Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma pada hari Selasa, 25 Maret 2014 mengadakan Seminar Nasional IV dalam serangkaian serial seminar yang diadakan oleh pusat penelitian dan pelatihan Teologi Kontekstual Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma bekerjasama dengan Lembaga CSIS dan Kompas-Gramedia di aula Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Seminar yang bertema “Pandangan Dryarkara dan Pancasila sila ke 3: Persatuan Indonesia” ini mencoba untuk menggali dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, terlebih dalam pembahasan dan pandangan jiwa dari Dryarkara.
Pembicara dalam seminar ini adalah Dra. Krisni Noor Patrianti, M.Hum, ketua pusat studi pengembangan
perdamaian dan dosen UKDW; Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum, dosen jurusan Filsafat Sosiologi dan
Pendidikan UNY; dan Dr. J. Kristiadi, peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies
(CSIS). Hadir sebagai moderator adalah Rm. Dr. C.B. Mulyatno, Pr. Pada rangkaian seminar yang keempat
ini dihadiri oleh sekitar 55 orang yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Teologi, mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma, mahasiswa
fakultas Ilmu Filfasat UGM, mahasiswa jurusan Filsafat Sosiologi dan Pendidikan UNY, dan beberapa praktisi
yang terjun dari berbagai LSM di Yogyakarta.
“Pancasila menurut Driyarkara diambil dari kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila tidak diambil dari langit;
Pancasila adalah rumusan realitas, bukan hanya realitas Indonesia, melainkan realitas manusia pada
umumnya. Pancasila adalah kategori operatif, yaitu prinsip-prinsip atau norma-norma asasi yang, meskipun
tidak disadari atau bahkan tidak dimengerti, menjadi asas perbuatan. Fungsi dan peran Pancasila yang
dijiwai oleh kelima silanya adalah sebagai pedoman hidup sehari-hari untuk menentukan sikap manusia
Indonesia. Pendekatan yang dipakai oleh Dryarkara untuk menjelaskan tentang keberadaan dan hakikat
Pancasila adalah antropologi metafisika. Pendekatan ini menjadi titik tolak refleksi Driyarkara bahwa apakah
manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?. Berbicara apa yang diharapkan dari sila
ketiga adalah sikap mau mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepetingan suku, golongan, partai, dan
sebagainya.”, demikian ungkapan Rm. Dr. CB. Mulyatno, Pr, saat memberikan pembuka di dalam seminar.
Diungkapkan oleh ibu Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi pemersatu bangsa menjadi harga mati bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pancasila pada
hakikatnya adalah berisi nilai-nilai moral, norma-norma moral bangsa yang dipakai sebagai rambu-rambu
bertindak dalam penyelenggaraan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pancasila pada
hakikatnya adalah moral kebangsaan Indonesia. Secara spesifik bila kita membahas sila yang ketiga dalam
Pancasila, dapat kita temukan maknanya bahwa yang dimaksud persatuan Indonesia adalah nasionalisme,
cinta bangsa dan tanah air, menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, menghilangkan penonjolan
kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit, menumbuhkan rasa senasib dan
sepenanggungan. Nasionalisme Indonesia terkait dengan kesadaran bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan hidup bersama, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD’ 45. Hal ini berarti Nasionalisme
Indonesia muncul manakala gagasan bahwa suatu rakyat menjadi suatu komunitas politik melalui identitas
kultural yang dihayati bersama masuk dalam diskursus politik. Bangsa dalam arti modern atau arti politik
adalah pada saat sebuah komunitas yang terjalin di dalam suatu lingkup wilayah atau daerah berjuang untuk
memperoleh pengakuan politik. Nasionalisme tidak ditentukan semata-mata oleh sejarah bangsa, tetapi oleh perjuangan politik dan diskursus yang terus menerus.
