Penyebab dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Pendahuluan
Persoalan energi menjadi wacana hangat yang sering diperbincangkan di belahan dunia. Mulai dari meningkatnya harga minyak dunia, spekulasi di komoditas minyak sampai dengan substitusi energi fosil ke biofuel yang mengancam produksi pangan. Di Indonesia wacana ini tidak kalah serunya, masyarakat disuguhi pemberitaan menurunnya lifting minyak dalam negeri yang diikuti dengan tren meningkatnya impor minyak nasional. Selain itu, akibat meningkatnya harga minyak dunia, PLN kesulitan memenuhi pasokan energi listrik untuk industri dan rumah tangga. Berbagai problematika seputar energi kembali menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat pada 2007 lalu.
Menghadapi situasi seperti ini masyarakat tersadarkan kembali bahwa energi memegang peranan yang sangat penting bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Energi adalah jantung yang memompa denyut nadi perekonomian. Berbagai hasil pembangunan terutama infrastruktur dan mesin industri menjadi tidak optimal tanpa ketersediaan energi yang mencukupi. Lebih parahnya, kenaikan harga minyak menjadi efek domino bagi sektor energi lain yaitu listrik. Penyediaan energi listrik menjadi ikut terganggu akibat meningkatnya harga minyak. Ketika konsumen minyak (termasuk PLN) mencoba mensubstitusi dengan sumber energi lain, hukum ekonomi pun bekerja, batubara sebagai pengganti BBM harganya juga ikut naik, demikian pula harga gas elpiji dan energi alternatif lainnya juga mengalami kenaikan.
Sejatinya, wacana pentingnya energi dalam perekonomian bukan hal yang baru lagi. Bahkan kalau mau ditelusuri lebih jauh bisa ditarik mulai sejak dilakukannya revolusi industri atau mungkin sejak adanya kegiatan ekonomi itu sendiri. Namun, dalam perkembangannya wacana ini juga mengalami pasang surut seiring fluktuasi ekonomi yang terjadi dan kiblat ekonomi yang dianut. Minyak -komoditas energi yang paling dominan digunakan dalam kegiatan ekonomi- bisa dijadikan gambaran perkembangan wacana energi selama ini (Gambar 1.). Ketidaksiapan mengantisipasi kelangkaan energi pada akhirnya menjadi boomerang bahkan bagi negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya seperti Indonesia. Kekayaan alam yang ada sebenarnya bisa menjadi potensi bagi pengembangan berbagai jenis energi apabila tepat pengelolaannya.
Fluktuasi harga minyak dunia (Gambar 1) mewartakan bahwa minyak sebagai komoditas energi eksklusif dalam perekonomian tidak hanya sensitif terhadap isu ekonomi tetapi juga geopolitik, kondisi alam dan kebijakan perminyakan dunia. Pada 1974 harga minyak mulai meningkat drastis karena efek peperangan antara Arab dan Israel pada tahun sebelumnya (1973) yang menyebabkan terjadinya embargo minyak arab. Pada 1980 harga minyak
Gambar 1. Penyebab Fluktuasi Harga Minyak Dunia (1970-2007)
kembali naik menyusul perang Irak-Iran yang berlanjut pada 1981. Setelah tahun 1980-an penyebab fluktuasi harga minyak semakin kompleks dan tidak hanya didominasi oleh faktor geopolitik saja tetapi juga faktor kebijakan, faktor fundamental (terbatasnya stok minyak) hingga yang terbaru ini yaitu adanya faktor spekulasi di pasar berjangka minyak.
Minyak bumi menjadi energi terbesar dalam kegiatan produksi dan distribusi. Apalagi setelah tahun 2000, tren kenaikannya semakin menanjak. Lonjakan harga minyak tanggal 6 Juni 2008 yaitu US$139,12 per barel sebelum akhirnya ditutup pada US$138,54 per barrel mencatat rekor kenaikan tertinggi dalam sehari yaitu sebesar US$10,75 per barrel (Investor Daily, 9 Juni 2008). Tanggal 3 Juli 2008 harga minyak tembus US$ 145,85 per barrel yang kemudian membuat kondisi pasar saham tertekan dan mengalihkan dananya ke pasar komoditas.
