Tenaga Kerja di Sektor Kehutanan

Sabtu, 13 Februari 2016

1. Tenaga Kerja di Sektor Kehutanan
Statistik tenaga kerja dalam sektor kehutanan cukup sulit untuk diisolasi karena fakta bahwa mereka dimasukkan ke dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sebagai sebuah agregat responden yang bekerja di sektor pertanian, hortikultura, kehutanan, perikanan dan berburu. Namun, sub-set dari kategori yang luas ini, dikenal sebagai Klasifi kasi Baku Lapangan Usaha Indonesia – KLUI dapat ditarik dari database Sakernas dan diperiksa dengan menggunakan fungsi crosstabs di SPSS. Kasus apapun dalam data tersebut yang tidak dapat diklasifi kasi dengan jelas tidak akan dimasukkan, sehingga akhirnya database mereka yang terlibat dalam kegiatan terkait di sektor kehutanan terdiri dari 241,012 kasus. Hasil dari latihan ini tidak dapat digunakan untuk melihat angkat yang absolute, namun dapat menunjukkan gambaran lebih luas dari tenaga kerja yang terlibat dalam sektor kehutanan di Indonesia. Bagian berikut ini menggambarkan karakteristik umum ketenagakerjaan di sektor kehutanan di Indonesia seperti yang tergambar dalam data Biro Statistik terakhir yang tersedia. 

Data-data ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, holtikultur, kehutanan, perikanan dan perburuan menyumbang sekitar 42% dari semua pekerjaan di Indonesia. Dari ini, sekitar 0.6% terkait dengan kehutanan, dan 0.1% lainnya ke sektor perburuan. Perburuan seharusnya digabungkan dengan ketenagakerjaan sektor kehutanan karena kemungkinan besar perburuan tersebut sebagian besar dilakukan dibawah pengaturan kehutanan sosial, dan ia sangat terkait dengan isu hutan dan konservasi hutan. Sektor kehutanan dan perburuan digabung bersama saat ini menyumbang sekitar 0.7% dari seluruh lapangan kerja di sektor pertanian, holtikultur, kehutanan, perikanan dan perburuan dan sekitar 0.23% dari peluang lapangan kerja nasional. Walaupun ini merupakan kontribusi yang cukup rendah, sektor kehutanan, khususnya hutan lestari dan hutan tanaman industry, adalah sektor yang semakin penting di Indonesia. Sebuah studi akhir-akhir ini9 mengenai perkembangan sektor kehutanan di Indonesia memperkirakan bahwa sejumlah lapangan kerja yang cukup signifi kan akan tercipta dalam sektor kehutanan dari tahun 2009 sampai tahun 2020 :

Mempertimbangkan keadaan sumber daya hutan di Indonesia pada tahun 2020, akan juga dihasilkan peluang pekerjaan sebesar 675-836,000 walaupun mungkin akan jumlah masyarakat yang “bergantung pada hutan” akan semakin meningkat dan begitu juga dengan orang yang bekerja di usaha penggergajian berskala kecil dan industry kayu olahan lainnya. 

Penurunan jumlah ijin penebangan yang dikeluarkan serta peningkatan upaya reforestasi dan hutan tanaman industry, digabungkan dengan informasi diatas, menunjukkan bahwa sektor kehutanan adalah sektor yang semakin penting di Indonesia. Walaupun sektor tersebut penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan berbasis lingkungan, sektor ini juga merupakan sumber daya pembangunan umum yang berpotensi tinggi dan merupakan sebuah sektor yang penting untuk menghadang efek dari pemanasan global dan dampak negatif lingkungan lainnya. Kehutanan memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan ekonomi 

