Sistem Masyarakat dan Kebudayaan

Senin, 09 November 2015

Pembahasan mengenai fungsi seni pertunjukan tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat dan kebudayaan. Sehingga perlu dipaparkan teori mengenai masyarakat dan kebudayaan menurut pendapat dari berbagai ahli. Kebudayaan adalah milik bersama yang berupa cita-cita, nilai, dan norma-norma perilaku. Tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat: yaitu sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu, yang saling bergantung satu sama lain dalam perjuangan hidup (Tylor dalam Haviland, 1999: 355). Masyarakat menurut Koentjaraningrat (2009: 118) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat harus menciptakan keseimbangan antara kepentingan pribadi individu dan kebutuhan kelompok. Kalau salah satu menjadi dominan, akibatnya mungkin berupa hancurnya kebudayaan. 

Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem ide mencakup nilai-nilai, kepercayaan, pengetahuan, simbol-simbol, dan teknologi yang dimiliki bersama oleh sebagian besar anggota suatu masyarakat sosial, yang dijadikan pedoman dalam berperilaku dan kepemilikan terhadap kebudayaan melalui proses belajar atau warisan sosial dan bukan melalui warisan biologis (Hoebel dalam Iswidayati, 2006: 6). Hal ini serupa yang diungkapkan Koentjaraningrat (2005: 72), bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Suparlan juga melihat kebudayaan sebagai: 
  1. Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang mempunyai kebudayaan tersebut; 
  2. Milik masyarakat bukan milik daerah; 
  3. Pedoman menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; 
  4. Berbeda dari kelakuan dan hasil kelakuan, karena sesungguhnya kelakuan itu terwujud dengan mengacu pada kebudayaan yang dimiliki oleh pelaku yang bersangkutan (Suparlan dalam Rohidi, 2000: 8). 
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan, oleh karena itu nilai budaya dapat menentukan nilai karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, dimana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil. Koentjarajakti dalam Ridwan (2008: 92) mengungkapkan bahwa kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem otonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama dan kesenian. 

Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya (Peursen terjemahan Hartoko, 1976: 15). Kebudayaan dewasa ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan yang pesat, dan manusia modern sadar akan hal ini. Lebih dari dulu manusia dewasa ini sadar akan kebudayaannya. Kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dia secara kritis menilai kebudayaan yang sedang berlangsung. Kebudayaan sebagai suatu sistem yang meligkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia; baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya (Poerwanto, 2000: 60). Karenanya, bagaimanakah mutu suatu lingkungan fisik atau lingkungan sosial itu, pada dasarnya adalah pencerminan kualitas kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan itu. 

Kesenian 
Kesenian berasal dari kata seni yang mendapat awalan ke- dan imbuhan –an. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, seni adalah kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi atau luar biasa (2005: 1038). Sedangkan arti kata kesenian adalah perihal seni; keindahan (2005: 1038). Seni adalah pernyataan tentang keadaan batin pencipta, seni sebagai ungkapan batin yang dinyatakan dalam gerak, nada, sastra atau bentuk-bentuk lain yang mempesonakan penciptanya sendiri maupun orang lain yang dapat menerimanya (Bastomi, 1988: 6). Kesenian sebagai pedoman bagi pemenuhan kebutuhan integratif yang bertalian dengan keindahan, berfungsi mengintegrasikan berbagai kebutuhan tersebut menjadi satu satuan sistem yang diterima oleh cita rasa yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembenaran secara moral dan penerimaan akal pikiran warga masyarakat pendukungnya (Rohidi, 2000: 11).

Kesenian merupakan unsur fungsional yang terinteraksi dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu sistem kebudayaan (Rohidi, 2000: 19). Menurut Thohir (1994: 4), kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang menunjukkan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui kesenian manusia mencari, merasakan, dan menciptakan aktivitas yang besar untuk memenuhi rasa estetis sesuai dengan tuntutan emosinya. Sedangkan menurut Sedyawati dalam Sinaga (2001: 72), dikatakan bahwa kesenian merupakan salah satu kebutuhan dari kebudayaan yang mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat yang menjadi nafas kehidupannya. Kesenian adalah buah budi manusia dalam pernyataan nilai-nilai keindahan dan keluhuran, berfungsi sebagai keseimbangan antara lingkungan budaya fisik dan psikis (Wardhana, 1990: 32). 

Sepanjang sejarah, kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Kesenian dalam berbagai corak dan ungkapanya, merupakan kreativitas warga masyarakat yang mendukung suatu kebudayaan tertentu. Kesenian hadir dari dan diperlukan kehadirannya oleh masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri (Kayam, 1981: 38). Berdasarkan uraian tentang kesenian, dapat disimpulkan bahwa kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan dan buah budi manusia dalam pernyataan nilai-nilai keindahan dan keluhuran. 