Ada beberapa hal yang mendasari naiknya harga minyak dunia saat ini. Lebih lanjut, tulisan ini berusaha mengidentifikasi beberapa penyebab kenaikan harga minyak dunia, problem perminyakan di Indonesia serta efeknya terhadap subsidi energi pada APBN. Tulisan diawali dengan melihat faktor penyebab disertai dengan data empiris dalam upaya mengidentifikasi dan menelusuri penyebab meningkatnya harga minyak saat ini. Kemudian dilanjutkan dengan pengkajian singkat mengenai problematika perminyakan di Indonesia serta perkembangan subsidi energi utamanya setelah meningkatnya harga minyak dunia. Selanjutnya, berbagai solusi mengenai kebijakan energi akan dijadikan sebagai penutup.
2. Penyebab Meningkatnya Harga Minyak Dunia
Apabila dikelompokkan setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab naiknya harga minyak dunia saat ini. Pertama, faktor yang berasal dari sisi permintaan, ini berupa peningkatan permintaan minyak bumi oleh banyak negara terutama negara berkembang yang ingin mengenjot pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini membuat mereka (negara berkembang) memerlukan Bahan Bakar Minyak dalam jumlah yang besar untuk melakukan aktivitas ekonomi terutama produksi dan distribusi. Termasuk dalam bagian ini adalah adanya permintaan yang meningkat dari dua negara yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yakni India dan China. Selain itu, permintaan juga datang dari para trader di pasar berjangka dalam bentuk paper karena keuntungan memegang komoditas minyak ini sangat besar. Perdagangan komoditas minyak sekarang sudah mengalami ’metamorfosis’ karena infiltrasi teknologi informasi yang demikian pesat di pasar berjangka minyak. Pergerakan harga minyak saat ini lebih mirip fluktuasi harga saham di bandingkan layaknya harga sebuah komoditas biasa.
Kedua, faktor dari sisi penawaran, ini berupa kondisi supply minyak bumi dari para pemasok minyak dunia serta posisi kekuatan pasar Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam percaturan bisnis minyak. Dengan lebih menggali perkembangan kondisi sisi supply minyak saat ini serta bargaining position OPEC di kancah perminyakan internasional akan memperjelas sumber peningkatan harga yang lebih dominan. Sehingga sisi penawaran ini juga dianggap cukup krusial untuk ditelusuri sama pentingnya dengan melihat kenaikan harga minyak ini dari sisi permintaan.
Dua faktor sebelumnya (yaitu permintaan dan penawaran) bisa dikatakan sebagai faktor fundamental. Sedangkan yang ketiga adalah faktor-faktor lain di luar kondisi fundamental tetapi masih berkaitan erat dengan peningkatan harga minyak dunia. Termasuk dalam faktor ketiga ini antara lain; kondisi geopolitik; melemahnya nilai tukar dolar AS; kondisi cuaca yang tidak kondusif; serta ulah spekulan di pasar
Gambar 1.2 Penyebab Meningkatnya Harga Minyak
berjangka minyak bumi (Waiquamdee, 2008). Untuk memermudah pemahaman terhadap tiga faktor penyebab meningkatnya harga minyak ini Gambar 1.2. bisa membantu mengilustrasikannya.
Analisis awal penyebab kenaikan harga minyak bersumber dari faktor fundamental yaitu sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi fundamental lonjakan harga minyak disebabkan oleh meningkatnya permintaan (demand) di satu sisi dan berkurang ataupun tidak bertambahnya pasokan (supply) di sisi lain. Logika yang dibangun sangat sederhana, walaupun persoalan riil yang dihadapi tidak sesederhana ini. Permintaan minyak bumi meningkat sementara pasokan minyak tidak mampu mengimbangi peningkatan permintaan yang terjadi, secara otomatis kondisi ini akan mendorong naiknya harga. Permintaan yang meningkat dilatarbelakangi oleh keinginan negara berkembang untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Selain itu, dua negara industri China dan India yang dalam beberapa tahun ini berhasil menyaingi dominasi AS dan Jepang dalam ekonomi global, sedang giatgiatnya memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tinggi di kedua negara itu tentu membutuhkan jumlah energi yang besar guna memertahankan momentum yang telah dicapai. Menjadi pertanyaan apakah situasi meningkatnya permintaan ini didukung oleh data fundamental yang ada? Tabel 1. berikut bisa memberi gambaran mengenai hal ini.
