Sedih kita melihat alam Indonesia yang begitu luas dan kaya, makin habis dan rusak. Bencana alam terjadi dimana-mana, meninggalkan sejuta tangis, derita, dan kenangan pahit bagi anak cucu kita. Lingkungan menjadi tidak bersahabat lagi. Orang begitu cemas dengan bencana alam, apalagi melihat dan mengingat bencana Tsunami di Aceh yang meninggalkan berjuta tangis dan derita berkepanjangan hingga kini. Krisis lahan di Kalimantan Selatan, akibat tambang yang membuat kota tersebut bagai kota mati. Kebakaran hutan di Kalimantan Timur, yang mempengaruhi status hutan Kaltim sebagai salah satu paru-paru dunia.
Krisis banjir dimana-mana yang menyisakan derita dan tangis bagi banyak orang. Krisis lingkungan hidup yang kita hadapi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan pemahaman manusia, yang berbasis pada cara pandang antroposentris. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam seisinya hanyalah alat bagi pemuasan kepentingan mereka. Kesalahan cara pandang tersebut telah menyebabkan kekeliruan manusia dalam menempatkan diri ketika berperilaku di dalam ekosistemnya. Akibat dari kekeliruan tersebut telah menimbulkan berbagai bencana lingkungan hidup yang akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Keraf (2002), kesalahan fundamental filosofis yang terjadi pada manusia adalah bahwa mereka menempatkan posisi dirinya sebagai pusat dari alam semesta, sehingga mereka dapat melakukan apa saja terhadap alam demi pemenuhan segala kebutuhannya. Dengan kata lain, sumberdaya yang lain diposisikan sebagai sub-ordinatnya. Kesalahan cara pandang yang demikian ternyata telah menyebabkan krisis lingkungan yang berkepanjangan, dan kita sadari sumbernya terletak pada masalah moral manusia untuk mematuhi etika lingkungan.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, dan itu berkaitan dengan perilaku manusia (Keraf, 2002). Dengan demikian krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Penanaman nilai moral tidak dapat dilakukan secara mendadak, tetapi harus mengikuti perjalanan hidup manusia, mulai dari anak-dewasa hingga tua. Sutaryono (1999) mengistilahkannya sebagai pendidikan sepanjang usia (life long education).
Krisis vs Etika Lingkungan
Etika diartikan sebagai kebiasaan hidup yang baik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup yang baik sebagai manusia. Etika merupakan ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia. Kaidah, norma dan aturan tersebut sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik dan penting. Dengan demikian etika berisi prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku. Secara luas, etika dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Mengacu pada pemahaman tersebut maka etika lingkungan hidup pada hakekatnya membicarakan mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam, serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut. Etika lingkungan hidup berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam dan juga relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam, dan antara manusia dengan makhluk hidup yang lain atau dengan alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam.
Pendidikan Lingkungan
Penyelesaian terhadap krisis-krisis lingkungan tidak sekedar melalui pendekatan teknis saja, tetapi juga melalui pendekatan moral. Dengan membangun moral yang baik, akan menjadi modal utama bagi manusia untuk berperilaku etis dalam mengatur hubungan antara dirinya dengan alam semesta. Penyelesaian masalah lingkungan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Hal ini disebabkan karena sifat interdependency yang melekat pada lingkungan hidup menuntut kerjasama multipihak secara serentak dan menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Pentingnya kelestarian lingkungan hidup untuk masa sekarang hingga masa yang akan datang, secara eksplisit menunjukkan bahwa perjuangan manusia untuk menyelamatkan lingkungan hidup harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan jaminan estafet antargenerasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penanaman pondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan, agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang kokoh. Pendidikan Lingkungan diharapkan mampu menjembatani dan mendidik manusia agar berperilaku bijak.
Waryono dan Didit (2001) menyatakan, masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis, sebagai generasi bangsa di masa mendatang. Jika pengetahuan dan cara yang ditanamankan pada masa kanak-kanak itu benar, dapat diharapkan ketika berubah ke masa remaja dan dewasa, bekal pengetahuan, pembentukan perilaku serta sikap dalam dirinya terhadap sesuatu akan positif.
Masa remaja dan dewasa pada dasarnya merupakan masa mencari identitas dan realisasi diri. Pada masa ini sering sangat sulit untuk mengubah wawasan dasar yang telah terpola dan melekat dalam dirinya sejak kecil.
