PERKEMBANGAN NILAI SENI DI INDONESIA

Sabtu, 07 November 2015

ADANYA PERUBAHAN POLA PIKIR
Terjadinya transformasi budaya secara umum berpengaruh pula terhadap metodologi berfikir setiap individu atau kelompok masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sebelum berkesempatan mengenyam pendidikan ‘barat’, masyarakat Indonesia masih menganut pola pikir tradisional (kosmologis), yang memandang nilai kebenaran bukan intrinsik dan kontekstual, melainkan transendental dan universal.

Dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, secara spesifik digambarkan bahwa hidup manusia mentradisi sebagai aspek hubungan transenden-esensialimanen. Hidup dibayangkan akan kembali menuju aspek transenden-esensial lewat transenden-eksistensial, yang berorientasi kepada satu titik yang melambangkan bersatunya kawula-gusti. Pada titik itu pula tampak orientasi kepercayaan orang Jawa yaitu suwung awing uwung atau sesuatu yang bersifat tidak dapat diterangkan, yang sekaligus merupakan perpaduan antara transenden, esensi, imanen dan eksistensi secara sempurna.

Pola berfikir orang Jawa, yang berprinsip pada pencarian kebenaran di samping akal budi, juga didekati dengan kasunyataan atau olahrasa. Model berfikir orang Jawa tersebut kerapkali disimbolkan sebagai bentuk kerucut atau piramida dengan titik atas diibaratkan sebagai Maha Pencipta. Ada pula yang melambangkannya sebagai empat persegi dengan garis diagonal yang menunjukkan titik tengah sebagai pusat segala orientasi.

Diperkenalkannya pendidikan Barat pada golongan ningrat di era Politik Etis hingga model pendidikan jaman sekarang telah mengubah cara berfikir tradisional tersebut ke arah pola berfikir rasionalistis seperti yang berkembang di Barat. Pandangan bahwa kebenaran ilmiah hanya bias diukur dengan unsur logika (rasionalisme logis) dan disertai dengan bukti empiris (rasionalisme empiris) tertanam pada sebagian masyarakat Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan model Barat tersebut. Walaupun dalam pelaksanaannya model berfikir orang tradisional Jawa itu seringkali berbenturan dengan model berfikir Barat yang rasional, secara bertahap terjadilah proses dialog. Hal ini terjadi karena orang Jawa mempunya karakter sebagai pemadu gagasan. Sebagaimana yang telah diutarakan oleh Taruna, seorang pakar kebudayaan Jawa, manusia Jawa pada dasarnya unggul sebagai moderator dalam banyak hal sehingga jabatan penasehat, sesepuh, penganyom atau pembina harus ada dalam organisasi, dan fungsi mereka lebih sebagai sosok pemadu akhir.

Demikian pula dalam gagasan estetik, orang Jawa selalu mencari keselarasan antara aspek tradisional dan unsur modern tanpa terjadi benturan yang besar. Dengan demikian, dalam perkembangan nilai estetik dalam arti yang luas, sulit ditemukan karya yang sifatnya temuan baru, tetapi lebih banyak yang bersifat paduan atau pengembangan. 

Dengan ditanamkannya model berfikir modern di bangku sekolah pada jaman sesudah kemerdekaan, mulailah terjadi pergeseran dalam pola fikir masyarakat Indonesia secara bertahap. Walaupun tingkat pergeseran ini sangat bervariasi, keseragaman kurikulum pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa ada satu konsepsi yang jelas dalam menanamkan metode berfikir modern dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh pendidikan modern itu lambat laun membentuk satu pola fikir baru dalam masyarakat Indonesia, meskipun banyak pihak mengakui bahwa pola fikir tradisional masih tetap bertahan. Hal ini diutarakan oleh Abrahamson tentang masyarakat transisi, bahwa budaya rasa dan budaya akali akan hidup berdampingan mencari format yang tepat.

Penanaman pola fikir baru ini pada masa transisi di era Orde Baru mengalami ketidakseimbangan ketika muatan rasionalitas dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia demikian tingginya, sehingga muatan yang mengolah rasa, keterampilan, kreativitas dan budi pekerti kurang diperhatikan. Ketidakseimbangan ini di kemudian hari menjadi bagian dari proses ‘pembusukan’ nilai dan kebudayaan nasional.