Tabel 2. menggambarkan faktor fundamental minyak bumi dari sisi permintaan dan penawaran. Berdasarkan data sampai 30 April 2008 pasokan minyak cukup mampu untuk mengimbangi permintaan pasar. Baik permintaan maupun pasokan juga cenderung stabil. Namun, kondisi berbeda terjadi ketika data produksi minyak dunia dari OPEC per Mei 2008 sebesar 81,85 juta barrel per hari, sementara konsumsi minyak dunia sebesar 84,81 juta barrel per hari (tidak ada dalam tabel). Ini menunjukkan adanya kekurangan pasokan sebesar 2,96 juta barrel per hari. Data tersebut dikuatkan dengan hasil riset Deutsche Bank yang menyebutkan pendorong kenaikan harga minyak adalah
Tabel 1. Permintaan dan Pasokan Minyak (Juta Barrel per Hari)
Sumber: Bloomberg/Bisnis Indonesia, 4 Juni 2008
faktor fundamental yakni terbatasnya pasokan di tengah kenaikan konsumsi minyak dunia. Lebih lanjut upaya politisi AS meredam spekulasi dengan mencoba menginvestigasi pasar komoditas berjangka justru dilawan pasar dengan mengerek harga minyak (Investor Daily, 2008). Sungguh pun demikian, kondisi Januari – April 2008 menunjukkan pada saat permintaan masih dapat diimbangi dengan pasokan, harga minyak tetap saja meroket. Ini membuktikan bahwa tidak hanya faktor fundamental (permintaan-penawaran) yang bisa menyebabkan harga minyak meningkat tajam.
Tabel 1. sekaligus juga mengilustrasikan kekerdilan kekuatan pasar negara OPEC dibandingkan Non OPEC. Pangsa pasar yang lebih didominasi negara di luar OPEC menyebabkan tumpulnya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh OPEC dalam merespon lonjakan harga minyak. Sebagai informasi tambahan (tidak terdapat di tabel) kontribusi pasokan minyak negara-negara timur tengah terhadap produksi OPEC sebesar 65,61 persen (2007). Dengan rincian; Saudi Arabia berkontribusi sebesar 28,22 persen, Iran sebesar 11,97 persen, Uni Emirat Arab sebesar 8,07 persen, Kuwait sebesar 7,97 persen, Iraq sebesar 6,74 persen, serta Qatar berkontribusi sebesar 2,63 persen (Investor Daily, 2008). Kontribusi yang besar dari negara-negara di Timur Tengah terhadap OPEC seharusnya membuat organisasi ini punya kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan. Tetapi fakta di lapangan berbeda, OPEC terlihat kerdil dalam meredam lonjakan harga minyak dunia. Melihat data pasokan bulan April 2008 sebenarnya supply (86,8 juta bph) sudah lebih tinggi dari demand (85,1 juta bph), tetapi harga minyak tetap saja meroket.
Selain faktor fundamental ada faktor lain yang berpengaruh terhadap lonjakan harga minyak dunia. Turunnya nilai mata uang dolar AS terhadap Euro dan sebagian besar mata uang lainnya juga menyebabkan harga minyak dunia meningkat. Ekspektasi pasar terhadap melemahnya nilai tukar dolar mendorong commodity market untuk menyesuaikan dengan mata uang yang lebih stabil (Prijambodo, 2008).
Ditinjau dari faktor geopolitik, kondisi stabilitas di Nigeria, Pakistan dan Timur Tengah juga menjadi pemicu. Kondisi keamanan negara-negara yang memiliki ladang minyak sering mewarnai lonjakan harga minyak dunia selama tiga dekade terakhir ini. Tercatat harga minyak sempat melonjak beberapa kali sebagai akibat terganggunya keamanan suatu negara ataupun kawasan penghasil minyak. Pada 1974 harga minyak menyentuh US$ 10 per barel pasca perang Arab-Israel 1973. Pada 1980 harga minyak mencapai US$ 30 per barel karena perang Irak-Iran. Satu tahun kemudian (1981) harga minyak menyetuh US$ 39 per barrel karena perang masih berlanjut. Tidak hanya berhenti di sini, pada 1990 harga minyak dunia mencapai US$40 per barrel menyusul invasi Irak ke Kuwait. Pada Januari 2008 untuk pertama kalinya harga minyak tembus US$ 100 per barrel karena faktor geopolitik di Nigeria dan Pakistan serta pada 6 Juni 2008 tembus US$ 138,54 per barel karena meningkatnya suhu geopolitik di timur tengah (Investor Daily & Kompa, 2008).