Hal yang senada diungkapkan oleh ibu Krisni Noor Patrianti bahwa dasar filosofis pemikiran Dryarkara
tentang Pancasila bertolak dari rumusan realitas dasar manusia yang ada bersama cinta kasih. Sila ketiga
sebagai perwujudan dari perikehidupan bersama, kehidupan yang dilandasi oleh perikemanusiaan untuk
hidup dalam cinta kasih. Persoalannya adalah apakah di negara tercinta kita ini, cinta kasih masih terus
dipelihara dan dikembangkan ? Ataukah kita telah menjadi manusia-manusia yang lebih menekankan ego
kita masing-masing, dan melupakan kepentingan bersama dalam kerangka hidup satu bangsa dan satu
negara Indonesia ? Sejarah mencatat bahwa kehidupan manusia sarat dengan berbagai macam konflik.
Konflik yang berkembang akhirnya sarat dengan kekerasan (kerusuhan, perampokan, pembunuhan,
pemerkosaan, dll). Konflik di berbagai wilayah di Indonesia (seperti di Ambon, Poso, Aceh, Kalimantan,
Papua, dll) menjadi potensi terjadinya disintegrasi bangsa. Lalu bagaimana mewujudkan integrasi yang
berwujud negara damai ? Membangun perdamaian dapat dimulai dari berbagai entry point (pendidikan,
pelatihan, dan berbagai kegiatan multicultural). Membangun perdamaian perlu pendekatan berbasis
kebudayaan, contoh saat mediasi di Ambon, istilah rekonsiliasi tidak dipergunakan, diganti “manajemen
konflik”, di Poso, saat mediasi dilakukan dengan bungkus ‘perempuan’. Dalam proses perdamaia, baik
mediasi maupun negosiasi, Dryarkara mengungkapkan bahwa perlu diawali dengan “cinta kasih”, yaitu istilah
untuk menyebut proses pengampunan.
Bapak Dr. J. Kristiadi mengungkapkan bahwa sila Persatuan Indonesia mempunyai corak yang lebih heroic
dibanding dengan sila-sila lainnya. Benih-benih nilai yang terkandung dalam semangat persatuan
dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah. Namun sayangnya, sila ketiga
ini dan terbuka mungkin dengan sila-sila yang lain telah dimanipulasi dan digunakan bagi kepentingan yang
tidak bertanggung jawab bagi keseluruhan kesejahteraan bangsa. Dalam perspektif politik, Indonesia
sebagai entitas politik, sudah merdeka, tetapi manusia, terutama para pemimpinnya yang mengisi ruang
politik, masih belum berdaulat sepenuhnya sebagai kodrat manusia. Manusia Indonesia masih harus
berjuang untuk bertahta atau berdaulat terhadap dirinya sendiri dengan berusaha terus menerus
membebaskan diri dari godaan kenikmatan daging yang melekat pada diri manusia.
“Sekiranya seminar yang menjadi bagian dari serangkaian seminar Nasional Fakultas Teologi Universitas
Sanata Dharma, menjadikan para mahasiswa sadar akan keberadaan dirinya sebagai manusia Indonesia
dan harus berbuat apa sebagai manusia Indonesia. Terlebih dalam penyambutan Pemilu pada tanggal 9
April 2014, tergugah untuk memilih dengan hati nurani bagi para wakil-wakil rakyat yang pantai demi
tercapainya Persatuan Indonesia.”, demikian ungkap Rm. Dr. Heru Prakosa, SJ sesudah seminar ini
berakhir.
Kita sebagai bagian di dalam sebuah komunitas kebangsaan yang disebut Indonesia tidak bisa apatis
dengan hidup sesama kita. Justru keanekaragaman menjadi inisiatif diri memperkaya satu dengan yang lain
sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mungkin kita masih tergolong negara bangsa
yang masih mencari jati diri hingga satu dengan yang lain sadar bahwa kita saling membutuhkan satu sama
lain demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Viva la republica. (FXAP)
0 comments:
Posting Komentar