1.1.  Masa Depan Sektor Kehutanan 
Sektor kehutanan kemungkinan akan mengalami transisi dari kegiatan ekonomi berbasis pada eksploitasi sumber daya (penebangan, yang beroperasi dengan dinamika yang dengan industri pertambangan) ke penanaman (yang beroperasi dengan dinamika siklus pertanian, manajemen dan panen). Mendorong kelestarian dan keberlanjutan daripada eksploitasi murni memerlukan lebih banyak investasi dalam hal input tenaga kerja untuk memproduksi output kayu tertentu. Tahun-tahun puncak penebangan sekarang sepertinya sudah di belakang kita di Indonesia, dan kelebihan periode ini dapat dilihat di infrastruktur yang ditinggalkan sejak masa kejayaan International Timber Corporation Indonesia (ITCI). Saat ini PT ITCI Kartika Utama menyerupai sebuah kota hantu, dengan sekitar 900 rumah yang tidak dihuni yang sebelumnya merupakan akomodasi pekerja dan infrastruktur lainnya, seperti hotel di lokasi dan fasilitas olahraga. Untuk ITCI, penyebab utama dari perubahan ini adalah kebakaran hutan pada tahun 1998 yang menghancurkan sebagian besar dari kayu dalam konsesi mereka. Kayu yang terselamatkan dan masih berdiri kemudian dipanen segera setelah kebakaran tersebut, dan setelah itu, fokusnya berpindah ke penanaman kembali dan pengembangan hutan perkebunan. Produksi kayu lapis – plywood (produk yang paling dapat dipasarkan) telah menurun dengan stabil: setelah tahun 2003 dengan jumlah hampir 12 juta lembar, jumlahnya menurun sampai menjadi sekitar 600,000 pada tahun 2008.

Di satu sisi, pola perkembangan PT ITCI saat in merupakan salah satu gambaran kecil masa depan industri kehutanan Indonesia dibawah perekonomian hijau. Masa depan industri kehutanan di Indonesia akan ditandai dengan sebuah pergeseran, seperti yang dijelaskan di atas, dari eksploitasi sumber daya yang ada ke penanaman yang diikuti dengan pemanenan hasil. Hal ini disebabkan karena sumber daya yang ada menjadi berkurang, dan tekanan internasional terus berdatangan untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Fakta bahwa pergeseran ini mungkin terjadi juga cenderung menunjukkan bahwa aktor-aktor ekonomi dalam sektor kehutanan sekarang perlu untuk memperhatikan biaya produksi yang sesungguhnya secara holistik. Ini berarti bahwa mereka sekarang akan menyerap dan menginternalisasi biaya yang tercakup dalam penanaman dan pemeliharaan pohon dari persemaian sampai mencapai tingkat dimana tanaman tersebut dapat dipanen atau dimanfaatkan hasilnya secara ekonomi. Biaya-biaya ini sebelumnya adalah biaya eksternal dari perhitungan profi t dan bisnis. 

Skenario ini memiliki dua implikasi penting bagi masa depan sektor kehutanan bahwa :
  • Lebih banyak manajer dan butuh berketerampilan akan dibutuhkan untuk mengananggapi pergeseran tersebut, dan (
  • Margin profi t industri (setidaknya di awal) kemungkinan akan jauh lebih kecil. Singkatnya, sektor kehutanan di Indonesia kemungkinan besar akan menyerupai sektor hortikultura atau perkebunan. Hal ini akan mengakibatkan kondisi dimana sektor yang sebelumnya dikenal dalam kapasitasnya untuk menyediakan kerja yang cukup layak dengan upah yang memadai mengalami penurunan. 
1.2.  Perbandingan Tingkat Kemiskinan dalam Sektor Kehutanan dan Sektor Terkait Lainnya 
Sebuah perbandingan tingkat kemiskinan dalam sektor kehutanan dan lainnya diberikan dengan mengolah data dalam database Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2008. Respon terhadap pertanyaan “penghasilan dari pekerjaan utama” dalam survei tersebut diperiksa dengan tujuan menciptakan sebuah proxy untuk kemiskinan. Sebuah perhitungan sederhana mengungkapkan bahwa dengan menggunakan 2 dolar per hari sebagai ambang batas kemiskinan, hasilnya adalah sebuah penghasilan bulanan sebesar Rp. 570,000 (kebetulan ini adalah upah minimum provinsi di Jawa Timur), dengan asumsi bahwa bahwa 30 hari = 1 bulan dan 1 dolar US = Rp. 9,500. Kasus-kasus yang melaporkan penghasilan untuk bulan sebelum survei dipisahkan ke dalam dua kelompok: mereka yang menerima kurang dari Rp. 570,000 per bulan (kurang dari 2 dolar per hari) dan mereka yang menerima lebih dari Rp. 570,000 per bulan (lenih dari 2 dolar per hari). Hasilnya adalah sebagai berikut. 