Faktor lain penyebab kenaikan harga minyak yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah tindakan spekulasi di pasar berjangka. Fenomena kapitalisasi yang kental di bisnis perminyakan menjadi semakin terlihat dengan jelas. Premis bahwa kelangkaan minyak terjadi tidak hanya karena meningkatnya permintaan dari negaranegara yang sedang memacu pertumbuhan ekonomi seperti China dan India, tetapi juga terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar derivatif minyak menjadi logis. Dugaan ini bukan hanya isapan jempol belaka, buktinya badan pengawas berjangka AS, Commodity Futures Trading Commission (CFTC) mulai membuka detail data investor di bursa berjangka dan di indeks dana kelolaan komoditas untuk melihat besaran aksi spekulasi yang dilakukan pengelola dana. CFTC telah membuat kesepakatan dengan otoritas keuangan di Inggris (United Kingdom Financial Services Authority/FSA) dan bursa berjangka di Eropa, ICE Futures Europe pada tanggal 29 Mei 2008 (Bisnis Indonesia, 4 Juni 2008). Inti dari kesepakatan tersebut adalah seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian berkewajiban memberikan informasi untuk pengawasan transaksi kontrak berjangka komoditas energi (minyak mentah jenis West Texas Intermediate) dengan tempat pengiriman dari AS.
Terlepas dari kontroversi yang muncul, upaya meredam spekulasi di pasar minyak ini akan menjadi solusi efektif apabila tidak ditunggangi dengan berbagai kepentingan parsial terutama dari anggotanya. Hal ini setidaknya terlihat dari investigasi CFTC terhadap aktivitas pembelian, transportasi, penyimpanan, perdagangan minyak, serta hal-hal lain yang terkait dengan kontrak berjangka minyak yang membuktikan adanya manipulasi di pasar minyak AS dan telah menyebabkan harga minyak melonjak. Terkait dengan hal ini Alan Greenspan mantan gubernur The Federal Reserve (Bank Sentral AS) mengatakan sekitar 10 dolar AS dari setiap harga minyak yang tercatat sekarang memang karena ulah spekulan (Sunarsip, 2008). Hedge funds diduga telah melakukan spekulasi sehingga harga minyak melonjak.
Transaksi komoditas minyak di pasar berjangka menyebabkan harga minyak cenderung fluktuatif. Parahnya, laba yang dihasilkan di pasar berjangka minyak justru lebih banyak dinikmati oleh pelaku pasar yang tidak mempunyai ladang minyak. Stok minyak, termasuk kekayaan telah beralih dari NOC-IOC (National Oil Company - International Oil Company) kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya ladang minyak, fasilitas kilang, gudang, atau kapal tanker (Kasali, 2008). NYMEX,2006 (Kasali, 2008)
mengemukakan bahwa Kongres AS mengungkapkan investasi terbesar saat ini berbentuk paper di sektor energi, dari porsi semula 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005) dan di atas 50 persen (2006). Keuntungan yang bisa diraup pun menggiurkan, berdasarkan data The New York Times 2005 yaitu 1,5 miliar dolar AS dinikmati oleh Goldman Sachs dan Morgan Stanley. Keuntungan sebesar itu menimbulkan efek berantai di pasar berjangka minyak.
Berdasarkan berbagai fakta yang diungkapkan di atas terlihat bahwa penyebab kenaikan harga minyak tidak hanya faktor fundamental yaitu dari sisi permintaan dan pasokan tetapi juga ada kontribusi dari faktor geopolitik, melemahnya mata uang dolar AS serta perilaku spekulatif para trader minyak bumi. Ketatnya pasar minyak bumi membuat pasar ini sangat sensitif terhadap masalah-masalah di luar ekonomi seperti geopolitik maupun kondisi alam. Kompleksitas penyebab naiknya harga minyak saat ini membuat kian rumitnya jalan keluar yang efektif.
3. Subsidi Energi dan Problematika Perminyakan di Indonesia
Melonjaknya harga minyak dunia telah menyebabkan instabilitas perekonomian di banyak negara. Berbeda dengan negara pengekspor minyak yang mendapat keuntungan karena meningkatnya windfall profit, negara pengimpor sampai harus mempertaruhkan kredibilitas pemerintahannya akibat lonjakan harga minyak ini. Di Indonesia sendiri, melambungnya harga minyak menyebabkan pembengkakan anggaran subsidi BBM yang diperkirakan bisa mencapai Rp 190 triliun, dengan asumsi harga minyak US$ 124 per barrel. Kondisi ini memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi karena maksimal anggaran subsidi BBM yang bisa diberikan sebesar Rp 135,3 triliun (Kompas, 2008). Berarti ada selisih 55 triliun apabila anggaran subsidi tidak dikurangi. Dari sisi politik, pengurangan subsidi BBM merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak populer dan berpotensi menyulut konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Terlebih lagi pengurangan subsidi ini terjadi di saat masyarakat sudah terbebani oleh meningkatnya harga komoditas pangan dunia. Selain akan mendorong inflasi, hal ini tentu akan menurunkan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan pangan.