PENGGUNAAN TEKNOLOGI YANG LEBIH MAJU
Sejak diperkenalkannya perangkat permesinan di berbagai industri pengolahan (terutama kopi, kopra dan tebu) dan industri pertambangan (batubara, minyak dan beberapa macam mineral) oleh pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Indonesia sadar bahwa peningkatan penggunaan teknologi bisa mempercepat hasil yang didapat.

Namun, saat Soekarno-Hatta memproklamirkan negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata Belanda hanya meninggalkan kegiatan industri tanpa usaha pengkaderan tenaga ahlinya. Barulah pada masa kabinet Djuanda perletakan dasar penggunaan teknologi maju mulai digagas. Hal tersebut terbukti dengan dibangunnya berbagai proyek besar, seperti pabrik pengolahan bijih besi Cilegon, proyek pembangkit listrik Jatiluhur, pabrik semen Gresik, pabrik kertas dan pabrik tekstil, yang semuanya itu telah menggunakan teknologi modern. Demikian pula dengan pembangunan gedung bertingkat, perencanaan kota metropolitan, aneka produk manufaktur berteknologi canggih, industri grafika serta perangkat produksi berteknologi tinggi. Dalam dunia pertanian diterapkan program mekanisasi, inseminasi buatan dan rekayasa holtikultura. Dalam bidang kesehatan diterapkan bermacam-macam peralatan kedokteran modern, mulai dari yang dipergunakan untuk bedah jantung hingga bayi tabung. Juga dalam dunia telekomunikasi, dengan memanfaatkan satelit dan berbagai peralatan komunikasi modern. Dalam bidang penerangan ditandai dengan meluasnya pengguna radio dan televisi. Dalam bidang transportasi, pemanfaatan teknologi maju tampak terlihat dengan dioperasikannya pesawat berbadan lebar milik Garuda, dan seterusnya.

Penerapan teknologi modern hampir di semua lini tersebut sangat berpengaruh dalam menciptakan pergeseran nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Hal ini terbukti dengan terjadinya perubahan pada pola hubungan kemasyarakatan, adat dan kebiasaan, persepsi terhadap waktu dan pandangan hidup baru yang mengarah kepada dunia materi. Dengan sendirinya maka nilai dan norma umum dalam masyarakat pun ikut berubah, termasuk perkembangan nilai-nilai baru sebagai akibat pergeseran terus-menerus. Demikian pula dengan terapan praktis aneka macam produk teknologi dalam masyarakat, termasuk peralatan rumah tangga, peralatan kantor, sistem transportasi, hingga aneka alat pribadi seperti jam tangan digital, pakaian, kalkulator, laptop atau notebook hingga kartu kredit. Semuanya membangun gaya hidup baru dalam masysarakat, terutama masyarakat di perkotaan.

Penggunaan teknologi yang lebih maju tidak selalu mampu menciptakan teknologi baru. Namun, sebagai pemakai dan perakit pun kita ‘mampu’ menciptakan apresiasi yang lebih maju terhadap modernisasi. Tetapi sebuah bangsa pada modernisasi tahap lanjut tidak cukup hanya sebagai pengguna, tetapi juga dituntut sebagai ‘pencipta’ teknologi.
 
ADANYA PERUBAHAN CITARASA MASYARAKAT
Masyarakat yang terkondisikan, baik secara alamiah maupun ‘pemaksaan’ dalam rangkaian program modernisasi, lambat laun mengalami pergeseran apresiasi dan persepsi terhadap lingkungan sekelilingnya. Hadirnya kendaraan, gedung, jalan raya, peralatan modern dan informasi mengenai pembangunan, membuka mata sebagian masyarakat akan ‘kebaikan’ hidup masyarakat modern. Dan kemudian dalam jangka waktu tertentu, hal ini menular ke lingkungan yang lebih luas. 
 
