Transformasi Pendidikan Global
Transformasi sebagaimana dikatakan oleh Mezirow (2000: 6) ... the concept of transformative learning which he defines as “the process by which we transform our takenforgranted frames of reference”). Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa He asserts that transformation takes place through a process of critical reflection that is facilitated by open dialogue in a safe setting. In conjunction with this reflection and dialogue, Transformation Theory’s focus is on how we learn to negotiate and act on our own purposes, values, feelings, and meanings rather than those we have uncritically assimilated from others Mezirow, (2000: 6-7). Yang berarti bahwa konsep pembelajaran transformatif didefinisikan sebagai proses di mana kita mengubah bingkai acuan. Dia menegaskan bahwa transformasi berlangsung melalui proses refleksi kritis yang difasilitasi oleh dialog terbuka dalam suasana yang aman. Dalam hubungannya dengan refleksi dan dialog, "Fokus Teori Transformasi adalah pada bagaimana kita belajar untuk bernegosiasi dan bertindak pada tujuan kita sendiri, nilainilai, perasaan, dan makna yang kita miliki secara kritis yang diasimilasikan dari dan pada orang lain.
Pada pertengahan tahun 1990-an, ada sebuah forum yang bernama “Schule fuer Eine Welt” (Sekolah demi Dunia yang Satu) dari Swiss. Dalam metode pendidikan yang dikembangkannya muncul empat ide arahan, yaitu perluasan wawasan kependidikan, refleksi identitas, perubahan pola hidup, dan hubungan antara lokal dan global. Wolfgang Klafki (Ivan A. Hadar, 2000), misalnya, menuntut bahwa dalam jangka menengah, peserta didik seluruh dunia harus diperkenalkan kepada permasalahan kunci dunia modern, yaitu perang dan damai, arti dan masalah prinsip-prinsip nasionalisme dihubungkan dengan pertanyaan tentang keunikan budaya dan hubungan antar budaya, permasalahan lingkungan terutama yang berkaitan dengan perubahan kesadaran dan pola hidup, peningkatan tajam penduduk bumi, kesenjangan sosial, dan bahaya serta kemanjuran teknologi.
Adapun perangkat-perangkat filosofis yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut (Ivan A. Hadar, 2000):
- Gambaran manusia ideal (menschenbild) adalah ia yang otonom dan bertanggung jawab memperoleh pengakuan dan mampu menilai dengan jernih dan etis, berdaya dan terbuka bagi perubahan serta belajar sepanjang hidup.
- Prinsip-prinsip pendidikan global yang diajukan adalah cara berpikir terkait, holistik, refleksi diri berorientasi pengalaman atau sejarah, orientasi aksi, harmoni sosial, serta aktif dan dinamis tanpa kekerasan (active non-violence)
- Terdapat keterpaduan berbagai institusi dan perencanaan kependidikan, tempat dan suasana belajar, struktur waktu, dan metode belajar mengajar.
- Harapan terciptanya kompetensi dasar manusia yang memiliki sensitivitas pengamatan, empati, perubahan perspektif, bertanggung jawab, refleksi diri, kooperatif, kemampuan mengatasi konflik dan berpikir sistematis.
Perangkat-perangkat filosofis di atas mengarah pada sebuah paradigma “satu dunia untuk semua”. Faktor-faktor sosial yang menunjangnya adalah kesadaran tentang adanya ketergantungan global, perlunya information society, pengakuan eksistensi sub-kultur, kemitraan gender, orientasi masa depan, pembangunan berkelanjutan, dan masyarakat yang berkeadilan. Inilah kualifikasi yang seyogyanya harus dipenuhi dan diakses oleh peserta didik terutama yang berada di tingkat awal pendidikan tinggi.
Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat dan bangsa, maka pendidikan harus ditumbuh kembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negeri ini. Meskipun pembaharuan (transformasi) dilakukan secara terus menerus tetapi upaya itu tidak akan memiliki ujung akhir karena persoalan pendidikan selalu ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu masih ada.
Transformasi pendidikan sebagaimana dikatakan oleh para pakar, dapat dilakukan melalui proses sebagaimana H.A.R. Tilaar, (2002) melalui:
1. Desentralisasi pendidikan merupakan usaha untuk:
- membangun masyarakat demokratis,
- pengembangan social capital, dan
- pengembangan daya saing
2. Proses bipolar antara lokalisasi dan nasionalisme/globalisasi.
3. Transformasi pendidikan melalui pendidikan demokratis (Zamroni, 2011).
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa:
1. Desentralisasi pendidikan adalah untuk membangun masyarakat demokratis yaitu masyarakat yang ditandai oleh: pengakuan akan hak asasi manusia, masyarakat terbuka dan bertanggung jawab, memiliki pemerintahan yang bersih (good and clean governance) dan mengakui adanya perbedaan.
