Pandangan Terhadap Pancasila Sila ke-3 “Persatuan Indonesia”

Jumat, 12 Februari 2016

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma pada hari Selasa, 25 Maret 2014 mengadakan Seminar Nasional IV dalam serangkaian serial seminar yang diadakan oleh pusat penelitian dan pelatihan Teologi Kontekstual Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma bekerjasama dengan Lembaga CSIS dan Kompas-Gramedia di aula Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Seminar yang bertema “Pandangan Dryarkara dan Pancasila sila ke 3: Persatuan Indonesia”  ini mencoba untuk menggali dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, terlebih dalam pembahasan dan pandangan jiwa dari Dryarkara.

Pembicara dalam seminar ini adalah Dra. Krisni Noor Patrianti, M.Hum, ketua pusat studi pengembangan perdamaian dan dosen UKDW; Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum, dosen jurusan Filsafat Sosiologi dan Pendidikan UNY; dan Dr. J. Kristiadi, peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Hadir sebagai moderator adalah Rm. Dr. C.B. Mulyatno, Pr. Pada rangkaian seminar yang keempat ini dihadiri oleh sekitar 55 orang yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Teologi, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma, mahasiswa fakultas Ilmu Filfasat UGM, mahasiswa jurusan Filsafat Sosiologi dan Pendidikan UNY, dan beberapa praktisi yang terjun dari berbagai LSM di Yogyakarta.

“Pancasila menurut Driyarkara diambil dari kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila tidak diambil dari langit; Pancasila adalah rumusan realitas, bukan hanya realitas Indonesia, melainkan realitas manusia pada umumnya. Pancasila adalah kategori operatif, yaitu prinsip-prinsip atau norma-norma asasi yang, meskipun tidak disadari atau bahkan tidak dimengerti, menjadi asas perbuatan. Fungsi dan peran Pancasila yang dijiwai oleh kelima silanya adalah sebagai pedoman hidup sehari-hari untuk menentukan sikap manusia Indonesia. Pendekatan yang dipakai oleh Dryarkara untuk menjelaskan tentang keberadaan dan hakikat Pancasila adalah antropologi metafisika. Pendekatan ini menjadi titik tolak refleksi Driyarkara bahwa apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?. Berbicara apa yang diharapkan dari sila ketiga adalah sikap mau mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepetingan suku, golongan, partai, dan sebagainya.”, demikian ungkapan Rm. Dr. CB. Mulyatno, Pr, saat memberikan pembuka di dalam seminar. 

Diungkapkan oleh ibu Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa menjadi harga mati bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pancasila pada hakikatnya adalah berisi nilai-nilai moral, norma-norma moral bangsa yang dipakai sebagai rambu-rambu bertindak dalam penyelenggaraan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pancasila pada hakikatnya adalah moral kebangsaan Indonesia. Secara spesifik bila kita membahas sila yang ketiga dalam Pancasila, dapat kita temukan maknanya bahwa yang dimaksud persatuan Indonesia adalah nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air, menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit, menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan. Nasionalisme Indonesia terkait dengan kesadaran bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup bersama, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD’ 45. Hal ini berarti Nasionalisme Indonesia muncul manakala gagasan bahwa suatu rakyat menjadi suatu komunitas politik melalui identitas kultural yang dihayati bersama masuk dalam diskursus politik. Bangsa dalam arti modern atau arti politik adalah pada saat sebuah komunitas yang terjalin di dalam suatu lingkup wilayah atau daerah berjuang untuk memperoleh pengakuan politik. Nasionalisme tidak ditentukan semata-mata oleh sejarah bangsa, tetapi oleh perjuangan politik dan diskursus yang terus menerus. 

Hal yang senada diungkapkan oleh ibu Krisni Noor Patrianti bahwa dasar filosofis pemikiran Dryarkara tentang Pancasila bertolak dari rumusan realitas dasar manusia yang ada bersama cinta kasih. Sila ketiga sebagai perwujudan dari perikehidupan bersama, kehidupan yang dilandasi oleh perikemanusiaan untuk hidup dalam cinta kasih. Persoalannya adalah apakah di negara tercinta kita ini, cinta kasih masih terus dipelihara dan dikembangkan ? Ataukah kita telah menjadi manusia-manusia yang lebih menekankan ego kita masing-masing, dan melupakan kepentingan bersama dalam kerangka hidup satu bangsa dan satu negara Indonesia ? Sejarah mencatat bahwa kehidupan manusia sarat dengan berbagai macam konflik. Konflik yang berkembang akhirnya sarat dengan kekerasan (kerusuhan, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dll). Konflik di berbagai wilayah di Indonesia (seperti di Ambon, Poso, Aceh, Kalimantan, Papua, dll) menjadi potensi terjadinya disintegrasi bangsa. Lalu bagaimana mewujudkan integrasi yang berwujud negara damai ? Membangun perdamaian dapat dimulai dari berbagai entry point (pendidikan, pelatihan, dan berbagai kegiatan multicultural). Membangun perdamaian perlu pendekatan berbasis kebudayaan, contoh saat mediasi di Ambon, istilah rekonsiliasi tidak dipergunakan, diganti “manajemen konflik”, di Poso, saat mediasi dilakukan dengan bungkus ‘perempuan’. Dalam proses perdamaia, baik mediasi maupun negosiasi, Dryarkara mengungkapkan bahwa perlu diawali dengan “cinta kasih”, yaitu istilah untuk menyebut proses pengampunan. 

Bapak Dr. J. Kristiadi mengungkapkan bahwa sila Persatuan Indonesia mempunyai corak yang lebih heroic dibanding dengan sila-sila lainnya. Benih-benih nilai yang terkandung dalam semangat persatuan dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah. Namun sayangnya, sila ketiga ini dan terbuka mungkin dengan sila-sila yang lain telah dimanipulasi dan digunakan bagi kepentingan yang tidak bertanggung jawab bagi keseluruhan kesejahteraan bangsa. Dalam perspektif politik, Indonesia sebagai entitas politik, sudah merdeka, tetapi manusia, terutama para pemimpinnya yang mengisi ruang politik, masih belum berdaulat sepenuhnya sebagai kodrat manusia. Manusia Indonesia masih harus berjuang untuk bertahta atau berdaulat terhadap dirinya sendiri dengan berusaha terus menerus membebaskan diri dari godaan kenikmatan daging yang melekat pada diri manusia. 

“Sekiranya seminar yang menjadi bagian dari serangkaian seminar Nasional Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, menjadikan para mahasiswa sadar akan keberadaan dirinya sebagai manusia Indonesia dan harus berbuat apa sebagai manusia Indonesia. Terlebih dalam penyambutan Pemilu pada tanggal 9 April 2014, tergugah untuk memilih dengan hati nurani bagi para wakil-wakil rakyat yang pantai demi tercapainya Persatuan Indonesia.”, demikian ungkap Rm. Dr. Heru Prakosa, SJ sesudah seminar ini berakhir. 

Kita sebagai bagian di dalam sebuah komunitas kebangsaan yang disebut Indonesia tidak bisa apatis dengan hidup sesama kita. Justru keanekaragaman menjadi inisiatif diri memperkaya satu dengan yang lain sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mungkin kita masih tergolong negara bangsa yang masih mencari jati diri hingga satu dengan yang lain sadar bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Viva la republica. (FXAP) 



Februari 12, 2016

0 comments:

Posting Komentar