Dengan demikian sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan hidup sejak dini melalui anak-anak secara terprogram dan berkelanjutan, hingga pada saatnya akan tercipta insan-insan pribadi bangsa yang utuh. Lantas, bagaimana format pendidikan lingkungan untuk generasi muda? Waryono dan Didit (2001) menyatakan bahwa pendidikan lingkungan kepada generasi muda dapat dilakukan lewat jalur pendidikan formal dan informal. Pendidikan Lingkungan secara formal dilakukan melalui kurikulum sekolah dan pemanfaatan potensi lingkungan yang ada di sekitarnya. Bentuk materi dapat dikemas secara integratif di dalam mata pelajaran sekolah, atau dikembangkan sebagai materi yang berdiri sendiri sebagai mata ajaran muatan lokal. Penyelenggaraan paket pendidikan ini dapat bersifat outdoor education menyatu dengan alam.
Penutup
Pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jangka pendek. Karena itu perlu ditetapkan strategi pengelolaan yang menjamin keberlanjutan, keadilan dan berdaya guna tinggi. Upaya untuk meraih strategi tersebut dijembatani dengan pembekalan para pelaku secara berkesinambungan. Program Pendidikan Lingkungan menyangkut skala yang sangat luas, sehingga perlu partisipasi dan kerjasama berbagai pihak, agar hasilnya optimal dan bebas konflik. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian anak terhadap lingkungan melalui kegiatan teori dan praktek dalam bentuk teori, diskusi, permainan, serta observasi lapangan dan menanamkan nilai-nilai konservasi alam dan lingkungan sedini mungkin pada siswa dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap konservasi alam dan lingkungan sejak dini.
Generasi muda menjadi asset pembangunan masa depan yang harus diprioritaskan. Dengan membekali mereka tentang nilai-nilai etika lingkungan yang sangat penting untuk membekali moralnya agar bijaksana dalam memperlakukan lingkungan hidupnya. Generasi muda, sebagai aset pelaku pembangunan di masa mendatang, perlu mendapatkan prioritas utama dalam menerima Pendidikan Lingkungan, agar sejak dini mereka paham akan hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Pendidikan Lingkungan akan menjamin terjadinya suasana yang harmonis antara manusia dengan alamnya, sehingga di alam tidak akan muncul kekhawatiran terhadap bencana yang akan melanda. Marilah kita pekakan hati dan perilaku anak cucu kita, generasi muda bangsa kita pada etika lingkungan yang benar. Biarlah hati mereka peka akan kelestarian lingkungan, agar kelak Indonesia boleh lestari kembali dengan berjuta kekayaan alamnya yang luar biasa indahnya. Hutan adalah 'sahabat' kita, yang harus selalu terjaga kebersamaannya dengan kita.
SELAMATKAN SUMBERDAYA HAYATI, LINDUNGI RAKYAT DARI KEKERASAN
Pada tanggal 9-20 Februari 2004 di Kualalumpur, Malaysia berlangsung pertemuan ke tujuh para pihak untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati (Conference of Parties on The Convention on Biological Diversity/COP 7 CBD). Pertemuan ini, yang juga merupakan peringatan 10 tahun Konvensi ini, akan menekankan pada krisis ekologi yang terjadi di bumi. Target untuk tahun 2010 adalah penurunan tingkat kepunahan sumberdaya hayati di tingkat global, regional dan nasional. Fokus bahasan utama dalam pertemuan mendatang adalah mengenai fungsi kawasan konservasi dalam penyelamatan keanekaragaman hayati, ekosistem pegunungan, dan transfer teknologi.
Namun demikian, 10 tahun setelah konvensi ini diratifikasi, kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia kian memprihatinkan. Komitmen pemerintah di tingkat global sering tidak berarti apa-apa dalam prakteknya di tingkat nasional dan lokal. Salah satu ukuran yang sering dikutip dalam upaya penyelamatan sumberdaya hayati adalah penetapan kawasan konservasi. Namun cerita konservasi di Indonesia identik dengan konflik dan kekerasan.
"Konservasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan sumber kehidupan masyarakat. Namun, konsep kawasan konservasi di Indonesia justru menegasikan hak rakyat atas sumber kehidupannya. Berbagai komitmen global yang ditandatangani pemerintah hanya berlaku di atas kertas," tandas Longgena Ginting, Direktur Eksekutif WALHI.
Eskalasi konflik di kawasan konservasi timbul akibat penetapan kawasan konservasi yang sepihak dan menggunakan pendekatan fortress conservation (konservasi benteng), dimana masyarakat dianggap sebagai ancaman terhadap upaya konservasi dan karenanya dibatasi aksesnya ke kawasan tersebut.
