I. Kerusakan Hutan Di Indonesia
A. Sekilas Pengelolaan Hutan Indonesia
Menurut Manan (1997), pengelolaan hutan dan pegusahaan hutan Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Beberapa sistem silvikultur telah diterapkan sejak dikeluarkannya SK Dirjen Kehutanan No. 35 tahun 1972 tentang diterapkannya tiga sistem silvikultur dalam mengelola hutan Indonesia yaitu Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB).Dalam pelaksanaannya HPH-HPH yang menyatakan dirinya menggunakan sistem TPI hanya melakukan penebangan pohon yang berdiameter lebih dari 50 cm dari jenis komersial, sedangkan bagian terpenting dari TPI yaitu permudaan dan pemeliharaan hutan sama sekali tidak dilakukan. Kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi mekanis cukup besar, banyak pohon-pohon muda ikut rebah setelah pohon yang berdiameter lebih dari 50 cm ditebang. Pengawasan arah rebah belum diterapkan sehingga menyebabkan kerusakan tegakan sisa seperti tajuk patah, batang belah, dan sebagainya.
Pada tahun 1989, dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Dirjen Pengusahaan Hutan tentang
pedoman pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia. Pada sistem TPTI kegiatan pengeloaan
hutan lebih diperinci dari mulai rencana pengelolaan hutan, penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan
tinggal guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Kemudian pada tahun 1993, dikeluarkan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IVBPHH/1993
tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), sebagai suatu
sistem silvikultur yang dilakukan dengan membuka areal dalam bentuk jalur dengan menebang pohon yang
berdiameter diatas 20 cm, sehingga sinar matahari dapat mencapai permukaan tanah. Kelestarian produksi
didasarkan pada keberhasilan permudaan buatan atau alam. Lokasi pelaksanaannya adalah lahan-lahan bekas
tebangan TPTI dengan didalamnya dilakukan penanaman jenis-jenis komersial dengan jarak tertentu dan
dilakukan pemeliharaan. Sistem ini disebut juga sistem Tebang Jalur Tanam Konservasi.Alasan diterapkannya
sistem tersebut adalah pertimbangan sitem pengawasan, komposisi jenis pohon unggulan, penghara bagi
kegiatan industri kecil/rakyat, kepastian kawasan, pertumbuhan riap pohon yang tinggi dan kegiatan
pemeliharaan dapat ditingkatkan sehingga menunjukkan kepada dunia internasional,kemampuan kita dalam
mengelola hutan tropika secara lestari.
Akan tetapi dalam pelaksanaan sistem ini tidak bisa memperbaiki hutan Indonesia, bahkan menambah luasan
hutan yang rusak. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan uji coba penerapan teknik silvikultur intensif yang
dilakukan melalui sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) pada beberapa perusahaan yang dimulai tahun 1999
bekerja sama dengan ITTO. Dalam teknik silvikultur intensif (SILIN) dipadukan tiga elemen pokok yaitu
penggunaan jenis yang unggul melalui hasil uji jenis/uji provenans, manipulasi lingkungan dan pengendalian
hama penyakit terpadu. Penerapan sistem TPTJ dilakukan agar memudahkan pengawasan terhadap hasil
penanaman dan teknik silvikultur intensif bisa dengan mudah dilaksanakan, dengan tujuan membangun hutan
tanaman operasinal di hutan alam yang sehat, prospektif dan lestari. Hutan prospektif yaitu hutan tanaman yang
memiliki produktivitas dan kualitas produk yang tinggi. Hutan yang sehat mampu mewujudkan fungsinya
secara optimal sebagai hutan produksi dan lestari yaitu menjaga kelestarian lahan agar produktvitas dan kualitas
produksi tidak menurun (Tim SILIN, 2007).