2. Sedangkan masyarakat bipolar antara lokal dan nasional/ global adalah proses pembudayaan dan menjadikan nilai dan budaya masyarakat sebagai pemersatu cita-cita pendidikan dan
3. Pendidikan demokratis adalah pendidikan yang mengutamakan aspek-aspek sebagai berikut:
- kurikulum yang disampaikan harus berisi pesanpesan yang bermakna,
- bahan pengajaran sebagaimana aspek pertama disamping bersifat teoritis tapi dipadukan dengan isu-isu yang ada di masyarakat,
- perlunya pelayanan pembelajaran yang optimal,
- diselenggarakannya pendidikan ekstra kurikuler dengan tujuan yang lebih jelas,
4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan,
5. Penyelenggaraan pendidikan secara simulatip dengan kenyataan yang ada di masyarakat.
Demikianlah beberapa proses transformasi pendidikan dilakukan melalui pembangunan pendidikan, sebagai upaya untuk mewariskan pada generasi muda kemampuan intelektual umum yang memadai yang akan membawa kepada kemampuan learning capacity yang cukup tinggi. Pendidikan sebagai usaha restorasi budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan formal tetapi juga masyarakat, keluarga dan mayarakat.
Pada akhirnya setiap pendidikan harus mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupan masa depan yang terdiri dari: 1) kemampuan untuk mencari nafkah, 2) kemampuan untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna, 3) kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
Pentingnya Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multikultur dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembagalembaga pendidikan.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multikultur dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi kese luruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multikultur. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multikultur bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Ide pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Keempat, karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri dan pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Multikultur adalah aspek yang tidak terbantahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, entah hal itu disadari atau tidak. Fay mengemukakan bahwa multikultural menunjukkan sesuatu yang krusial dalam dunia kontemporer. Dalam multikultur berbagai perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan adanya interaksi sosial merupakan bagian dari pada pemahaman dalam hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang berbeda (Brian Fay, 1998: 3-4).
Dalam konteks kehidupan yang plural, Parekh (dalam Azyumardi Azra, 2005), mengklasifikasi lima model multikulturalisme adalah sebagai berikut: Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan cultural kaum minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Ketiga, “multikulturalisme otonomis” yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominant dan menginginkan kehidupan otonom dalamkerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu konsern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan begitu juga sebaliknya, secara bebas terlibat di dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai sebuah gerakan reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi di sekolah, sehingga peserta didik baik dari kelompok gender maupun dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyelesaikan sekolah. Pendidikan multikultural menganggap sekolah sebagai sebuah sistem sosial (school as a social system) yang terdiri dari bagian-bagian dan variabel variabel yang saling terkait. Maka, untuk membentuk sekolah yang menjunjung tinggi persamaan kesempatan memperoleh pendidikan, seluruh komponen utama dari sekolah secara substantif harus diganti. Jika hanya salah satu variabel dari sekolah, seperti kurikulumnya saja yang diganti, maka hal itu tidak dapat menghasilkan pendidikan multikultural (J. A. Banks, 1997: 26). Suyata juga mengatakan bahwa untuk mencapai pendidikan multikultural dalam sistem persekolahan, sekolah tidak dapat dibangun berdasarkan budaya elit. Sekolah perlu mengubah strategi budaya dari elit ke mayoritas budaya rakyat yang sangat plural. Dengan strategi ini, mobilisasi, dukungan, dan keikutsertaan masyarakat secara luas dapat diwujudkan (Suyata, 2001: 21). Tujuan utama pendidikan multikultural untuk mengubah seluruh lingkungan atau suasana pendidikan, sehingga dengan pendidikan multikultural dapat meningkatkan respek atau perhatian terhadap kelompok-kelompok budaya yang luas atau berbeda untuk mendapatkan pendidikan yang sama (James A. Banks, 1987: 29-30). Pay mengatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan tujuan utama dari pembelajaran seumur hidup (life long learning) (Young Pay, 1990: 109). Masalah utama yang terkait dengan pendidikan multikultural adalah keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia (H.A.R. Tilaar, 2003: 67). Ketiga aspek tersebut, walaupun terkait erat dengan aspek ekonomi, politik dan hukum, bukan berarti tidak ada hubungannya dengan pendidikan, justru pendidikan memiliki peran signifikan untuk mencetak manusia-manusia yang berkeadilan sosial, memiliki visi politik yang demokratis, dan menunjung tinggi hak dan martabat orang lain. Tidak mengherankan apabila pendidikan multikultural berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, moral, edukasional dan agama (H.A.R. Tilaar, 2003: 168). Tanpa kajian bidang-bidang ini maka sulit untuk diperoleh suatu pengertian mengenai pendidikan
multikultural.