Kesenian Tradisional 
Kesenian tradisional berarti suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar pada adat kebiasaan hidup masyarakat pemiliknya. Kesenian tradisional telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya, pengolahannya didasarkan pada cita rasa masyarakat pendukungnya (Bastomi, 1988: 59). Kesenian tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 
  1. Merupakan gagasan kolektif masyarakat; 
  2. tema gagasan atau ujudnya mengandung ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kelompok masyarakatnya; 
  3. gagasan kolektif itu dinilai sedemikian tinggi oleh warga masyarakat sehingga menjadi kebanggaan mereka bersama; 
  4. adanya pengakuan dari orang atau kelompok masyarakat lain dalam rangka interaksi sosial. 
Menurut Sedyawati (1980: 48), yang dinamakan tradisional meliputi semua aktivitas kehidupan yang berpedoman ketat pada hal-hal yang sudah-sudah dan aliran-aliran yang telah ditentukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya. Oleh karena itulah kesenian tradisional bisa diartikan kesenian yang tumbuh dan berkembang sebagai budaya dalam suatu masyarakat yang kemudian diturunkan atau diwariskan secara terus menerus dari generasi kegenerasi. Selanjutnya menurut Achmat dalam Masunah (2003: 43) menyatakan bahwa kesenian tradisional adalah bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat dan lingkungannya. 

Kesenian tradisional menurut Rohidi (1987: 7) adalah kesenian yang hidup dan berkembang dikalangan masyarakat pedesaan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Menurut Hoebel dalam Triyanto (1994: 175) dinyatakan bahwa kesenian tradisional senantiasa memperhatikan corak yang khas simbol-simbol merefleksikan suatu arti, makna, pesan atau nilai budaya tempat kesenian itu berada. Pendapat lain mengatakan kesenian tradisional primitif banyak terdapat diseluruh pelosok dunia (Jazuli, 1994: 71). Kesenian tradisional primitif sangat sederhana dan banyak didominasi oleh kehendak dan biasanya berkekuatan magis. Kesenian tradisional rakyat merupakan cermin ekspresi masyarakat yang hidup di luar tembok istana dan berkembang di desa-desa. Kesenian tradisional istana lazim disebut kesenian klasik yaitu merupakan kesenian yang dianggap memiliki nilai seni tinggi dan berkembang terutama di pusatpusat pemerintah kerajaan. 

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seni tradisional merupakan seni yang tumbuh dan berkembang pada komunitas tertentu, merefleksikan nilai-nilai budaya komunitasnya, diwariskan secara turun-temurun (generasi ke generasi) atau sudah melewati beberapa masa dan tercipta secara kolektif oleh masyarakat pendukungnya. 

Kesenian Rakyat Sintren Kesenian rakyat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah kesenian masyarakat banyak dalam bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama (2005: 1038). Kesenian rakyat digunakan untuk mengacu kepada bentuk-bentuk kesenian yang tidak punya hubungan dengan istana, terutama yang datang dari pedesaan. Menurut Humardani dalam Lindsay, (1991: 43-44) : 

Seni tradisi dan seni rakyat memang berbeda. Seni tradisi hidup di kota. Kesenian ini merupakan kelanjutan dari kesenian yang hidup dan berkembang di sekitar keraton atau di tempat-tempat kekuasaan seni rakyat tumbuh di desa, di tengah masyarakat kecil. Dan dalam segala hal nampak jelas perbedaannya. 

Ciri-ciri seni tradisi, karena tumbuh secara konstan beratus-ratus tahun lalu, bentuknya mendetail. Ada isi yang selaras dengan keinginan orang-orang di daerah kekuasaan. Ada renungan pandangan hidup, dan sebagainya. Sementara itu seni rakyat tumbuh dari kalangan rakyat secara langsung, lantaran dari masyarakat kecil saling mengenal secara akrab, bentuknya pun demikian akrab dan komunikatif. Dalam kesenian rakyat, setiap orang desa senang dengan hasil ciptaannya. Berbeda dengan orang kota, sebuah karya seni ada yang disukai dan ada pula yang tidak disukai. 

Salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat-sifat spontan dan seronok. 