B. Kerusakaan Hutan Alam
Pengelolaan dan pengusahaan hutan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini telah menyisakan kehancuran
hutan Indonesia yang sulit dilakukan direhabilitasi. Pada tahun 1970-an luas kawasan hutan Indonesia mencapai
143 juta hektar, dengan asumsi 70% bervegetasi hutan, ini berarti terdapat 100 juta hektar tutan. Akan tetapi
pada saat ini kondisinya sudah mengalami kerusakan yang drastis, sehingga kawasan hutan yang benar-benar
bervegetasi pada saat ini tinggal 21,4 juta hektar (Oetomo, 1997 dalam Anonim, 1998). Demikian pula Fox et al
(2000) lebih rinci menjelaskan bahwa tutupan hutan Indonesia secara aktual pada tahun 1997 yaitu; hutan
lindung (kurang dari 25 Juta ha), hutan konservasi (15 juta ha), hutan produksi (25 juta ha) dan hutan produksi
terbatas (25 juta ha). Hal tersebut membuktikan bahwa potensi hutan alam Indonesia sudah sangat
mengkhawatirkan.
Secara umum beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan alam adalah sebagai berikut :
- Penebangan pohon melampaui batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri dengan melakukan regenerasi dan suksesi.
- Pembalakan liar (Illegal logging)
- Konversi kawasan hutan untuk pembangunan sektor non kehutanan.
- Penjarahan dan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat disekitar hutan
- Beberapa akibat yang disebabkan oleh aktifitas yang dilakukan oleh masayarakat sekitar hutan dalam pembukaan lahan untuk perladangan.
- Bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir/tsunami, tanah longsor.
- Pertumbuhan industri yang membutuhkan kayu melebihi pasokan lestari
- Dampak otonomi daerah untuk mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)
Awang (2001) menjelaskan bahwa faktor yang menjadi akar masalah terjadinya kerusakan hutan adalah
disebabkan karena epistomologi ”kayu” dalam pengelolaan hutan. Epistomologi ”kayu” dalam arti luas bahwa
tidak disebut hutan apabila suatu hamparan tidak ditumbuhi pohon-pohon. Akibatnya hutan rusak menjadi ”sah”
karena yang menjadi ukuran hanya nilai ekonomi kayu. Kedepan harus dikembangkan epistomologi kehutanan
masyarakat sebagai alternatif untuk pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.
Selanjutnya dalam Anonim
(2001) dijelaskan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh bidang kehutanan Indonesia saat ini antara lain :
- arah dan sistem pengelolaan hutan yang tidak jelas,
- Akibat dari arah pengelolaan hutan yang tidak jelas maka upaya untuk melakukan perlindungan hutan juga menjadi tidak jelas,
- Departemen Kehutanan belum secara serius menyelesaikan berbagai konflik sumber daya hutan yang terjadi antara masyarakat dengan pemegang HPH,
- Politik otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan (PSDH) disikapi oleh Departemen Kehutanan dan Pemerintah secara berlainan.
- Tekanan luar negeri terhadap kelestarian sumber daya hutan,
- Kepentingan masyarakat dalam pengelolaan SDH belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah, dan
- Dipandang perlu untuk mencari jalan keluar untuk mengatasi kebekuan kegiatan bidang kehutanan.
C. Kerusakan Hutan Mangrove
Demikian halnya dengan luas hutan mangrove Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Menurut laporan
FAO (1982), luas hutan mengrove Indonesia pada tahun 1982 sekitar 4,25 juta hektar. Tahun 1987 diperoleh
informasi bahwa luas hutan mangrove telah berkurang dan tersisa tinggal 3,24 juta ha dan hasil survey tahun
1995, luasannya turun lagi menjadi 2,06 juta ha (Susilo, 1995). Menurut Departemen Kehutanan dalam Arif
(2003) seiring dengan terjadinya euforia reformasi telah memperparah kerusakan hutan mangrove Indonosia,
sehingga tersisa sekitar 1,71 juta ha saja.