Rata-rata, sekitar 50% dari semua orang yang melaporkan pendapatan dari pekerjaan utama mereka pada bulan sebelum survei menerima kurang dari 2 dolar per hari. Semua sektor yang tercakup dalam klasifi kasi pertanian KLUI kecuali kehutanan menunjukkan jumlah yang jauh lebih tinggi dari orang yang menerima kurang dari 2 dolar per hari dari pekerjaan utamanya. Khususnya yang bekerja di sektor perkebunan, dimana 82% menerima kurang dari 2 dolar per hari. Walaupun data ini bersifat ringkasan dan tidak menentukan, namun ia menekankan beberapa kecenderungan penting, salah satunya adalah bahwa sektor kehutanan saat ini memiliki tingkat kemiskinan paling rendah. Namun, seperti yang dijelaskan diatas, seiring dengan sektor kehutanan bergeser dari paradigma eksploitasi sumber daya ke siklus penanaman dan pengambilan hasil, maka hal ini kemungkinan akan berubah. Konsekuensinya adalah kemiskinan di sektor kehutanan kemungkinan akan meningkat. Penting juga untuk dicatat bahwa tingkat penghasilan yang rendah dicatat dalam ini sebenarnya terjadi diantara para penyadap karet (studi kasus 5), yang teknisnya merupakan kegiatan sektor perkebunan, bukan kegiatan sektor kehutanan. Oleh karena itu diusulkan bahwa cakupan subyek kondisi tenaga kerja diperluas untuk memasukkan hutan perkebunan, seperti yang dicatat dalam kategori “perkebunan” atau hortikultura dari sektor pertanian, serta kehutanan dan perburuan. 

1.3.  Kondisi Tenaga Kerja di Sektor Kehutanan 
Bagian berikut ini menyediakan sebuah gambaran awal analisis kondisi tenaga kerja dalam sektor kehutanan sesuai dengan berbagai variabel dalam Survei Pasar Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 2008. Khususnya terkait dengan standar tenaga kerja, data mengenai status kerja, terpaan ke pelatihan dan remunerasi dan pendidikan diperiksa dan dibandingkan dengan latar belakang dari studi kasus. 

1.1.1 Studi Kasuss 
Enam belas studi kasus dilakukan di lapangan. Berikut adalah daftar studi kasus tersebut. 
  1. Dua orang mandor lapangan: dari Perum Perhutani, badan usaha milik negara; penyedia layanan outsource termasuk tenaga kerja. 
  2. Satu orang pemetik daun eucalyptus: buruh lepasan, Perum Perhutani non-kayu. 
  3. Satu orang operator kehutanan sosial: berkecukupan; bekerja sendiri dari lahan hutan sebagai sambilan. 
  4. Dua orang penyadap getah pinus: pekerja bebas, Perum Perhutani non-kayu. 
  5. Komunitas penyadap karet: pekerja bebas di PT Perkebunan Nusantara,Kabupaten Lamongans. 
  6. Pedagang madu: bekerja sendiri; membeli dan menjual madu dari individu yang mengumpulkannya dari kehutanan sosial berbasis hutan konservasi. 
  7. Operator kehutanan sosial: miskin; bekerja sendiri di lahan Perum Perhutani. 
  8. Mantan pencuri pohon: bekerja sendiri di lahan Perum Perhutani sebagai operator kehutanan sosial. 
  9. Satpam: karyawan permanen dari perusahaan penebangan PT ITCI Kartika Utama (ITCI), yang sekarang telah berubah menjadi pengembang hutan perkebunan. 
  10. Penyelia pemeliharaan lapangan: karyawan permanen di Balikpapan Forest Industries (BFI), sebuah perusahaan penebangan yang juga berubah menjadi pengembang hutan perkebunan. 
  11. Buruh pemelihara hutan: buruh harian bekerja di pemeliharaan hutan perkebunan untuk BFI. 
  12. Pekerja penyiap lahan hutan: pekerja yang outsource yang dapat dijelaskan sebagai bekerja sendiri namun merupakan pekerja bebas yang dibayar berdasarkan kuas area yang dikerjakan, bekerja sebagai bagian dari tim yang membersihkan bekas lahan hutan untuk kemudian ditanami kembali oleh BFI. 
  13. Penebang pohon: kontraktor permanen yang menebang dan memotong batang pohon; dapat dikategorikan sebagai bekerja sendiri; bekerja untuk operasi penebangan BFI. 
  14. Operator penyarad kayu: memindahkan balok kayu dari hutan ke anjungan bongkar muat. Bekerja sebagai bagian sebuah tim dengan penebang pohon (Kasus 13). Seorang kontraktor permanen yang dapat dikategorikan sebagai bekerja sendiri, bekerja untuk operasi penebangan BFI. 
  15. Pekerja persemaian: disediakan kepada ITCI oleh perusahaan outsource. 16. Juru masak: disediakan ke ITCI oleh perusahaan outsource.
1.1.2. Status Pekerjaan 
Sektor kehutanan di Indonesia, seperti yang telah diperkirakan, memiliki sejumlah besar pekerja, mayoritas sektor tersebut dibantu oleh pekerja tidak dibayar yang kemungkinan besar adalah anggota keluarganya. Anggota dari kelompok ini kemungkinan besar terdiri dari petani-petani miskin yang bekerja di kehutanan sosial, berbagi lahan pertanian dengan entitas pemerintah, seperti contoh yang disajikan dalam Studi Kasus 7 & 8, dan banyak pekerja lepas seperti penyadap getah pinus dan penyadap karet (Studi Kasus 4 & 5). Di lapangan, walaupun mereka digambarkan sebagai “pekerja bebas” (casual labourers), deskripsi ini lebih umum lagi berlaku pada orang yang bekerja musiman seperti kegiatan memanen dan menanam dalam pertanian. Bagi mereka yang bekerja di sektor kehutanan dalam pekerjaan yang dibayar sesuai dengan kuantitas, seperti jumlah barang yang diproduksi atau luas lahan yang disiapkan, istilah bekerja sendiri mungkin lebih tepat, dan itu adalah bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, khususnya dimana tidak ada kontrak diberikan ataupun dijanjikan. Di Kalimantan, beberapa studi kasus mengindikasikan bahwa dalam pengaturan outsourcing, ketika penyedia tenaga kerja outsource memiliki kontrak dengan perusahaan terkait, pekerja seringkali tidak memiliki kontrak dengan perusahaan outsource tersebut (Studi Kasus 12 & 