Sejalan dengan itu, meningkatnya pendapatan masyarakat telah ikut meningkatkan standar hidup masyarakat. Akibatnya, kebutuhan akan aneka barang konsumsi pun meningkat. Peningkatan ekonomi juga berpengaruh pada peningkatan status sosial pada masyarakat tertentu, terutama masyarakat di kota besar, yang rata-rata merupakan masyarakat berpendidikan tinggi, kalangan profesional, para pengusaha muda, bahkan anak-anak. Tatanan baru akibat keberhasilan pembangunan tersebut juga disertai dengan munculnya gaya hidup baru yang sesuai dengan kelas sosialnya.

Percepatan dalam bidang ekonomi pada fase pembangunan lanjut telah memunculkan kelas sosial baru. Hal ini diikuti pula oleh ‘peningkatan’ citarasa terhadap kebutuhan sehari-hari. Perubahan ini dipercepat pula oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga berbagai produk konsumen dengan
cepat menjadi budaya massa.

Karena tuntutan konsumsi dan citarasa masyarakat meningkat, nilai estetik pun segera mengimbangi peningkatan tersebut. Tetapi, karena perangkat nilai yang ada sebelumnya lebih lambat berkembang sebagaimana yang diutarakan oleh Ogburn, masyarakat baru tersebut kemudian menciptakan sendiri nilai-nilai yang dianggap sesuai dengan status sosialnya. Hal itu dapat berlangsung dengan cepat, sehingga dalam tempo yang singkat sudah menjadi bagian hidup yang tercermin dalam karya desain, baik rumah, kendaraan, perabotan maupun barang kesehariannya dengan pelbagai jenjang kualitas sesuai dengan daya beli dan kemampuan jangkau dari masyarakat tersebut.

MUNCULNYA GERAKAN PEMBARUAN DALAM SENI
Faktor lainnya yang cukup penting dalam pergeseran nilai estetik adalah ungkapan dan pemikiran estetik pembaruan, baik yang dilakukan oleh para seniman maupun tawaran konsep desain baru. Ditinjau dari segi proses transformasi dan pembaruan yang dilakukan oleh para pendesain Belanda dalam ungkapan estetiknya merupakan awal terjadinya pergeseran nilai estetik di Indonesia, yaitu dari nilai estetik Hindu-Jawa-Islam mengarah ke nilai estetik yang bersifat modern.
Kesadaran akan nilai estetik modern baru muncul ketika kelompok Pujangga Baru mulai sadar akan pentingnya pembaruan di bidang sastra. Pada dunia seni rupa, pemikiran modern itu baru muncul ketika didirikan Persagi pada tahun 1938 oleh Agus Djaja, Sudjojono, dkk. Pada saat itu kesadaran estetik modern sebenarnya masih berada pada tahap awal sehingga bentuk ungkapan estetiknya pun masih mencari formasi bentuk yang tepat.
 
Pujangga Baru dan Persagi dapat dijadikan indikasi adanya kesadaran perubahan nilai estetik ke arah bentuk ungkapan modern. Hal itu dapat dicirikan dari upaya penyederhanaan bentuk yang lebih akali dan didukung oleh kritik sebagai cerminan kegiatan kesenian modern. Selain itu, pengaruh konsep pemikiran dari dua kegiatan kesenian di atas secara bertahap membentuk satu sintesis budaya yang lebih lengkap pada beberapa generasi sesudahnya. 

Dalam dunia seni rupa, setelah periode Persagi yang ‘menawarkan’ realisme selama beberapa dasawarsa, muncul pembaruan yang dilakukan oleh para seniman akademik dengan beragam gaya. Gaya-gaya tersebut mulai dari gaya abstrak, pengembangan nilai estetik tradisional dan berbagai eksperimen estetik lainnya. Seniman di balik berbagai gaya ini dikenal sebagai mazhab Bandung dan mazhab Yogyakarta. Barulah pada sekitar tahun 1975-an, bersamaan dengan merebaknya kebudayaan pop yang memasuki dunia sastra, muncul Gerakan Seni Rupa Baru yang dipelopori oleh Jim Supangkat dan Sanento Yuliman. Kemudian, dalam kurun tahun 1980-an kelompok ini mengadakan pameran yang berjudul ‘Pasaraya Dunia Fantasi I’ dan ‘Pasaraya Dunia Fantasi II’ dan sesudah itu mereka membubarkan diri. Dua puluh tahun setelah Gerakan Seni Rupa Baru, pembaruan dalam dunia seni bersifat sporadik, yang dilakukan oleh kelompok kecil ataupun oleh individu seniman.