Kerusakan hutan mangrove merupakan akibat eksploitasi yang dilakukan terus- menerus tanpa diiringi dengan
upaya permudaan menyebabkan jumlah populasinya semakin menurun. Kerusakan tersebut semakin parah
dengan perubahan atau konversi fungsi lahan menjadi tambak atau pertanian. Penyebab lainnya adalah upaya
pembangunan yang tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan hidup. Beberapa proyek pembangunan yang
disinyalir akan memberikan dampak kerusakan lingkungan hidup bukannya dihentikan melainkan tetap
dilaksanakan dengan alasan akan melakukan Rencana Kelola Lingkungan (RKL). Sebagai contoh reklamasi
Pantai Kapuk dan Teluk Jakarta serta reklamasi pantai di Semarang, yang akhir-akhir ini menyebabkan
terjadinya banjir air laut pasang atau rob (Supriharyono, 2007)
Faktor penyebab kerusakan hutan mangrove lainnya adalah adanya pencemaran air laut seperti tumpahan
minyak bumi (Baker et al, 1980 dalam Supriharyono, 2007) melaporkan akibat tumpahan minyak di Selat
Singapura menyebabkan berhektar-hektar hutan mangrove di perairan Pulau Kelapa Jernih, Pemling dan Ayer
Puluh, rusak/mati. Pada tahun 2004 juga dilaporkan bahwa terjadi pencemaran di kawasan pantai Pulau Seribu
akibat minyak mentah yang menyebabkan rusaknya eksosisem terumbu karang, padang lamun, mangrove, biota
dan fauna laut (Anonim, 2004).
II. UPAYA PEMBANGUNAN HUTAN LESTARI
A. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Ekologi
Selama ini pembangunan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
sedangkan aspek-aspek sosial budaya dan lingkungan hidup kurang diperhatikan bahkan ditinggalkan. Dalam
pandangan ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya,
bahwa manusia akan tetap bertahan hidup hanya jika terdapat keseimbangan antara keutuhan ekosistem dan
kebutuhan manusia terhadap sumber daya lingkungannya. Adanya kearifan ekologis yang diterapkan oleh
masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan, karena kearifan ekologis merupakan nilai-nilai yang sangat
erat hubungannya dengan ajaran agama dan kepercayaan yang dimiliki (Aswandi, 2004). Banyak contoh
kearifan ekologi yang diterapkan oleh masyarakat disekitar hutan di Indonesia. Hal itu harus dihormati karena
menjadi merupakan tambahan pengetahuan bagi pengelola hutan dalam pengambilan keputusan pada
pengelolaan suatu kawasan.
Sumber daya hutan perlu dikelola dan dimanfaatkan secara optimum sebagai satu kesatuan ekosistem
yang terintegrasi dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan
lestari, yang menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial dari sumber daya hutan tersebut.
Hutan merupakan komponen utama dari suatu ekosistem, karenanya pengelolaan hutan secara langsung akan
mempengaruhi komponen lainnya seperti tanah, air, udara, iklim mikro dan lingkungan secara keseluruhan.
Akibat dari mismanagement sumber daya hutan yang berbentuk penebangan yang dilakukan pada lahan-lahan
miring dan penggarapan pada lahan-lahan tersebut oleh penduduk atau perusahaan perkebunan sekarang
sudah banyak dirasakan dampaknya antara lain banjir dan tanah longsor. Dengan berbekal ekologi maka setiap
langkah manusia dalam mengelola sumber daya hutan akan diarahkan pada pelestarian lingkungannnya
sebagai suatu kesatuan ekosistem.
B. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Dalam pembangunan hutan harus dilakukan dalam rangka mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan
dengan pemberdayaan dan peningkataan kesejahteraannya, dengan harapan masyarakat mejadi benteng untuk
pengamanan hutan dan lingkungannya. Hutan dan masyarakat yang ada didalamnya atau disekitar kawasan
hutan merupakan satu kesatuan, maka dari itu dalam pengelolaan sumberdaya hutan,mereka harus dilibatkan.
Dalam UUD 1945 dan GBHN dinyatakan bahwa SDA dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Masyarakat dan hutan memiliki hubungan yang sangat erat,paling tidak terdapat tujuh dimensi yang
menunjukkan interaksi masyarakat dengan hutan, yang harus diperhatikan secara serius dalam pengelolaan
hutan lestari, yaitu (Colver dkk, 1999):
- Kedekatan dengan hutan memungkinkn masyarakat memiliki dampak yang sangat penting terhadap hutan. Secara langsung atau tidak masyarakat sekitar hutan memiliki kemampuan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan, oleh karena itu mereka harus diberi peluang lebih banyak untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.
- Hak-hak masyarakat lokal yang sudah menempati kawasan tertentu selama beberapa dekade bahkan ratusan tahun hendaknya mendapat pengakuan dan dihormati. Hal ini sangat penting karena apabila tidak dilakukan maka akan timbul rasa ketidakadilan yang menyebabkan berbagai masalah dari ketidakacuhan terhadap kebijakan dalam bidang kehutanan sampai pada peningkatan konflik dan kekerasan.
- Ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan sangat tinggi seperti berburu,menangkap ikan, mengumpulkan makanan, kayu bakar, obat atau melakukan pembukaan lahan untuk ladang/pertanian. Kebutuhan masyarakat yang penghidupannya bergantung pada hutan harus dipadukan ke dalam pengelolaan hutan lestari.
- Kemiskinan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari.Umumnya masyarakat sekitar hutan relatif miskin. Dengan kelimpahan sumber daya yang ada dihutan yang dimanfaatkan oleh pengelola namun tidak berdampak terhadap kesejahteraan mereka,akan menjadi sumber masalah sosial dan lingkungan.
- Pengetahuan lokal masyarakat sekitar hutan dapat dijadikan pendukung fungsi penting dalam pengelolaan hutan, karena pengetahuan lokal yang bersifat unik tersebut sangat bernilai mengingat keterbatasan pengetahuan kita tentang ekologi dan kegunaan hutan (terutama hutan tropis).
- Integrasi hutan budaya masyarakat disekitar hutan juga merupakan hal yang sangat penting dan kelangsungannya akan terancam dengan hilangnya hutan. Kehancuran budaya ini akan berdampak terhadap kemiskinan, penyakit mental dan berbagai masalah sosial.
- Umumnya terjadi defisit kekuasaan bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau dekat hutan dalam banyak kawasan. Pengaruhnya adalah mereka merasa terganggu dan tidak mampu menjaga sumber penghidupan mereka sehingga menimbulkan praktek yang bisa merusak lingkungan.
C. Menggalakan Pembangunan Hutan Buatan
Program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dicanangkan dalam rangka meningkatkan potensi
kawasan hutan produksi yang diusahakan dengan tujuan untuk penyediaan bahan baku industri perkayuan
secara mantap dan berkesinambungan, peningkatan pendapatan devisa serta penyediaan lapangan kerja.
Program tersebut juga ditujukan untuk mengurangi tekanan eksplotasi terhadap hutan alam, sehingga aspek
kelestarian industri pengolahan kayu termasuk kelestarian hutan akan terjamin (Departemen Kehutanan,1987).
Dalam pola umum unit HTI, telah ditentukan jenis-jenis prioritas dan arahan riap volume serta daur tanaman yang
diharapkan untuk masing-masing tujuan pengusahaan, yaitu: 1) untuk kayu pertukangan: 15 m3
/ha/tahun (10-30
tahun), 2) kayu serat: 25 m3
/ha/tahun (8-20 tahun) dan 3) kayu energi: 35 m3
/ha/tahun (5 tahun).
Pembangunan HTI sangat penting mengingat keunggulannya dibandingkan hutan alam dalam mengantisipasi
kebutuhan hasil hutan kayu yang semakin meningkat. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pembangunan HTI adalah lokasi pembangunan, jenis yang ditanam, rancangannya sehingga sebagai ekosistem
buatan akan tahan terhadap berbagai gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar.Manan (1997)
menyarankan bahwa pembangunan HTI harus diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut:lokasinya bukan pada
hutan alam primer maupun hutan alam sekunder yang masih baik keadaannya,dalam penyiapan lahan tidak
dengan cara pembakaran (slash and burn), jenis campuran baik secara horisontal maupun vertikal (multi layer)
sesuai kondisi tapaknya, menghindari terbentuknya blok-blok luas dengan komposisi monokultur, adanya
kawasan lindung dalam hutan tanaman industri yang dibangun dan penerapan sistem silvikultur yang tepat
dengan menjamin permudaan buatan intensif.
Pentingnya menggalakan pembangunan hutan tanaman dan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan merupakan
suatu keharusan mengingat hutan Indonesia dalam kondisi yang kritis. Luas lahan kritis pada kawasan hutan
Indonesia hasil inventarisasi tahun 2004 mencapai 74.012.463,68 hektar sedangkan realisasi kegiatan
rehabilitasi lahan kritis dari tahun 2001-2005 baru mencapai luas 1,46 juta hektar, realisasi kegiatan penghijauan
dari tahun 1996-2005 baru mencapai 726.911 hektar, sedangkan pembangunan hutan tanaman industri (HTI)
baik untuk kayu pulp maupun kayu pertukangan dari tahun 1989-2005 baru mencapai luas 4,416 juta hektar
(Departemen Kehutanan, 2006).