Selanjutnya menurut Achmad dalam Lindsay (1991: 47), sifat teater rakyat adalah sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Menurut kayam (1981: 59-60), kesenian tradisional digolongkan menjadi dua yaitu seni kerakyatan dan seni keraton. Seni kerakyatan memiliki ciri-ciri diantaranya:
  1. Memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan-lingkungan yang menunjangnya; 
  2. seni kerakyatan merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan, karena dinamik dari masyarakat yang menunjangnya memang demikian; 
  3. seni kerakyatan merupakan bagian dari satu "kosmos" kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi; dan 
  4. seni kerakyatan bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya. Sedangkan seni keraton yakni bentuk penghalusan unsur-unsur seni rakyat yang bertemu dengan unsur-unsur asing (yang dianggap sebagai unsur kemajuan) di dalam lingkungan kerajaan. 
Menurut Dewan Kesenian Jawa Tengah, (2003: 97-98) kata sintren pada dasarnya terdiri dari dua kata, yang pertama adalah si dan yang kedua adalah tri. Untuk memudahkan ucapkan sering kali terjadi proses persenyawaan yakni menjadi sin, sedangkan kata tri mendapat akhiran sehingga menjadi train yang kemudian luluh menjadi tren. Dengan demikian terbentuklah kata sintren, yang artinya si wanita cantik atau putri cantik adalah puteri yang suka menari menirukan bidadari. Sintren haruslah seorang putri yang dapat menari dan kesurupan roh bidadari. Namun andaikan penarinya adalah pria, seperti halnya yang terdapat di daerah Pati, namanya adalah lais atau laisan.

Bentuk Pertunjukan 
Arti kata bentuk menurut Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah gambaran, wujud, susunan (2005: 135). Sedangkan arti kata pertunjukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah sesuatu yang dipertunjukkan; tontonan seperti bioskop, wayang, dan sebagainya (2005: 1227). Sehingga jika digabungkan arti kata bentuk pertunjukan adalah gambaran dari sesuatu yang dipertunjukkan; tontonan (bioskop, wayang, dan sebagainya). 

Menurut Bastomi (1992: 55), yang dimaksud bentuk adalah wujud yang dapat dilihat. Dengan wujud dimaksudkan kenyataan secara konkret di depan kita (dapat dilihat dan didengar), sedangkan wujud abstrak hanya dapat dibayangkan. Pertunjukan adalah sebuah bentuk yang disajikan dalam wujud nyata dapat dilihat dan didengar. Pertunjukan secara garis besarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:
  1. Perilaku manusia atau disebut budaya pertunjukan; 
  2. pertunjukan budaya yang meliputi pertunjukan seni, olahraga, ritual, festival-festival, dan berbagai bentuk kesenian. 
Menurut Sedyawati (1980: 60), dikatakan bahwa bentuk pertunjukan adalah sesuatu yang berlaku dalam waktu, suatu lokasi mempunyai arti hanya pada waktu suatu pengungkapaan seni berlangsung di situ. Bentuk pertunjukan meliputi berbagai aspek yang tampak serta terdengar di dalam tatanan yang mendasari suatu perwujudan seni pertunjukan dalam bentuk gerak, suara dan rupa. Ketiga aspek ini menyatu menjadi satu keutuhan dalam penyajiannya. 

Menurut pendapat Jazuli (2001: 72), jenis dan bentuk pertunjukan berkaitan dengan materi pertunjukan. Jenis pertunjukan meliputi teater, tari, musik, sedangkan bentuknya dapat berupa tradisional, kreasi atau pengembangan, dan modern atau kontemporer. Konteks tempat pertunjukan dapat dipahami dalam arti lokasi dan gedung, termasuk bentuk panggung pertunjukan. Idealnya tempat pertunjukan harus berada pada lingkungan yang memungkinkan untuk berkembang secara ekonomis maupun artistik. 

Menurut Susetyo (2007: 4), bentuk pertunjukan dibagi menjadi dua yaitu bentuk komposisi dan bentuk penyajian. Bentuk komposis musik terdiri dari: 1) ritme; 2) melodi; 3) harmoni; 4) struktur bentuk analisa musik; 5) syair; 6) tempo, dinamik dan ekspresi; 7) instrumen, dan; 8) aransemen. Selanjutya, bentuk penyajian terdiri dari: 1) urutan penyajian; 2) tata panggung; 3) tata rias; 4) tata busana; 5) tata suara; 6) tata lampu; dan 7) formasi. 

