Pola Hidup Yang Sederhana

Sabtu, 20 Februari 2016

Hidup Sederhana 
Mereka yang mencari kebenaran akan dengan tegas-tegas dan sukarela mengurangi keperluannya serta memupuk terus kebiasaan hidup sederhana. 

Setidaknya, apa yang diungkapkan M.K. Gandhi di atas yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Ashram Observance in Action, begitu sering didengungkan dalam usaha mengajak masyarakat bersikap efisien di tengah sulitnya perekonomian dewasa ini (M.K. Gandhi). 

Hidup sederhana, semestinya, tak hanya dilaksanakan ketika berada dalam kesulitan. Sebagai insan beriman, hidup sederhana, tidak membiarkan nafsu indria merajalela rakus pada kenikmatan duniawi, adalah suatu keharusan yang dilaksanakan setiap saat. Seperti kata Gandhi, mereka yang mencari kebenaran akan dengan tegas-tegas dan sukarela mengurangi keperluannya serta memupuk terus kebiasaan hidup sederhana. Ini berarti, untuk dapat hidup sederhana, kunci keberhasilannya adalah bersumber dari kesadaran sendiri dan tidak menunggu anjuran dari seseorang, atau tak mesti menunggu pidato kaum birokrat yang selalu tampil berapi-api menyuarakan hidup sederhana. Hidup dengan prinsip tidak royal, cermat memperhitungkan apa-apa yang memang menjadi keperluan, dan tidak mengambil jatah orang lain, memang merupakan kewajiban yang menjadi syarat utama bagi seseorang untuk mencapai kesempurnaan hidup. 

Hidup sederhana itu akan mengantar umat manusia mencapai ketenangan lahir bathin. Sebab dalam kesederhanaan itu umat manusia sekaligus telah mengendalikan indria-indrianya dari ikatan manusiawi. Dengan demikian, manusia pun tidak akan boros dan tidak punya keinginan untuk menyabot bagian orang lain. Atau apa yang mereka lakukan selalu berdasarkan dharma; bertindak demi kebahagiaan dirinya, kebahagiaan oran glain, serta sebagai perwujudan rasa taqwa kepada Ida Sang Hyang Widhi. Karena itu, kita harus meyakini dalam kesederhanaan akan lahir ketenangan. 

Karena itu dewasa ini hidup sederhana itu harus diterapkan termasuk dalam pelaksanaan upacara keagamaan dewasa ini mesti disederhanakan, sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab kebutuhan hidup sekarang sangat banyak yang harus mendapat perhatian. Kita tidak lagi memikirkan upacara semata. Karenanya tidak perlu merasa malu melaksanakan upacara yadnya yang sederhana. Yang penting adalah adanya unsur kesucian dan ketulusan hati. Di samping itu, sistem adat istiadat mestinya disederhanakan pula sehingga masyarakat bisa mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Kesederhanaan dalam hidup bukan berarti kemunduran. Akan tetapi yang sederhana itu malah merupakan proses guna mencapai kemajuan, ketenangan lahir bathin. Sebab dewasa ini, seperti disinyalir dalam Kekawin Niti Sastra, pangkal kesulitan yang terbesar bagi manusia tersembunyi dalam dirinya sendiri. Nafsu loba menyebabkan orang tak dapat mencapai kebaikan yang dicitacitakannya. Itu pula yang menyebabkan semua pengetahuan dikumpulkan sejak lama jadi hilang dan akhirnya habis sama sekali karena tidak bisa mencapai citacita tadi, maka budi baik pun berbalik menjadi keburukan (Niti Sastra XIII.9). Karena nafsu loba itulah manusia sangat sulit untuk mampu hidup sederhana. Sehingga anjuran atau pidato kaum birokrat untuk hidup sederhana nyaris tak bergema di lubuk hati masyarakat. Dan inilah pangkal kesulitan yang mesti dijawab dengan kesadaran hati nurani, bukan lewat pidato berkepanjangan. Lain perkataan, jadilah contoh orang yang hidup sederhana, bukan hanya berceramah hidup sederhana. 

Agama Hindu mengajarkan agar umat manusia selalu hidup sederhana. Meminjam pendapat Dr. Soerjanto Poespowardoyo, ajaran agama mengkondisikan manusia hidup seperti adanya, hidup sesuai dengan dirinya, tidak ditutup-tutupi. Tidak menyuguhkan tingkah laku atau gambaran yang seakan-akan orang melihat “saya ini begini”, tapi sebetulnya “saya ini begitu” (Agama dan Kekerasan,). Karena itu Bhagawan Wararuci pun mempertanyakan kepada umat manusia, mengapa tubuh yang tidak kekal ini mesti dipelihara dengan menggunakan kesedihan makhluk lain? Di manakah letak kebenaran itu? (Sarasamuccaya,). Di sinilah kejujuran nurani mesti memenangkan pergulatan hidup. Tak ada gunanya orang bersikap imitatif. Kita mesti bersikap apa adanya. Umpamanya, jika barang ini atau itu yang dibutuhkan, boleh saja dibeli. Jika tidak, ya tidak usah memaksakan diri untuk membelinya. Bahkan Gandhi dalam kehidupan ashramanya menerapkan Asteya, Aparigraha atau memilih hidup miskin untuk menumbuhkan sikap hidup sederhana, tidak rakus menjarah hak orang lain. “Kita tidak boleh mengambil atau menyimpan sesuatu yang tidak perlu”, cetus Gandhi. 

Akhirnya kita memang mesti sadar bahwa agama mengajarkan umat manusia untuk hidup dengan semangat kesederhanaan. Hidup ini bukan sekedar materi. Sikap konsumtif yang selanjutnya dapat membuat manusia serakah materi dan merusak hubungan manusia, memang patut dihindari. Jadi, hidup sederhana tak hanya dilaksanakan ketika berada dalam kesulitan saja. Hiduplah sederhana setiap saat. “Orang yang dapat mengendalikan panca indrianya dari segala nafsu objek keingingannya, jiwanya mencapai keseimbangan” ungkap Bhagawan Byasa, dalam Bhagawadgita II.68.



Februari 20, 2016

0 comments:

Posting Komentar