Selama ini harga BBM di Indonesia berdasarkan ketentuan pemerintah, tanpa terikat langsung dengan fluktuasi harga internasional. Tujuannya, menurunkan harga guna percepatan pembangunan ekonomi. Dengan BBM yang lebih terjangkau diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan melalui meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi seperti industri, transportasi dan distribusi barang dan jasa. Walaupun di sisi lain disparitas harga BBM domestik dengan pasar internasional juga bisa menyuburkan kasus penyelundupan. Sebuah ekses kebijakan yang cukup sulit ditanggulangi dalam situasi penegakan hukum yang carut-marut saat ini.
Secara teoritis kebijakan subsidi BBM merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka membantu konsumen (dalam hal ini masyarakat) agar mendapatkan harga BBM pada tingkat harga yang lebih murah dengan sebagian beban harga ditanggung pemerintah. Dengan harga yang lebih terjangkau maka akan semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses BBM. Pada gilirannya penggunaan BBM akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui makin aktifnya kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa termasuk kegiatan transportasi. Dalam APBN subsidi energi yang dimaksud ada dua yaitu subsidi untuk harga BBM dan subsidi untuk listrik. Bisa dikatakan subsidi BBM termasuk kategori subsidi yang diberikan kepada konsumen agar bisa mengakses komoditas pada harga yang lebih terjangkau. Sedangkan subsidi listrik diberikan kepada produsen (dalam hal ini PLN) agar bisa memroduksi listrik pada kuantitas yang lebih banyak dengan harga yang relatif sama.
Harga minyak dunia saat ini sudah menyentuh US$ 145,85 per barel (Investor Daily, 2008). Kurtubi (2008) mengingatkan bila harga minyak mentah selama satu tahun ke depan berada pada kisaran US$ 130 per
Gambar 3. Arus Minyak Nasional 2007
barel, devisa yang harus dikeluarkan untuk impor minyak mentah sebesar 400.000- 450.000 barrel mencapai US$ 43 miliar. Suatu situasi yang semakin mengancam kestabilan ekonomi Indonesia yang sangat terbebani dengan persoalan minyak ini. Terlebih lagi sekarang Indonesia menjadi negara net importer yang secara otomatis mengakibatkan kenaikan harga minyak akan meningkatkan anggaran untuk impor minyak tanpa disertai pemasukan dari adanya windfall profit. Gambar arus minyak nasional tahun 2007 (Gambar 3) bisa memberikan ilustrasi situasi perminyakan di Indonesia saat ini. Tren meningkatnya impor minyak sejak tahun lalu (2007) ditengah situasi melonjaknya harga minyak dunia membuat anggaran untuk mengimpor minyak meningkat. Akibatnya penyesuaian terhadap situasi ini dianggap perlu dilakukan. Impor minyak yang meningkat sebenarnya merupakan sinyal bahwa produksi minyak dalam negeri sendiri menurun. Setelah dikonfirmasi dengan data yang ada, fakta ini memang terjadi. Salah satu indikator menurunnya produksi minyak bisa ditelusuri dari data lifting minyak (Gambar 4.). Peningkatan lifting minyak (produksi minyak siap jual) perlu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pasokan minyak
Gambar 4. Target dan Realisasi Lifting Minyak 2003-2008 (juta barel per hari)
bumi dalam negeri. Menurunnya realisasi lifting minyak dari target yang sudah ditetapkan menjadi salah satu pemicu naiknya harga BBM bersubsidi. Bahkan dalam 12 tahun terakhir produksi minyak nasional terus merosot hingga 35 persen (Investor Daily, 14 Mei 2008). Usaha peningkatan lifting minyak dalam jangka pendek bisa dimulai dengan perbaikan infrastruktur dan pengoptimalan sumur-sumur minyak yang sudah ada. Dari perbaikan-perbaikan yang dilakukan diharapkan target yang ditetapkan bisa terpenuhi.