Mencari Solusi Akar Masalah Konflik
Sebelum mendiskusikan pemecahan masalah konflik terlebih dulu dianalisa konsep dari konflik, dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman 236) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu . Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Lebih jauh Mulyadi (2002) menyampaikan bahwa apabila dicermati dalam kehidupan sosial komponen utamanya adalah interkasi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antara anggota itu ditemukan berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi cooperative (kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Ketiga komponen ini akan saling berkaitan satu dengan lainnya.
Pada bagian lain menurut Bambang Widodo Umar (2010) terdapat beberapa cara dalam menangani konflik di dalam masyarakat (conflict management style), yaitu:
a. Kompromi (compromis) berunding (negotiating), yaitu cara penyelesaian konflik di mana masing-masing pihak tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Pihak yang terlibat saling memberikan kelonggaran atau konsesi. Kedua pihak mendapatkan apa yang diinginkan tetapi
tidak penuh, dan kehilangan tetapi tidak seluruhnya.
b. Penyesuaian (accomodating), perlunakan (smoothing), penurutan (obliging). Cara ini merupakan pendekatan kalah-menang (losewin approach). Konflik diredam dengan cara mengakomodir berbagai macam kepentingan orang orang yang berkonflik, salah satu pihak yang terlibat melepaskan dan mengesampingkan hal yang diinginkan sehingga pihak yang lain mendapatkan sepenuhnya hal yang diinginkan.
c. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Kedua pihak bekerjasama dan mencari jalan pemecahan yang memuaskan bagi keduanya. Cara ini merupakan pendekatan menang-menang (win-win approach). Dalam penyelesaian ini pihak yang berkonflik diajak ke meja perundingan untuk menyelesaikan sendiri apa yang diinginkan.
d. Avoidance (menghindari). Konflik dikendalikan dengan cara membatasi waktu atau membagi wilayah agar masing-masing kelompok tidak saling benturan satu sama lain dan agar bentrokan tidak semakin meluas (win-lose approach)
e. Bersaing (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Cara ini dengan mengorbankan pribadi dan kepentingan pihak lain tetapi ada aturan permainannya, yakni dalam sistem kompetisi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat beberapa model dalam penyelesaian konflik, yaitu :
1. Mediation, cara ini menggunakan pihak ketiga sebagai penengah. Mediator yang ditunjuk adalah mereka yang telah disepakati bersama dan mampu bertindak dalam penyelesaian secara obyektif. Dari usahanya belum tentu hasilnya dipakai untuk merumuskan perdamaian;
2. Arbitration, cara ini berasal dari penyelesaian konflik dagang (menyelesaikan masalah di luar lembaga formal). Penyelesaian konflik cara ini tidak menekankan prosesnya tetapi menekankan hasilnya;
3. Family Conference , merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dianggap tidak serius dan yang melibatkan dua keluarga atau lebih dalam suatu konflik. Partisipasi pihak pihak yang bertikai bersifat sukarela;
4.Alternative Dispute Resolution (ADR), cara ini dikenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Merupakan alternatif penyelesaian konflik dengan menggunakan pihak ketiga yang berperan di sekitar mereka. Bisa dari tokoh masyarakat juga dari aparat. Cara ini tidak menjamin penyelesaian konflik secara tuntas;
5.Ombudsman, dimana menurut sejarahnya lembaga ini merupakan lembaga yang profesional & independen. Anggotanya terdiri dari orang-orang yang punya reputasi baik, profesi yang khas dan bersifat netral. Penyelesaian konflik dengan cara ini berarti semua pihak menyerahkan sepenuhnya permasalahan untuk diselesaikan secara independen tanpa ada tekanan dari pihak pelapor atau terlapor
6. Rekonsiliasi, ini adalah cara penyelesaian konflik di mana pihak yang bersalah terlebih dulu menyampaikan permohonan maaf (to pardon) dan pihak lain memberikan maaf (forgive) dengan syarat bahwa mereka tidak melupakan masalah itu ( not forget) di kemudian hari; dan
7. Negosiasi yakni tawar menawar dari berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga tercapai win win solution atau lose lose solution yang memuaskan kedua belah pihak. Kalaupun terjadi win lose solution, haruslah bersifat pareto optimum result (diharapkan kekalahan tersebut bersifat relatif).