Dalam dunia arsitektur, baru pada tahun 1990-an Arsitek Muda Indonesia (AMI) menyelenggarakan pameran besar dan menerbitkan buku yang berjudul Arsitek Muda Indonesia 1990-1995 yang berisi alternatif pemikiran arsitektur Indonesia, baik yang berorientasi ‘posmo’, ‘vernakular’ maupun ‘alternatif’. Pada tahun 2000, kelompok ini menerbitkan buku Perjalanan 1999 yang berisi ulasan mengenai pameran dan studi banding dengan berbagai karya arsitektur di beberapa negara Eropa.

BERPERANNYA IDEOLOGI POLITIK
Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa terbukti berpengaruh besar terhadap perkembangan nilai estetik. Seperti halnya pada jaman berkuasanya sejumlah partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin, nilai estetik terekspresikan dalam bentuk propaganda partai politik yang menaunginya. Demikian pula, ketika
kekuasaan Soekarno begitu besar, timbul istilah politik ‘mercusuar’ dalam pembangunan fisik.

Pada masa Orde Baru, melalui penerapan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri, permukiman, pariwisata dan sebagainya, nilai estetik yang timbul adalah manifestasi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Meskipun terjadi pluralitas dan kebebasan, semuanya tetap harus sejalan dengan garis politik yang dimiliki pemerintah. Nilai estetik yang ‘kurang sejalan’ dengan kebijakan tersebut kurang mendapat kesempatan untuk berkembang. Hal itu terbukti dengan adanya penutupan berbagai kegiatan kesenian yang mengeritik pemerintah, seperti penghentian pertunjukan teater ‘Kecoa’ atau penutupan pameran seni rupa ‘Marsinah’, pelarangan buku sastra karangan Pramudya Ananta Toer, pembacaan puisi oleh W.S. rendra dan sebagainya. Selanjutnya, ada peraturan tentang perijinan pergelaran kesenian dari pihak keamanan, ada badan sensor film, surat ijin penerbitan dan berbagai kegiatan yang sifatnya mengontrol kegiatan termasuk nilai-nilai bawaannya. Jika nilai-nilai tersebut tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, badan kontrol tersebut segera menindak dengan cara pencabutan ijin, penyensoran atau pelarangan.

DIBUKANYA PENDIDIKAN SENI RUPA MODERN
Pendidikan seni acapkali dianggap sebagai barometer pertumbuhan nilai estetik karena pendidikan merupakan proses pembentukan jiwa dan karakter nilai anak didik. Pendidikan seni rupa (termasuk desain) menanamkan metode berfikir modern dan bermuatan nilai-nilai Barat, yang seringkali tercermin dari karya pada didikannya.

Pengaruh modernisme yang dibawa oleh Reis Mulder misalnya, menjelma dalam geometrik yang abstrak. Hal ini kemudian berpengaruh kepada murid-muridnya, seperti Achmad Sadali, But Mukhtar, Mochtar Apin dan Srihadi Soedarsono. Bahkan tradisi tersebut berlanjut pada generasi berikutnya seperti Umi Dachlan, A.D. Pirous, Kaboel Suadi, Setiawan Sabana dan Abay Subarna, dengan transformasi yang berbeda. Selain itu, alumni pendidikan ini yang tersebar di berbagai tempat dan perguruan tinggi yang lainnya, juga menyebarkan nilai-nilai modern yang berasal dari perguruan tingginya dengan terapan gaya yang amat bervariasi.

Dalam bidang desain, pengaruh modernisme yang berkembang di Barat tercermin dari metodologi pendesainan dan muatan nilai estetikanya. Hal ini sejalan dengan perkembangan nilai-nilai yang berlangsung di masyarakat industri. Dalam hal tertentu, nilai-nilai tradisional diangkat sebagai tema dalam berkarya namun nilainilai tersebut telah mengalami proses penerjemahan ke dalam bentuk modern. Paham modern tersebut berlanjut setelah para didikannya ini bekerja di luar, baik sebagai pendesain bebas ataupun bekerja di biro desain, di pemerintahan maupun di industri.



November 07, 2015

0 comments:

Posting Komentar