Dari Gambar 4. terlihat selama lima tahun terakhir target lifting minyak tidak tercapai, bahkan sejak tahun 2004 memperlihatkan tren yang menurun. Sementara harga minyak dunia terus menanjak. Kondisi yang kontra ini menjadi salah satu penyebab naiknya harga BBM dalam negeri. Pasokan minyak yang terus menurun sementara permintaan cenderung meningkat menyebabkan harga minyak naik. Lifting minyak tahun ini (Januari-Mei 2008) baru mencapai 0,925 juta barrel per hari sementara target dalam APBN-P adalah 0,927 juta barrel per hari. Dengan kata lain target belum terpenuhi. Walaupun target lifting minyak 2008 tersebut kemungkinan bisa terpenuhi, Indonesia masih tetap menjadi net importer minyak. Hal ini dikarenakan kebutuhan konsumsi harian BBM di Indonesia lebih tinggi dari target lifting, yaitu sekitar 1,2-1,4 juta barrel per hari sementara target realistis hanya 0,927 juta barel per hari.
Masalah minyak di dalam negeri tidak hanya berhenti pada soal lifting minyak saja, ada juga persoalan dalam cost recovery minyak nasional. Akibat dari meningkatnya cost recovery (biaya produksi kontraktor minyak yang harus dikembalikan oleh pemerintah) penerimaan negara menjadi tergerus karena digunakan untuk membayar cost recovery tersebut. Menariknya, terdapat fenomena yang berlawanan arah dalam hal ini, dimana ketika produksi minyak terus menurun justru cost recovery kian meningkat. Cost recovery 2002 sebesar US$4,338 Miliar meningkat menjadi US$5,044 Miliar pada 2003. Antara 2002-2007 peningkatan yang cukup besar terjadi pada 2005 yaitu sebesar US$2,21 Miliar, dari US$5,326 Miliar (2004) menjadi US$7,533 miliar (2005) (Investor Daily, 2008). Naiknya sewa rig pengeboran serta menuanya sejumlah lapangan minyak menjadi alasan yang mencoba menetralisir persoalan cost recovery ini.
Kendala lain untuk meningkatkan produksi minyak adalah pada eksplorasi. Tren eksplorasi minyak saat ini menunjukkan kecenderungan menurun, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Penurunan tersebut diakibatkan oleh perubahan kebijakan investor multinasional akibat merosotnya harga pada 1998 serta pemotongan anggaran investasi secara signifikan. Terkait dengan masalah eksplorasi, pakar perminyakan, Kurtubi menyarankan agar mempercepat produksi Blok Cepu sebagai langkah jangka pendek. Dalam jangka menengah eksplorasi di
Tabel 2. Perkembangan Subsidi BBM 2000-2008 (Miliar Rupiah)
Natuna dengan tetap memerhatikan faktor keamanan dan lingkungan hidup. Sedang dalam jangka panjang perlunya perbaikan sistem dan regulasi perminyakan nasional agar investasi pencarian cadangan baru bisa kembali meningkat (Kompas, 2008). Semua upaya tersebut diarahkan agar antisipasi terhadap harga minyak di masa mendatang menjadi lebih baik lagi.
Berbagai kendala perminyakan baik yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak internasional maupun kondisi dalam negeri yang masih memerlukan pembenahan berimplikasi pada beban fiskal subsidi BBM yang semakin meningkat. Setidaknya ini terlihat pada Tabel 2 dimana secara relatif dari tahun demi tahun menunjukkan peningkatan, terlebih lagi pada 2008, subsidi BBM diperkirakan membebani APBN sebesar Rp 132,1 triliun.
4. Listrik Sebagai Bagian dari Subsidi Energi
Selain untuk subsidi BBM, APBN juga mensubsidi listrik. Pelaksanaannya disalurkan melalui PLN. Listrik juga merupakan energi yang sangat penting bagi roda pembangunan. Dengan diadakannya subsidi listrik diharapkan lebih banyak masyarakat yang dapat menikmati penggunaan energi listrik, terutama untuk aktivitas yang produktif. Termasuk dalam hal ini untuk listrik di daerah pedesaan yang akan sangat bermanfaat untuk menstimulus perekonomian daerah. Alasannya, investasi di daerah biasanya sangat tergantung infrastruktur yang ada. Program listrik desa bisa meningkatkan kemajuan ekonomi desa melalui multiplier efect yang terjadi.
Ketersediaan energi listrik salah satunya juga dipengaruhi oleh harga BBM. Kenaikan harga BBM dapat berpengaruh terhadap penyediaan listrik karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak dan batubara untuk menggerakkan pembangkit listrik (Tabel 3.). Untuk pembangkit yang menggunakan bahan bakar batubara juga terganggu dengan naiknya harga minyak dunia saat ini. Persoalannya, untuk mendatangkan batubara yang tambangnya sebagian besar di luar Pulau Jawa sedangkan sebagian besar pembangkit listrik berada di Jawa memerlukan alat angkut kapal, sehingga ongkos angkut juga meningkat bila harga BBM naik. Terlebih lagi harga batubara sendiri di pasar internasional juga mengalami kenaikan. Saat ini (2008) sumber energi primer untuk pembangkit tenaga listrik berupa batubara mencapai 48,8 persen, gas 17,0 persen, bahan bakar minyak 11,4 persen, panas bumi 6,1 persen, hidro 9,1 persen dan lainnya seperti biofuel, batubara hibrid 7 persen (Investor Daily, 4 Juli 2008).