Transformasi Pendidikan Untuk Penyelesaian Konflik Dalam Perspektif Multikultural
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan dan kegagalan dan praktek-praktek diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didefinisikan tentang pendidikan keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Pendidikan mempunyai peranan kunci dalam mengusung idealisme masyarakat multikulturalisme dan cross-cultural. Oleh karena itu, transformasi pendidikan yang berbasis multikulturalisme menjadi penting diterapkan di semua lembaga pendidikan dalam rangka menumbuhkan paham dan wawasan kebangsaan. Di negara-negara majemuk hal seperti itu sudah diterapkan sejak dasawarsa 1970-an.(Banks, 1997).
Pendidikan berbasis multikulturalisme ini dapat diwujudkan dalam desain kurikulum yang sejalan dengan nilai budaya masing-masing dan pada saat yang bersamaan senantiasa diarahkan pada nilai-nilai universal kebangsaan. Konkritnya siswa dididik untuk berkata: “Saya orang Ambon, misalnya tapi saya juga orang Indonesia.” Sikap inilah sebenarnya yang diperlukan untuk memelihara semangat kebangsaan. Proses cross-cultural dialog dapat diterapkan pada kata “Indonesia”. Ketika kita sama-sama memiliki “Indonesia”, maka di situ ada satu national morality “Indonesia”. Dengan demikian, jelaslah pendidikan kebangsaan menjadi penting seiring semakin terkikisnya semangat nasionalisme. Dalam hal ini, dialog antar-national morality juga menjadi sesuatu yang harus diusahakan tanpa mengganggu keunikan budaya bangsa kita sebagai wujud pendidikan multikultural.
Secara operasional, transformasi pendidikan dengan perspektif multikultural pada dasarnya adalah untuk merespon fenomena konflik di tengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural. Wajah multikultural di
negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosio budaya yang memanas yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.
Maka menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahan (solution). Termasuk pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Mengikuti Paulo Freire (Paedagogy of the Oppressed, dikutip Johan Galtung, 2003: 166), proses penyadaran pihakpihak yang berkonflik merupakan proses yang sangat mendasar, karena bagaimana mungkin suatu konflik ditransformasikan secara sadar kecuali jika pihak-pihak dalam suatu konflik adalah subjek yang sadar.
Transformasi pendidikan selayaknya juga mampu memberikan tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Untuk mewujudkan pendidikan multikultural dapat digunakan kombinasi model sebagaimana dikemukakan oleh Gorski dalam yang mencakup tiga transformasi yaitu:
1) tranformasi sekolah, 2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, 3) transformasi masyarakat. Pendekatan multidimensional yang merupakan agenda pendidikan multikultural dapat merupakan jalan alternatif untuk megurangi lahirnya prejudice atau prasangka buruk yang memicu social conflict dalam era pluralitas budaya dan agama (S. Nasution, 1994: 49-50). Menurut Azyumardi Azra, kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup tema-tema mengenai toleransi; tema-tema mengenai perbedaan ethnokultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian atau resolusi konflik dan mediasi; hak asasi manusia (HAM); demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, dan tema-tema lain yang relevan dengan kontek pluralitas (Azyumardi Azra, 2005). Tema-tema tersebut sangat urgen untuk mengurangi ketegangan-ketegangan sosial keagamaan, terutama di tanah air sering terjadi konflik horizontal. Di sinilah pentingnya pendidikan agama lintas kepercayaan (interreligious education) (Shalahuddin, 2005: 118) atau pendidikan multikultural.
Dalam konteks global dan nasional, yang dikenal dengan muatan yang sangat majemuk, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik dan kekerasan sosial yang bernuansa multikultur sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Dari harapan dan paradigma transformasi pendidikan dalam perspektif multikultural untuk solusi konflik yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan multikultural dalam upaya meminimaslisasi konflik adalah untuk membantu peserta didik:
- memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat,
- menghormati dan mengapresiasi kebhinekaan budaya dan sosiohistoris etnik,
- menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh prasangka (prejudice),
- memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik
- meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil dan bebas dan
- mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia yang heterogen dan multikultur. Dengan diberlakukan desentralisasi yang termasuk di dalamnya desentralisasi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang multikulural telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi dan peran yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan transformasi pendidikan dan masyarakat bangsa perlu kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasikan pada pendekatan multikultural dan pemerataannya di daerah.
Transformasi Pendidikan dalam perspektif multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka, dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran, dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif tetapi realitas yang ada pada lingkungan keanekaragaman budaya, suku, agama dan ras. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan dan konflik sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring “tentang kurikulum berbasis kompetensi”, harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan “ini” dan “itu”, tetapi juga mendidik anak didik menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas keanekaragaman budaya (multikultural).
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran transformasi pendidikan yang berperspektif multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sebaliknya, tanpa transformasi pendidikan yang memiliki perspektif multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.




0 comments:
Posting Komentar