Berdasarkan uraian mengenai bentuk pertunjukan di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pertunjukan dibagi menjadi dua yaitu 
  1. bentuk komposisi musik yang terdiri dari ritme, melodi, harmoni, struktur bentuk analisa lagu, syair, tempo, dinamika, ekspresi, instrumen, dan aransemen dan 
  2. bentuk penyajian yang terdiri dari urutan penyajian, tata panggung, tata rias, tata busana, tata suara, tata lampu dan formasi.
Fungsi Kesenian 
Arti kata fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah kegunaan suatu hal (2005: 322). Menurut Spiro (dalam Koentjaraningrat, 1984: 215), menyebutkan konsep fungsi ada tiga arti dalam penggunaanya: 
  1. Fungsi menerangkan adanya hubungan antara satu hal dengan tujuan tertentu; 
  2. fungsi dalam pengertian korelasi dan; 
  3. fungsi untuk menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam satu sistem terintegrasi. Menurut Sedyawati (2007: 293), fungsi seni pertunjukan terkait dengan fungsi-fungsi religius, peneguhan integrasi sosial, edukatif dan hiburan.
Menurut Soedarsono (2002: 123) dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, seni pertunjukan memiliki tujuan: 
  1. seni sebagai sarana ritual; 
  2. seni sebagai hiburan pribadi; dan
  3. seni sebagai presentasi estetis. 
Begitu juga menurut Humardani (1983: 2), fungsi kesenian secara umum dapat dibedakan menjadi dua yakni fungsi primer dan sekunder. 

"fungsi primer adalah suatu wujud penghayatan menyeluruh merenungkan masalah-masalah rohani, sifatnya mantap, khas, tidak dapat digantikan dengan kegiatan-kegiatan lain. Sifat perenungan ini menyebabkan kreativitas menjadi masalah pokoknya. Sedangkan fungsi sekunder adalah seperti untuk hiburan, penerangan, pendidikan, propaganda, yang pokok bertujuan memenuhi pengertian secara pasti tanpa persoalan banyak-banyak". 

Menurut Alan P. Merriam (1964: 294-304), secara singkat dapat dirumuskan bahwa fungsi musik dibagi menjadi 10 diantaranya: 
  1. sebagai ekspresi emosional (perasaan); 
  2. sebagai kenikmatan estetis (aesthetic enjoyment), yang bisa dinikmati oleh penciptanya atau penontonya; 
  3. hiburan bagi seluruh masyarakat; 
  4. komunikasi bagi masyarakat yang memahami, karena musik bukanlah bahasa universal; 
  5. representasi simbolis; 
  6. sebagai respon fisik; 
  7. menguatkan konformitas terhadap norma-norma sosial; 
  8. mengesahkan institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan; 
  9. memberikan kontribusi terhadap kontinuitas dan stabilitas budaya; dan 
  10. memberikan kontribusi terhadap integrasi masyarakat. 
Sedangkan menurut Sachs dalam Soedarsono (2002: 121), ada dua fungsi utama tari, yaitu : 
  1. untuk tujuan-tujuan magis; 2). sebagai tontonan. 
Magi adalah sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia (Kamus Bahasa Indonesia, 2005: 695). Pendapat dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa fungsi kesenian selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi seni yang timbul dalam masyarakat merupakan wujud dari ide-ide yang diciptakan oleh masyarakat pendukungnya untuk memenuhi kebutuhan hidup serta terkait dengan perkembangan zaman. Kesenian lahir, tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat dan menjadi milik masyarakat. Berdasarkan teori fungsi yang diungkap di atas, nampaknya berbeda tetapi sebenarnya tidak bertentangan bahkan saling melengkapi ataupun saling mendukung. Pendapat mengenai teori fungsi di atas tidak semuanya peneliti gunakan karena teori fungsi yang berkaitan dengan kesenian tradisional sintren lais yang digunakan. 

Musik Pengiring 
Menurut Banoe (2003: 288), musik adalah cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia. Musik yang baik adalah memiliki unsur-umsur melodi, ritme, dan harmoni. Sedangkan menurut Murgiarto (1978: 33), iringan tari terdiri dari dua, yaitu iringan internal dan iringan eksternal. Iringan internal adalah iringan tari yang dimainkan oleh si penari sendiri, sedangkan iringan eksternal adalah iringan yang dilakukan oleh orang lain atau yang datang dari luar tubuh si penari itu sendiri. Dalam hal ini musik pengiring kesenian sintren lais merupakan iringan eksternal yaitu musik yang datang dari luar tubuh si penari.

Menurut Jazuli (1994: 10-12), peran musik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 
  1. musik sebagai pengiring atau penunjang, disini peranan musik untuk mengiringi atau menunjang penampilan tari, sehingga tidak banyak menentukan isi tarinya; 
  2. musik sebagai pemberi suasana tari, yaitu peranan musik sangat besar untuk menghadirkan suasana tertentu sesuai dengan garapan tarinya, dan suasana tersebut antara lain: agung, sedih, gembira, tenang, bingung, gaduh, dan sebagainya; 
  3. musik sebagai ilustrasi atau pengantar tari berarti peranan musik tidak selalu mengikuti gerak tarinya dan memberikan gambaran serta makna yang terkandung, untuk menekankan pada bagian tertentu dan membantu membuat suasana tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh garapan tarinya.



November 09, 2015

0 comments:

Posting Komentar