1.1.3. Pelatihan 
Sesuai dengan Data Angkatan Kerja, 99.9% laki-laki dan 99.1% perempuan terlibat dalam sektor kehutanan tidak pernah menghadiri pelatihan apapun. Informasi dari informan kunci mengindikasikan bahwa pelatihan apapun yang diberikan pada umumnya hanya dalam aspek teknis kehutanan. Tidak pernah ada peningkatan kesadaran mengenai kondisi kerja, kesehatan dan keamanan pekerja, standar tenaga kerja, pertolongan pertama atau penggunaan bahan kimia dan praktek kerja yang baik. Fakta ini diverifi kasi oleh beberapa studi kasus, khususnya untuk mereka yang dipekerjakan di eselon rendah dalam sistem tersebut Pada umumnya, hanya pekerja yang bekerja sebai karyawan kontrak dibayar yang mampu mengikuti pelatihan apapun, dimana dalam kasus ini, pekerja tersebut hanya mencakup sekitar 1.98% dari mereka yang terkait dengan sektor kehutanan (Tabel 3.2). 

Tabel 3.2 Status Pekerjaan di Sektor Kehutnaan
1.1.4. Penghasilan 
Dicatat bahwa penghasilan yang diperoleh oleh penyadap getah pinus dan karet di hutan perkebunan berada dibawah upah minimum provinsi, yaitu sebesar Rp. 570,000 per bulan pada tahun 2009. Juga menarik untuk menunjukkan bahwa Jawa Timur, lokasi studi kasus ini, memiliki upah minimum terendah dari seluruh provinsi di Indonesia. Apabila bayaran penyadap karet (Rp. 360,000 per bulan) dan penyadap getah pinus (Rp. 400-500,000 per bulan) pada tahun 2009 dibandingkan dengan rata-rata nasional untuk pekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan dari tahun 2007 (Rp. 626,000 untuk perempuan dan 790,000 untuk laki-laki), jelaslah bahwa bayaran mereka jauh dibawah rata-rta untuk sektor tersebut. Angka rata-rata nasional juga menunjukkan kesenjangan upah antara perempuan dan lakilaki; namun, selama studi ini, kesenjangan tidak muncul.

Kemungkinan besar mayoritas pekerja sektor kehutanan tidak mendapatkan upah per waktu tertentu, namun berdasarkan kuantitas pekerjaan yang mereka lakukan. Di Indonesia, ini dikenal sebagai sistem “borong”. Data Angkatan Kerja mengindikasikan bahwa tahun 2008, terdapat sejumlah besar orang bekerja dalam sektor kehutanan untuk upah dibawah tingkat rata-rata provinsi dan sektor. 