"Pemerintah menegasikan hak rakyat atas kawasan yang telah turun temurun mereka huni dan kelola, tapi di sisi lain memberikan hak tersebut kepada pihak ketiga, seperti organisasi konservasi dan atau sektor bisnis, untuk memanfaatkan kawasan tersebut. Hal ini yang menyulut konflik dan menjadikan upaya konservasi sebagai momok bagi keberlanjutan hidup masyarakat," kecam Emil Kleden dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pedas.
Peminggiran hak masyarakat berdampak pada meningkatnya ancaman terhadap sumberdaya hayati itu sendiri. Masyarakat tidak merasa memiliki dan merasa berkewajiban untuk menjaga sumberdaya tersebut. Akibatnya, laju kerusakan sumberdaya hayati cenderung meningkat dari waktu ke waktu dengan skala global.
"Pemberian restu pemerintah kepada 22 perusahaan tambang skala besar yang akan membuka operasinya di kawasan lindung membuktikan bahwa kawasan lindung menjadi alat privatisasi pemerintah lewat penggusuran rakyat di sekitar kawasan, kemudian menggadaikannya kepada sektor bisnis. Model Pengelolaan Kawasan Lindung seperti ini menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat dan menjadi penyebab utama Krisis keanekaragaman hayati itu sendiri," ungkap Siti Maimunah dari JATAM.
Sisi lain dari pemanfaatan sumberdaya hayati adalah teknologi rekayasa genetik. Teknologi rekayasa genetik yang seyogyanya direspon dengan kehati-hatian dini dinegasikan dampak negatifnya dan rakyatlah yang akhirnya harus menanggung dampak negatif dari keteledoran pemerintah. Contoh kasus yang masih segar dalam ingatan adalah kasus pelepasan tanaman kapas transgenik oleh Monsanto di Sulawesi Selatan tanpa melalui kajian resiko dan manajemen resiko serta tanpa adanya peraturan keamanan hayati.
"Mengingat ancaman komersialisasi produk rekayasa genetik terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat Indonesia, maka Indonesia perlu segera meratifikasi Protokol Keamanan Hayati dan membuat peraturan keamanan hayati dalam bentuk undang-undang. Sebelum ada undang-undang keamanan hayati terwujud, sudah seharusnya pemerintah menghentikan segala bentuk uji lapang atau pelepasann komersial produk transgenik,"ungkap Tejo Wahyu Djatmiko, Direktur Eksekutif Konphalindo. Karenanya WALHI, AMAN, JARING PELA, JATAM dan KONPHALINDO mendesak kepada pemerintah RI, khususnya delegasi RI untuk COP 7 CBD untuk:
- Mengubah tata laksana hukum, kebijakan dan program konservasi sumberdaya hayati agar memberikan perlindungan dan hak kepada rakyat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati dan kawasan konservasi.
- Memberikan komitmen untuk tidak memprivatisasi kawasan baik lewatkonsesi maupun alih fungsi menjadi kawasan eksploitasi dengan menyatakan Kawasan lindung tidak untuk privatisasi.
- Menghentikan upaya perluasan kawasan konservasi sebelum konflik hak atas tanah dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang berada di kawasan konservasi diselesaikan.
- Meratifikasi protokol Cartagena untuk menjamin prinsip kehati-hatian dini sehubungan dengan teknologi rekayasa genetik dan segera membuat UU Keamanan Hayati.
- Menjamin akses dan kontrol masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hayati secara berkelanjutan.
- Melaksanakan prinsip 'sama tapi berbeda tanggungjawab' ('common butdifferentiated' responsibility) untuk semua pihak yang terkait dan berkepentingan dalam konservasi sumberdaya hayati.
- Menggalang solidaritas antar negara selatan untuk lebih memperketatperaturan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hayati
1. Peran Lokasi Penimbunan Limbah
1) Tujuan penimbunan limbah
Tujuan pembuatan penimbunan limbah ialah menstabilkan limbah padat dan membuatnya menjadi bersih melalui penyimpanan limbah secara benar dan penggunaan fungsi metabolis alami yang benar.
2) Klasifikasi lokasi penimbunan limbah
Tabel 1. Klasifikasi Struktur Penimbunan limbah
Gambar 1. Klasifikasi struktur penimbunan limbah
Struktur penimbunan limbah semi-aerobik
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2, penimbunan limbah semi-aerobik memungkinkan terjadinya proses masuknya udara melalui pipa penampung lindi yang dipasang di dasar penimbunan limbah, yang membantu memperbesar terjadinya proses aerobik, dan membuat bakteri aerobik menjadi aktif, serta mempercepat terjadinya dekomposisi limbah.
