Sifat Hukum dan Materi Muatan TAP MPR

Jumat, 25 Maret 2016

Terjadinya pasang surut dalam hal penempatan TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundangundangan dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan selama ini pada prinsipnya menimbulkan pertanyaan mendasar terkait bagaimana sesungguhnya sifat hukum dari TAP MPR itu sendiri serta seperti apa materi muatan yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan ini patut diajukan mengingat adanya kesan bahwa seolaholah TAP MPR tidak ditempatkan secara konsisten dalam sejarah hierarki peraturan perundangundangan yang pernah berlaku di Indonesia. Keberadaannya pernah dihilangkan dan sekarang dicantumkan kembali dalam hierarki peraturan perundang-undangan

Sesungguhnya, TAP MPR tidak tepat dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Guna menguatkan argumen dimaksud, maka dapat ditelisik lebih jauh bagaimana sesungguhnya sifat hukum dan materi muatan TAP MPR. Dalam dunia hukum, istilah ketetapan atau keputusan memiliki ruang dan ciri khas yang teramat jauh berbeda dengan istilah peraturan (regeling). Oleh karenanya, maka menempatkan dan memasukkan TAP MPR dalam kategori peraturan perundang-undangan justru mengacaukan pemahaman terkait dengan produk hukum yang selama ini dikenal di Indonesia.

Ketetapan atau keputusan yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah (beschikking) memiliki ciri dan sifat hukum konkrit, individual dan final. Sedangkan peraturan (regeling) memiliki sifat mengatur secara umum dan abstrak (general and abstract). Dari sifat hukum dimaksud, maka dapat dipahami bahwa TAP MPR bukanlah termasuk kategori peraturan (regeling), melainkan merupakan keputusan atau keketapan (beschikking), sehingga tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.

Bahkan bila kemudian merujuk pandangan yang diutarakan Maria Farida Indrati Soeprapto15 , TAP MPR justru dianggap merupakan staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara atau aturan pokok negara. Pandangan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa TAP MPR mengandung materi muatan tentang garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara. Sifat norma hukumnya masih merupakan garis besar dan merupakan norma hukum tunggal yang belum dilekati oleh norma hukum sekunder.

Pandangan Maria Farida Indrati Soeprapto tersebut sesungguhnya menempatkan posisi TAP MPR jauh lebih tinggi dari sebatas peraturan perundang-undangan sebagaimana dilakukan saat ini. Secara tidak langsung, TAP MPR hampir dapat dikatakan memiliki kedudukan hukum yang sama pentingnya dengan UUD. Logika hukumnya tentu cukup masuk akal. Bila kemudian dikorelasikan dengan kewenangan mengubah dan menetapkan UUD yang berada di bawah kewenangan MPR, maka sudah barang tentu kedudukan TAP MPR memiliki derajat yang sama pentingnya dengan UUD itu sendiri. Bahkan dengan posisi yang demikian penting, maka TAP MPR sangat berpotensi hadir sebagai pelengkap dari UUD itu sendiri. Oleh karenanya, maka cukup beralasan bila menempatkan TAP MPR sebagai aturan dasar negara, bukan sebagai peraturan perundangundangan.

Posisi dan kedudukan TAP MPR sebagai pelengkap UUD juga sudah pernah dibuktikan melalui pembentukan sejumlah TAP MPR. Beberapa TAP MPR yang walaupun secara tidak langsung telah mengubah UUD, namun telah menyentuh materi muatan dalam UUD itu sendiri adalah : pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1983 tentang Referendum. Menurut TAP MPR tentang Referendum, bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD, maka harus dilakukan referendum nasional untuk itu yang mana disertai dengan sejumlah persyaratan yang cukup rumit.

Kedua, TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1 TAP MPR dimaksud bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Secara substansial, ketentuan dalam TAP MPR dimaksud sesungguhnya telah menyentuh dan bahkan mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang kala itu masih berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Ketiga, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan TAP ini juga dapat dipandang sebagai upaya penyempurnaan atau langkah dalam melengkapi ketentuan mengenai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 ketika itu.

Mengacu pada sifat hukum dan materi muatan TAP MPR sebagaimana diuraikan di atas, maka menjadi kian jelas bahwa TAP MPR sesungguhnya tidak tepat diletakkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dilakukan saat ini. Bahkan dari segi substansi atau materi muatan, menempatkan TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundangundangan justru telah menurunkan derajat TAP MPR itu sendiri. Fakta ini semestinya turut dipertimbangkan dalam rangka mengkaji lebih jauh tentang keberadaan TAP MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.



Maret 25, 2016

0 comments:

Posting Komentar