III. HUTAN, RIMBAWAN DAN MASYARAKAT
Hutan merupakan suatu eksosistem, yang terdiri atas komponen biotik misalnya tumbuhan, hewan, termasuk
yang hidup di atas tanah dan komponen abiotik seperti tanah, air, udara, cahaya matahari dan sebaginya yang
menjadi sebuah satu kesatuan kehidupan. Hutan sebagai sebagai salah satu sumber alam di Indonesia harus
dikelola berdasarkan pendekatan ekosistem. Mengejar tujuan ekonomi jangka pendek seperti ekspor log/kayu
dengan mengorbankan potensi hutan untuk jangka panjang yang mencakup hubungan dan pengaruhnya
terhadap semua aspek lingkungan hidup, akan sangat merugikan masyarakat.
Manfaat hutan bagi kehidupan manusia adalah sebagai sumber kehidupan dengan menyediakan segala yang
dibutuhkan manusia. Hutan menyediakan makanan, menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya, mengatur tata
air, menghasilkan O2, menyerap CO2, sumber plasma nutfah, bahan baku industri obat-obatan dan lain-lain.
Masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan juga merupakan bagian dari ekosistem tersebut karena
semua komponen tersebut memiliki peran yang penting dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan.
Rimbawan yang dianggap lebih tahu tentang hal-hal tersebut dituntut untuk dapat menghadapi dua tantangan
yaitu peningkatan produksi hasil hutan untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa dan dituntut keahliannya
dalam mengelola sumber daya hutan agar terjamin kelestarian fungsinya dan terciptanya kualitas lingkungan
hidup yang baik. Dengan melakukan usaha-usaha konservasi dan pelestarian sumber-sumber alam dengan jalan
menempatkannya sejajar dengan prioritas-prioritas yang bersifat materi dan produksi kayu semata-mata.
Seorang rimbawan akan menjadi ujung tombak dalam pengelolaan hutan Indonesia. Kalau disimak sejarah
profesi rimbawan, ternyata pada saat ini jiwa pengabdian rimbawan semakin diperlukan selain keahliannya.
Kehutanan bukan pekerjaan white collar, salon forester, tetapi profesi yanag lebih banyak berorientasi ke
lapangan, ke hutan. Pohon demi pohon yang harus dikendalikan pertumbuhannya (Manan, 1997).
Hutan, masyarakat dan rimbawan merupakan tiga hal yang saling berhubungan dengan erat. Selama masih
terdapat “jarak” diantara ketiganya maka akan sulit bagi profesi kehutanan dalam berkiprah mengoptimalkan
manfaat sumber daya hutan bagi konservasi, sosial dan ekonomi. Bahkan bisa terjadi bahwa masing-masing
aspek tersebut hanya dihasilkan serba sedikit karena adanya benturan kepentingan antara berbagai
pemanfaatan tersebut (Manan, 1997). Sudah saatnya semua memikirkan hal yang sama bagaimana mengelola
SDH dengan baik dengan menghindarkan benturan kepentingan antar para pihak sehingga hutan tetap lestari.
IV. PENUTUP
Pengelolaan hutan Indonesia yang dilakukan dengan benar dan berkesinambungan dengan menjaga kelestarian
alam adalah bukan hanya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi lebih dari itu merupakan
penyelamatan hutan Indonesia yang merupakan tugas mulia bagi masyarakat Indonesia. Penulis menyadari
bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan langit, bumi dan seisinya untuk dikelola oleh manusia dengan
sebaik-baiknya agar tidak terjadi kerusakan. Allah SWT telah berfirman dalam kitab suci Al Qur’an,”telah tampak
kerusakan di darat dan di lautan dikarenakan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kerusakan sumber daya hutan Indonesia adalah disebabkan oleh orang-orang
yang yang tidak bertanggung jawab. Namun akibat dari kerusakan yang terjadi tersebut, seperti banjir bukan
hanya dirasakan oleh pelaku kerusakan itu sendiri juga oleh orang-orang yang tidak pernah berinteraksi atau
jauh dengan hutan.
