KUNCI SUKSES PENDIDIKAN KARAKTER

Senin, 23 November 2015

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter. 

Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang untuk menerima secara cerdas sesuatu yang seharusnya dilakukan. pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), yaitu mencakup pemahaman mengneai macam-macam nilai moral seperti menghormati hak hidup, kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan dan kedisiplinan. penentuan sudut pandang (perspective taking), yaitu kemampuan menggunakan cara pandang orang lain dalam melihat sesuatu. logika moral (moral reasoning), adalah kemampuan individu untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik atau buruk. keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), yaitu kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling baik dari sekian banyak pilihan. dan pengenalan diri (self knowledge), yaitu kemampan individu untuk menilai diri sendiri. Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan untuk mengisi ranah kognitif mereka. 

Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentukbentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). 

Kata hati memiliki dua sisi yaitu mengetahui apa yang baik, dan rasa wajib untuk mengerjakan yang baik itu. Penghargaan diri adalah penilaian serta penghargaan terhadap diri kita sendiri. Empati adalah penempatan diri kita pada posisi orang lain yang merupakan aspek emosional dari “prespective taking”. Cinta kebaikan merupakan unsur karakter yang paling tinggi yang mencakup kemurnian rasa tertarik pada hal yang baik. Pengendalian diri adalah kesadaran dan kesediaan untuk menekan perasaannya sendiri agar tidak melahirkan perilaku yang melebihi kewajaran. Sedang “humanity” merupakan aspek emosi dari “selfknowledge” yang berbentuk keterbukaan yang murni terhadap kebenaran dan kemampuan untu bertindak mengoreksi kesalahan sendiri.

Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Perilaku moral (Moral Acting) sebagai outcome akan dengan mudah muncul baik berupa competence, will, maupun habits. 

Perilaku moral adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan dan perasaan moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan perasaan moral yang baik akan kecenderungan menunjukkan perilaku moral yang baik pula. Kemampuan moral adalah kebiasaan untuk mewujudkan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk perilaku nyata. Kemauan moral adalah mobilisasi energi atau daya dan tenaga untuk dapat melahirkan tindakan atau erilaku moral. Sedangkan kebiasaan moral adalah pengulangan secara sadar perwujudan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk perlaku moral yang terus menerus. 

Interelasi antara moral knowing, moral feeling dan moral doing, digambarkan oleh Lickona sebagai berikut:

Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Identifikasi Karakter 
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu – dan seharusnya- mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar perilaku individu. Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah; 
  1. cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 
  2. tanggung jawab, disiplin dan mandiri, 
  3. jujur, 
  4. hormat dan santun, 
  5. kasih sayang, peduli, dan kerja sama, 
  6. percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 
  7. keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan 
  8. toleransi, cinta damai dan persatuan 
Sementara Character CountsdiAmerikamengidentfikasikan bahwa karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; 
  1. dapat dipercaya (trustworthiness), 
  2. rasa hormat dan perhatian (respect), 
  3. tanggung jawab (responsibility), 
  4. jujur (fairness), 
  5. peduli (caring), 
  6. kewarganegaraan (citizenship), 
  7. ketulusan (honesty), berani (courage), 
  8. tekun (diligence) dan 
  9. integritas
Kemudian Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al-Asmâ al-Husnâ. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari nama-nama Allah itu, Ari merangkumnya dalam 7 karakter dasar, yaitu jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja sama. 

Begitu pula Covey menawarkan 8 kebiasaan dalam mengambangkan karakter, yakni: habit-1, Vision atau bersikap proaktif (principles of personal), habit-2, memulai dengan akhir dalam pikiran (principles of personal Leadershif), habit-3, mendahulukan yang Utama (Principles of Personal Management), habit-4, berpikir menangmenang (principles of interpersonal Leadership), habit-5, berusaha mengerti terlebih dahulu (Pathos) sebelum dimengerti (logos), (Principles of Emphathetic Communication), habit-7, kebiasaa pembauran diri (Principles of Balanced Self-Renewal), Habit-8, Menggali dan menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi kepada orang lain untuk menemukan potensinya. 

Begitu pula dengan pendidikan karakter yang dilakukan oleh Universitas Negeri Jakarta mengidentifikasi karakter yang akan di bangun dalam civitas akademika berupa 7 Kebiasaan, yaitu: 1) Kejujuran (fairness) ; 2) terbuka; 3) Disiplin; 4) Komitmen; 5) tanggung Jawab (responsibility); 6) Menghargai/menghormati; 7) Berbagi (caring) 

Pembiasaan pertama, adalah kejujuran. Kejujuran adalah kemampuan seseorang untuk menyatakan sesuatu yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah. Kejujuran merupakan barang yang sangat mahal harganya dewasa ini pada bangsa kita, karena apabila kita melihat kondisi bangsa ini, konsep kejujuran ini seolah sirna, kita bisa melihat bagaimana tindakan para koruptor dari pemerintahan tingkat atas hingga pemerintahan di tingkat RT/RW seolah sangat sulit untuk dihentikan. Begitupun ketidak jujuran di lingkungan civitas akademika. Banyak mahasiswa bahwak dosen yang melakukan plagiasi atau mencontek ketika ujian. Adapun pembiasaan yang dilakukan adalah dengan stop mencontek, stop plagiasi. Stop berbohong berani mengatakan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi, ditambah atau dikurangi. Kejujuran itu adalah indah. 

Pembiasaan kedua, yaitu terbuka. Keterbukaan adalah karakter di mana seseorang terbuka, transparan dan tidak menutup-nutipi sesuatu untuk kepentingan tertentu. Adapun perwujudannya adalah dapat dengan pribadi yang bersikap adil, bersih, memiliki wawasan luas, serta terbuka terhadap perubahan dan masukan. 

Pembiasaan ketiga adalah disiplin. Disiplin adalah sikap diri untuk selalu tepat waktu dan selalu mentaati aturan dengan kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab. 

Pembiasaan keempat adalah komitmen. Komitmen dalam bahasa sederhananya adalah memenuhi janji sesuai dengan hati nurani yang luhur. Orang yang mempu berkomitmen adalah orang yang dapat dipercaya, karena dirinya sudah memperlihatkan tanggung jawab, jujur dan dapat diandalkan. 

Pembiasaan kelima adalah tanggung jawab (responsibility). Adalah kemampuan merespon atau ”ability to respon”, artinya memberikan perhatian kepada orang lain, dan memperhatikan kebutuhannya. Berbekal dengan kejujuran dan sikap terbuka, seseorang akan berani mengambil resiko dari setiap kata dan perbuatannya. Ia berani melakukan apa saja dengan penuh rasa tanggung jawab. Perwujudannya adalah pribadi yang tampil dalam sikap berani, (bukan nekat atau pengecut), tegar, sabar, dan bersih diri. 

Pembiasaan keenam adalah menghargai atau menghormati (respect), menghormati adalah sikap yang menunjukkan penghargaan terhadap orang lain atau sesuatu. Ada tiga jenis rasa hormat yakni hormat pada diri sendiri, hormat pada orang lain, dan hormat pada segala bentuk kehidupan dan lingkungan. Sementara tanggung jawab adalah perluasan dari rasat hormat. 

Dan pembiasaan ketujuh adalah Berbagi (share), di dasari oleh empati yang tinggi maka sikap berbagi adalah suatu sikap seseorang yang selalu mau berbagi dalam hal apasaja terhadap orang lain yang membutuhkan.



November 23, 2015

0 comments:

Posting Komentar