sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara bisa jadi menjadi dasar dari 4 pilar yang dibuat UNESCO, who knows?? Oleh sebab itu, marilah kita mengamalkan sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara ini dalam pengaplikasian pengajaran disekolah.
2. Pertentangan ajaran KHD dengan Linguistic Imperialism Berdasarkan 3 URL Terpilih.
Dilihat dari sudut pandang manapun, ajaran Tamansiswa (Ki Hajar Dewantara) dan Linguistic Imperialism sangatlah bertentangan. Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa ajaran KHD sangatlah bersifat Nasionalis dan menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia. Konsep pendidikan beliau didasarkan pada situasi serta kondisi yang ada pada bangsa kita ini. Dalam hal ini, pengembangan karakter siswa pun menjadi poin penting yang harus ada dalam sistem pendidikan KHD.
Dalam proses belajar mengajar secara umum penulis jarang menjumpai metode/tehnik mengajar yang sesuai dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara. Kebanyakan yang dipakai oleh para guru saat ini ialah metode/tehnik pendidikan ala barat. Padahal kita semua mengetahui bahwa beliau adalah seorang pemikir pendidikan asli Indonesia yang telah memperjuangkan pendidikan untuk rakyat dan beliau juga lebih mengetahui harus bagaimana konsep pendidikan untuk Indonesia itu sendiri yang sesuai dengan konteks realita di Indonesia. Hal ini telah mengacu pada pertumbuhan linguistic imperialism di Indonesia. Contohnya saja pada proses pembelajaran bahasa Inggris. Saat ini, bahasa Inggris dipandang sebagai suatu hal yang mewah. Siswa yang mampu berbahasa Inggris/pintar dalam pelajaran bahasa Inggris akan dianggap menjadi siswa yang pintar. Bahasa Inggrispun kini menjadi trend komunikasi dikalangan muda bahkan menjadi titik strata sosial suatu masyarakat. Sungguh menjadi ironi, dimana bahasa Indonesia kian lama kian terkikis dengan adannya linguistic imperialism, bahkan bahasa daerah yang menjadi cirri khas bangsa Indonesia juga mulai terlupakan. Padahal jelas ajaran KHD mengatakan bahwa suksesnya sebuah pendidikan adalah jika peserta didik mampu meninggikan derajat harkat martabat bangsanya, mampu mempertahankan kebudayaan dan rasa nasionalisnya dimata bangsa lain melalui hasil pendidikannya yang sistem pendidikannya berasal murni dari bangsa kita sendiri.
Guru sebagai tenaga pendidikpun selalu memuja-muja bahasa Inggris. Bahasa Inggris dijadikan tolak ukur kesuksesan dirinya sebagai seorang guru. Jika peserta didiknya mampu berbahasa Inggris, maka dia akan berbangga hati karena merasa sukses menjadi seorang guru. Namun, jika peserta didiknya gagal dalam bahasa Inggris, maka ia akan merasa gagal menjadi seorang guru. Memang benar dari segi pelajaran dia sukses, namun jika dilihat dari konsep guru sebagai pengajar/pengembang karakter siswa yang sesuai dengan beangsa Indonesia tentu saja dia telah gagal total.
Dalam berbagai tulisan tentang pendidikan yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia yaitu pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia.
Menurut KHD, yang membedakan manuasi dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya, bukan terkungkung dan bangga akan budaya asing yang masuk dan menggeser budaya asli bangsa kita sendiri.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu maksudnya dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria. Yang mana jika sikap pendidikan kita seperti ini maka dapat mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (nasionalisme). Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Dari penjabaran diatas, jelaslah bahwa linguistics imperialisme memberikan dampak buruk bagi perkembangan pendidikan di Indonesia khususnya perkembangan karakter para peserta didik. Jika, linguistics imperialism ini tetap dipertahankan, maka tidak diragukan lagi kebudayaan dan rasa nasionalisme kita semakin lama akan semakin etrkikis dan lenyap begitu saja. Boleh saja mengajarkanbahasa Inggris namun jangan mendewakan bahasa Inggris. Kita terlahir sebagai orang Indonesia, dengan bahasa nasional bahasa Indonesia, oleh karena itu jangan lupakan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan kita ini. Boleh menggunakan bahasa Indonesia namun ingat tetap budayakan menggunakan bahasa daerah yang menjadi cirri khas bangsa Indonesia. Tidak ada larangan untuk mengadopsi sistem pendidikan bangsa lain, namun akan lebih baik jika kita menggunakan sistem pendidikan bangsa kita sendiri yang tentu saja jelas sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita sendiri. Karena benar bangsa yang kuat-bangsa yang besar adalah bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan kebudayaan yang ada di bangsa itu sendiri.
0 comments:
Posting Komentar