Melihat kondisi hutan yang sedemikian rusaknya, maka semua elemen terutama yang memiliki hubungan dengan
hutan, harus terlibat dalam pengelolaanya secara lestari. Patut kita renungkan bersama isi sebuah nasihat,
apabila dalam sebuah kapal dimana penumpang kapal bagian atas dan bagian bawah masing-masing
mementingkan diri dan kelompoknya. Ketika penumpang kapal yang dibawah tidak memiliki air minum dan
kemudian memilih untuk melubangi kapal. Apabila penumpang yang diatas tidak melarangnya, maka sudah pasti
kecelakaan bagi semua penumpang kapal tersebut. Demikian pula pengelolaan sumber daya hutan dengan baik
dalam rangka penyelamataan hutan Indonesia adalah menjadi tugas mulia bagi siapa saja, walaupun tidak
memiliki hubungan langsung dengan hutan, karena akan merasakan akibatnya dari kesalahan pengelolaan
yaang terjadi. Sedangkan pihak-pihak yang berhubungan dengan hutan dari semua elemen di negara ini, maka
mengelola hutan dengan menjaga kelestariannya adalah menyelamatkan kehidupannya dan manusia pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aswandi, 2004. Etika Lingkungan: Pengelolaan SDA Lestari. Prosiding Ekspose Strategi Pengelolaan Taman
Nasional pada Era Otonomi Daerah di Pekanbaru, 8 Oktober 2004. Kerjasama BPK Sumatera dengan
Dinas Kehutanan Riau.
Awang, S. 2001. Epistomologi Komuniti Forestri: Pendekatan Konstruktivis. Dalam Otonomi Sumber Daya Hutan.
Prosiding Pertemuan Reguler V Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di Bandar
Lampung tanggal 23-25 Januari 2001.
Anonim, 1998. Impian Dan Tantangan Manusia Indonesia Dalam Mewujudkan Hutan dan Kebun Yang Lestari
Sebagai Anugerah dan Amanah Tuhan Yang Maha Esa. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
----------, 2001. Otonomi Sumber Daya Hutan. Prosiding Pertemuan Reguler V Forum Komunikasi Kehutanan
Masyarakat (FKKM) di Bandar Lampung tanggal 23-25 Januari 2001
----------. 2004. Kumpulan Berita Pembangunan Kehutanan Tahun 2003 – 2004. Departemen Kehutanan RI.
Jakarta.
Arif, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Barr, C. 2007. Intensively Managed Forest Plantation in Indonesia. Overview of recent trend and current plans.
Meeting of the Forest Dialogue. Pekanbaru March 7-8, 2007. Center for International Forestry
Research (CIFOR)
Colver, J.P.C., Ravi P., Mario G., Cynthia M.D., Noemi M.P. dan Roberto P. 1999. Siapa Yang Perlu
Dipertimbangkan. Menilai Kesejahteraan Manusia dalam Pengelolaan Hutan Lestari. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1998. Al Quran dan Terjemahannya.
Departemen Kehutanan. 1987. Pola Umum Unit Hutan Tanaman Industri. Penerbitan No. 2. Sekretariat
Pengendalian Pembangunan HTI. Jakarta
----------.2006. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2006. Jakarta
FAO. 1982.
Management and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific dalam FAO Eviromental Paper No. 4
FAO, Rome. 160 h
Fitrianty, E.L. 2007. Tanggap Bencana. Surat Kabar Seputar Indonesia tanggal 4 Januari 2008. Halaman 11.
Fox, J., M. Wasson and G. Applehate. 2000. Forest Use Policies and Strategies in Indonesia: A Need for
Change. Jakarta. Makalah disajikan untuk Bank Dunia Mei. 2000.
Manan, S. 1997. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Supriharyono. 2007.
Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Susilo, E. 1995. Manusia dan Hutan Mangrove dalam Pelestarian dan Pengembangan Ekositem Hutan Bakau
Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Halaman. 8
Tim SILIN. 2007. Modul Pembekalan Umum Silvikultur Intensif. Program Pelatihan Pengembangan Pendidikan
Profesi Kehutanan Juli – Desember 2007 di PT Sari Bumi Kusuma. Kalimantan Barat.
0 comments:
Posting Komentar