Tabel 3.3 Penghasilan dari Pekerjaan Utama di Sektor Kehutanan

Upah minimum provinsi terendah di Indonesia untuk tahun 2009 adalah Rp. 570,000 per bulan. Apabila ini digunakan sebagai nilai batas, setidaknya 67.6% dari pekerja sektor kehutanan memperoleh jauh lebih sedikit dari level terendah (Tabel 3.3). Dari perspektif pembangunan dan distribusi kemakmuran, tingkat pendapatan ini menjadi sumber keprihatinan. Penghasilan yang sangat rendah dapat dikaitkan dengan orang yang bekerja sendiri, yang tinggal di daerah terpencil di hutan dan menemukan makanan mereka dari hutan dengan cara tradisional, di luar dari ekonomi arus utama. Kadangkala mereka akan menemukan beberapa hasil hutan untuk dipanen guna mendapatkan uang tunai. Penting untuk mencatat bahwa hanya responden survei yang melaporkan pendapatanlah yang masuk ke dalam tabel (16,271 kasus)

1.1.5 Pendidikan 
Rata-rata tingkat pendidikan di sektor kehutanan cukup rendah; 87.5% dari pekerja sektor kehutanan menerima pendidikan sekolah dasar atau kurang. Kurang dari 0.4% telah melengkapi pendidikan menengah ke atas dan jumlah yang kecil ini kemungkinan besar terdiri dari oleh manajemen senior perusahaan kehutanan yang lebih besar serta pegawai negeri sipil di Departemen Kehutanan atau badan usaha milik negara yang besar. Pada umumnya, tingkat pendidikan juga merupakan indikasi tingkat kemiskinan dalam sektor kehutanan. Keluarga berjuan untuk mendidik anak-anak mereka setinggi mungkin, namun karena alasan ekonomi, mereka biasanya gagal. Memiliki cara dan uang untuk mendidik anak-anak mereka di atas tingkat sekolah dasar biasanya hanya keburuntungan bagi beberapa pekerja berpenghasilan menegah. Seperti yang dilihat dalam studi kasus, beberapa orang ini bekerja di daerah yang lebih berisiko namun menguntungkan dalam sektor kehutanan, seperti tim penebangan di hutan alam (Studi Kasus 13), sebagai karyawan permanen dalam posisi penyelia/manajemen atau posisi yang menuntut tingkat kesetiaan yang tinggi (Studi Kasus 9 &10), atau sebagai kontraktor yang memiliki hubungan dekat dengan staf lokal badan usaha miliki negara sehingga memungkinkan mereka untuk memperbaharui akses ke kontrak outsourcing (Tabel 3.3). 

1.1.6. Kerja Paksa 
Terdapat beberapa bukti kasus kerja paksa di Indonesia, “pekerja rumah tangga di pusat penyaluran menandatangani dokumen sebelum berangkat, mengindikasikan kesediaan mereka untuk dikurangi gajinya secara langsung oleh majikan untuk diberikan ke agen rekrutmen. Di beberapa kasus, pembayaran ini terhitung sebesar 90 persen dari gaji pekerja selama lima bulan pertama bekerja di luar negeri.”15. Saat ini tidak ada data yang tersedia namun terdapat rujukan “praktek kelembagaan ini marak terjadi oleh, khususnya, agen rekrutmen, majikan dan pejabat terkait” dalam laporan ILO baru-baru ini mengindikasikan bahwa kerja paksa adalah fakta ekonomi di Indonesia, laporan tersebut meminta Pemerintah Indonesia untuk menggandakan upayanya guna memperkuat kebijakan, mekanisme dan praktek dalam memberikan perlindungan yang efektif bagi pekerja migran yang bekerja paksa dan perdagangan manusia. Laporan tersebut mencatat keprihatinan bahwa “khususnya situasi yang rentan bagi para pekerja migran”16. Namun, bukti anekdot dari siklus gali lubang tutup lubang (hutang dan pembayaran kembali) menunjukkan bahwa kerja paksa kemungkinan besar juga terjadi di daerah pedesaan di Indonesia. Banyak penelitian diperlukan dalam dimensi tenaga kerja di Indonesia ini. 