Tabel 4. Perkembangan Subsidi Listrik 2002-2008 (Miliar Rupiah)
Tabel 4). Walaupun tidak sebesar subsidi BBM, anggaran untuk subsidi listrik juga ikut terpengaruh oleh adanya kenaikan BBM. Porsi yang semakin besar dari tahun ke tahun selain dikarenakan semakin luasnya jaringan listrik, juga karena bahan bakar pembangkitnya yang semakin mahal. Atau dengan kata lain biaya produksi listrik meningkat seiring melonjaknya harga minyak dunia dan batubara sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik. Kondisi tersebut tentunya akan menggangu target PLN untuk segera meningkatkan jumlah pengguna listrik di tanah air yakni rasio desa berlistrik diharapkan 100 persen pada 2010. Aksesibilitas listrik yang terganggu ini dipastikan bisa menghambat pembangunan ekonomi.
Dilihat dari perkembangannya antara 2002-2008 subsidi listrik meningkat drastis sejak tahun 2006. Peningkatan ini salah satunya merupakan konsekuensi dari upaya PLN untuk meningkatkan kuantitas layanan listrik kepada masyarakat. Disamping itu, peningkatan subsidi yang terjadi juga dikarenakan meningkatnya biaya produksi penyediaan listrik karena bahan energi primer yang semakin mahal.
Dari sisi investasi, terganggunya ketersediaan energi listrik akan menurunkan produktifitas industri dan menurunkan daya saing investasi. Terganggunya dunia usaha akan memperburuk keadaan perekonomian. Pengaruh terganggunya supply energi listrik akan berdampak pada sektorsektor yang dominan menggunakan energi
Gambar 5. Penjualan Listrik Berdasarkan Kategori (Gwh)
Dari Gambar 5 terlihat bahwa konsumen listrik terbesar di Indonesia adalah untuk industri dan rumah tangga. Terbatasnya pasokan akan menyebabkan indutri sulit mengoptimalkan produksinya. Bagi industri yang padat karya kelangkaan listrik juga menurunkan penghasilan pekerja karena pengurangan jam lembur. Industri kecil dan industri rumah tangga juga tidak bisa mengelak dari kerugian apabila sampai terjadi pemadaman bergilir berkepanjangan.
Di sisi lain upaya mengimbangi kenaikan biaya produksi listrik PLN dengan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) akan Gambar 5. Penjualan Listrik Berdasarkan Kategori (Gwh) Sumber: Indonesia Energy Statistics 2008, ESDM mengakibatkan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Gambar 5. menunjukkan sebagian besar konsumen listrik PLN adalah rumah tangga (household), ini berarti apabila harga listrik naik beban rumah tangga akan semakin berat setelah sebelumnya pada 25 Mei 20008 harga BBM dinaikkan. Sensitifitas pemerintah sebagai eksekutor kebijakan publik akan dinilai semakin merosot oleh masyarakat apabila kenaikan Tarif Dasar Listrik ini dilakukan.
Kajian Makmun dan Abdurahman (2003) setidaknya membuktikan akan dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi listrik dan pendapatan masyarakat. Dalam hasil kajian tersebut dinyatakan bahwa kenaikan TDL membawa dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat. Setiap kenaikan 10 persen dari TDL akan mengurangi pendapatan riil rumah tangga petani 1,47 persen dan sebesar 3,47 persen untuk rumah tangga di bawahnya. Kenaikan listrik juga berdampak pada turunnya permintaan sektoral sebesar 3,52 persen. Selanjutnya, kenaikan listrik pada akhirnya juga mengurangi pendapatan institusi 1,46 persen.
Kebutuhan energi listrik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat pada Gambar 6. baik konsumsi maupun produk siterus menunjukkan tren peningkatan. Meskipun demikian peningkatan konsumsi listrik belum mampu diimbangi dengan pasokan (produksi masih di bawah konsumsi). Tidak seimbangnya kebutuhan listrik dengan pasokan yang ada menyebabkan terbatasnya penggunaan energi ini. Menyikapi hal ini pemerintah berupaya mensosialisasikan penghematan energi listrik nasional. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang hemat energi untuk membatasi serta mengoptimalkan penggunaan energi listrik.