Gambar 2. Jenis Penimbunan limbah dan Sistem Penampungan Lindi
Selanjutnya kegiatan ini akan membuat mutu dari lindi menjadi lebih baik dengan terjadinya penurunan kepekatan lindi, juga mengurangi terbentuknya gas berbahaya, yang seluruhnya dapat menimbulkan stabilisasi lokasi dari penimbunan limbah menjadi lebih cepat. Lihat Gambar 3.
Gambar 3. Perubahan Kadar Kepekatan Lindi dalam BOD sesuai dengan jenis Penimbunan
Fasilitas lokasi Penimbunan Limbah Saniter Khusus
Lokasi penimbunan limbah dapat melaksanakan fungsinya hanya apabila kita memiliki rancangan dan cara kerja yang baik. Rancangan yang baik dengan cara kerja yang buruk atau rancangan yang buruk dengan cara kerja yang baik tidak akan menimbulkan hasil yang baik. Lihat Gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi konsep Lokasi Penimbunan limbah Sanitasi Khusus
PENCEGAHAN POLUSI SEKUNDER :
1. Keadaan sekarang dan masa depan lokasi penimbunan limbah
Umumnya orang tidak menghendaki lokasi penimbunan limbah dibuat dekat dengan tempat tinggal mereka karena hal ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan warga setempat. Dampak negatif demikian disebut "polusi sekunder" mengingat tujuan utama lokasi penimbunan limbah ialah menghindari polusi lingkungan hidup di daerah kota dengan membawa limbah dari daerah kota, dan menampungnya di lokasi penimbunan limbah yang baik.
Meskipun demikian, lokasi penimbunan limbah merupakan fasilitas umum yang sangat diperlukan bagi setiap kota modern di dunia.
Oleh karena itu, setiap kota perlu merencanakan dan merancang lokasi penimbunan limbah dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat .
Guna membuat lokasi penimbunan limbah yang dapat diterima masyarakat setempat, polusi sekunder dan dampak buruk yang ditimbulkannya perlu diperkecil.
Perlu juga untuk dirumuskan rencana pemakaian lokasi paska-penutupan dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat setempat.
2. Polusi sekunder yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah
a. Pencemaran air
Lindi yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah, jika tidak diolah akan, mencemarkan sungai, laut dan air tanah.
b. Pembentukan gas
Gas utama yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah adalah metan, amonium, hidrogen sulfida, dan karbon dioksida.
c. Bau tak sedap
Ada dua jenis bau tak enak yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah. Pertama adalah bau yang ditimbulkan dari limbahnya sendiri, yang lainnya adalah gas yang ditimbulkan melalui dekomposisi limbah.
d. Hama dan vektor
Limbah dapur cenderung menjadi sarang lalat, dan menarik tikus dan burung gagak.
e. Kebisingan dan getaran
Kendaraan angkutan limbah yang masuk dan peralatan penimbunan limbah dapat menjadi sumber kebisingan dan getaran.
f. Kebakaran
Kebakaran dapat terjadi secara spontan akibat pembentukan gas metan atau pemakaian bahan kimia. Kebakaran juga dapat disebabkan oleh para pemulung atau orang lain.
3. Pencegahan polusi sekunder dengan menggunakan tanah penutup
Jika kita ingin mencegah polusi sekunder dengan sempurna dengan mendirikan fasilitas pengolahan air limbah, misalnya, sejumlah besar uang dan teknologi tinggi diperlukan.
Penggunaan tanah penutup, meskipun tidak sempurna dalam pencegahan polusi sekunder, dianjurkan karena cara ini ekonomis dan efektif.
Bahan penutup seperti tanah harus digunakan untuk menutup limbah padat dengan cepat setelah diturunkan.
Setelah penurunan limbah terakhir setiap hari, tanah penutup limbah harus dikumpulkan pada lerengan lapisan limbah yang harus diatur setiap hari.
Aplikasi tanah penutup sebagaimana mestinya akan cukup banyak mengurangi polusi sekunder.
4. Efektifitas metode tanah penutup
Penggunaan tanah penutup, akan memberi manfaat dan pengaruh sebagai berikut:
- Pencegahan terjadinya penyebaran sampah
- Pencegahan terjadinya bau tak sedap
- Menyingkirkan hama dan vektor
- Pencegahan kebakaran serta penyebarannya
- Penyempurnaan lansekap
- Pengurangan pembentukan lindi
Sebagaimana disebutkan di atas, aplikasi tanah penutup sangat efektif dalam pencegahan polusi lingkungan hidup.
Bahan tanah penutup tidak perlu yang harus dibeli. Limbah tanah, limbah pembongkaran, atau limbah lama dapat digunakan sebagai tanah penutup.
0 comments:
Posting Komentar