1.1.7. Ringkasan Temuan 
Sektor kehutanan saat ini memiliki ciri-ciri pendapatan yang relatif tinggi, mungkin beberapa merupakan yang tertinggi dalam klasifi kasi pertanian. Terkait dengan fakta ini adalah status pekerja, sebagian besar pekerja tersebut diklasifi kasikan sebagai pekerja tidak dibayar atau bekerja sendiri. Jumlah pekerja yang tidak dibayar menunjukkan bahwa sementara tingkat penghasilan pada umumnya tinggi di sektor kehutanan, kemiskinan kemungkinan ada, khususnya ketika mengingat bahwa pekerja tidak dibayar terhitung sekitar 50% dari semua pekerja kehutanan. 

Status bekerja sendiri dapat berakibat pada pekerja tidak dianggap sebagai aset, sehingga operator komersil tidak melihat alasan untuk memberikan investasi dalam bentuk pelatihan atau peningkatan kondisis mereka. Bahkan, mereka kemungkinan besar dilihat sebagai kumpulan buruh yang dapat dieksploitasi secara selektif apabila diperlukan. Ketika tenaga kerja diperlukan maka pemasok bisa memilih yang paling fi t dan sehat untuk dibayar dengan upah yang kecil. Hal ini membuat manajemen sumber daya manusia menjadi proses yang sederhana dan murah. Tingkat pendidikan berada di antara tingkat terendah per sektor, sebuah hasil yang langsung sebagai dampak kondisi tenaga kerja. 

Tabel 3.3 Tingkat Pendidikan di Sektor Kehutanan 

Studi kasus menekankan beberapa poin yang memerlukan perhatian dari sudut pandang kondisi dan inspeksi tenaga kerja. Di semua kasus terdapat sedikit sekali kesadaran terkait dengan arti sebenarnya dari kondisi kerja, kesehatan dan keamanan pekerja atau isu-isu umum terkait dengan tenaga kerja. Tidak ada satupun responden, selain dari satpam yang mengetahui apapun tentang pertolongan pertama. Hal ini terjadi walaupun beberapa pekerja tersebut melakukan pekerjaan yang berbahaya dan banyak yang diharapkan secara sukarela memadamkan kebakaran hutan apabila dan ketika kebakaran itu terjadi. Penggunaan pakaian pelindung bersifat minimal diantara para responden studi kasus. Sebagian besar responden berusia di atas 30 dan konsensus umum di kalangan tersebut adalah bahwa kehutanan tidak menarik bagi kaum muda. 

Kondisi tenaga kerja di lapangan, berdasarkan pada penilaian pandangan mata, menunjukkan bahwa kelayakan pekerjaan kurang lebih disesuaikan dengan tipe kontrak. Hasil dari studi menunjukkan bahwa lebih dari setengah pekerjaan tampaknya tidak memenuhi kriteria untuk kerja yang layak, terutama karena terkait dengan rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya jaring pengaman, kurangnya penghasilan yang dapat diandalkan, dan kondisi kerja yang buruk. Pekerjaan yang biasanya memenuhi kriteria pekerjaan yang layak, umumnya dimiliki oleh pekerja kontrak permanen, pekerja dengan pengalaman yang banyak di bidang tertentu yang membutuhkan keahlian motorik dan persepsi yang baik karena risiko pekerjaan, seperti penebang dan penyarad kayu, atau mereka yang memiliki pengaturan kontraktor berulang dengan perusahaan. 

Isu-isu utama yang dihadapi cukup universal seperti kurangnya perhatian yang cukup atas isu kesehatan dan keamanan, mungkin kasus yang paling berbahaya adalah masalah malaria yang terus menerus terjadi di kemah para penebang, kondisi persiapan hidup/makanan di kemah para buruh outsource, dan kurangnya kesadaran mengenai bahaya bahan kimia: contohnya, satu responden menyatakan bahwa dia selalu mencampur bahan kimia dengan tangannya. Ia mengira bahwa ini boleh dilakukan, selama dia mencuci tangan setelahnya. Beberapa pekerja juga menyatakan bahwa mereka tidak memakai pelindung wajah ketika menyemprot bahan kimia, mereka hanya menarik kaos mereka untuk menutupi hidung dan mulut. 

Salah satu masalah paling besar, khususnya dalam hutan kebun non-kayu, adalah tingkat penghasilan dan kemiskinan. Banyak orang dapat diklasifi kasikan sebagai pekerja miskin dan masalah inilah yang akan memberikan tantangan terbesar terkait dengan kerja yang layak. Investigasi yang serius perlu dilakukan untuk mencapai distribusi profi t yang adil atau untuk menemukan cara alternatif untuk menambah penghasilan (Tabel 3.4).



Februari 13, 2016

0 comments:

Posting Komentar