Pada praktiknya memang tidak mudah untuk mengurangi dampak fiskal akibat
Gambar 6. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik 2006 – 2010
membengkaknya subsidi energi dalam APBN, baik untuk subsidi BBM maupun subsidi listrik. Terlebih lagi faktor penyebab meningkatnya subsidi tidak hanya berasal dari dalam negeri seperti masalah lifting, cost recovery maupun menurunnya kegiatan eksplorasi minyak bumi. Tetapi juga faktor dari dunia internasional yakni meningkatnya harga minyak dan komoditas dunia. Seperti yang dikemukakan Handoko dan Patriadi (2005) bahwa upaya konsolidasi fiskal demi tercapainya kesinambungan fiskal (fiscal stability) dan pertumbuhan ekonomi yang stabil memang tidak mudah. Konsolidasi fiskal dihadapkan pada kenyataan beban berat utang publik yang cukup tinggi, subsidi yang semakin meningkat terutama subsidi BBM dan penerimaan pajak yang kurang optimal.
Dari sisi kelembagaan, telah cukup banyak berbagai kebijakan tentang energi nasional dikeluarkan demi tercapainya pengelolaan energi yang bernilai guna dan berkelanjutan. Tabel 5. memberi gambaran tentang usaha-usaha pemerintah dalam mengelola sumber energi di Indonesia. Setidaknya sejak 1981 telah terjadi lima kali penyempurnaan kebijakan energi nasional. Ini di luar dokumen lain seperti; kebijakan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi; Blue print pengelolaan energi nasional 2005-2025; Perpres No. 5/ 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional; Inpres No. 1/2006 tentang Penyedian dan Pemanfaatan Bahan bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain; serta UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (Rakhmanto, 2008).
Cukup seringnya peraturan kebijakan energi yang diubah mengidikasikan beratnya kadar persoalan energi di Indonesia. Sehingga berbagai peraturan harus mengalami revisi untuk disesuaikan dengan perkembangan kondisi yang ada. Walaupun harus diakui perkembangan tersebut kadang tidak berpihak pada ekonomi bangsa seperti kenaikan harga minyak saat ini. Ini juga mengindikasikan minimnya implementasi, inefisiensi penggunaan energi, dan tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang lebih spesifik dan terukur. Tetapi selama kebijakan yang dibuat ditujukan untuk kepentingan dan keberlangsungan kehidupan bangsa di masa depan, akan selalu ada harapan.
5. Penutup
Krisis energi yang disebabkan melonjaknya harga minyak dunia menyadarkan bangsa ini untuk tidak menggantungkan lokomotif perekonomian dari energi minyak bumi saja. Penggunaan energi alternatif terbarukan dirasa perlu, bukan hanya di saat harga minyak dunia naik seperti saat ini yang kemudian membebani APBN melalui membengkaknya subsidi, tetapi juga demi kelangsungan perekonomian bangsa di masa depan. Berkaitan dengan beban subsidi energi yang meningkat karena melonjaknya harga minyak dunia, beberapa solusi berikut perlu untuk menjadi pertimbangan.
Pertama, usaha untuk meningkatkan lifting minyak melalui pengoptimalan ladang minyak perlu dilakukan. Upaya meningkatkan efisiensi cost recovery yang justru semakin meningkat ditengah menurunnya produksi minyak nasional juga penting. Selain itu, peningkatan investasi di sektor minyak bumi terutama untuk kegiatan ekplorasi juga sangat diperlukan. Kedua, program diversifikasi energi menjadi bagian yang tidak terelakkan. Harga minyak dunia yang terus menanjak membuat Indonesia harus aktif dan kreatif untuk menggunakan bahan bakar alternatif lainnya. Penggunaan batubara untuk menggantikan BBM di sektor industri dan pembangkit energi primer PLN perlu dilakukan. Ketiga, percepatan pengembangan dan penggunaan Bahan Bakar Nabati yang berbasis pada tanaman-tanaman non-pangan. Keempat, mendukung riset-riset di bidang energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia serta sosialisasi penggunaannya oleh masyarakat, kalau perlu pemerintah memberi contoh penggunaan energi alternatif terlebih dahulu. Kelima, penghematan penggunaan listrik yang sekarang sedang disosialisasikan perlu ditingkatkan melalui contoh yang mengedukasi masyarakat.
0 comments:
Posting Komentar