Ikhtisar Dinamika Deforestasi
Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahuntahun, dan keuntungannya digunakan oleh rejim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk lokal.
- Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.
- Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
- Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
- Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalakan ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan Indonesia.6
- Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20 persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara tahun 1985 sampai 1997.
- Program transmigrasi, yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.
- Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnya belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif.
Gambar 3.1. Proses Degradasi Hutan dan Deforestasi di Indonesia

Ekstraksi Kayu: Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Walaupun HPH pada mulanya dimaksudkan untuk mempertahankan lahan-lahan hutan sebagai hutan produksi permanen, sistem konsesi ini malah sebenarnya menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan.
Ketika rejim "Orde Baru" Soeharto mulai berkuasa pada akhir tahun 1960-an, para perencana ekonomi mengambil langkah singkat untuk membangun ekonomi Indonesia yang lemah dan menciptakan kerangka kerja legal yang memungkinkan perusahaan swasta untuk memanen dan mengekspor kayu. Sumatera dan Kalimantan adalah target pertama dalam eksploitasi hutan karena keduanya mempunyai persediaan spesies pohon bernilai ekonomi tinggi yang paling banyak dan terletak paling dekat dengan pasar Asia.
Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 memberikan dasar hukum pemberian hak pemanenan kayu, dan banyak HPH besar diberi hak untuk mengelola hutan selama 20 tahun, tidak lama setelah peraturan tersebut keluar. Ekspor kayu bulat yang belum diolah meningkat secara dramatis pada tahun 1970-an, menghasilkan devisa, yang menjadi modal untuk membangun berbagai kerajaan bisnis yang baru bermunculan di Indonesia dan menyediakan lapangan kerja. Misalnya, dari tahun 1969 sampai 1974, hampir 11 juta ha konsesi HPH diberikan hanya di satu propinsi, yaitu di Kalimantan Timur (PI dan IIED, 1985). Hanya 4 juta m kayu bulat yang ditebang dari hutan-hutan Indonesia pada tahun 1967 – sebagian besar untuk penggunaan di dalam negeri, tetapi pada tahun 1977 total produksi kayu bulat naik menjadi sekitar 28 juta m , paling sedikit 75 persen diantaranya diekspor (Romm, 1980). Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari 6 juta dolar pada tahun 1966 menjadi lebih dari 564 juta dolar pada tahun 1974. Pada tahun 1979 Indonesia menjadi produsen kayu bulat tropis terbesar di dunia, menguasai 41 persen pangsa pasar dunia (2,1 miliar dolar). Nilai ini memperlihatkan volume ekspor kayu tropis yang lebih besar daripada gabungan ekspor Afrika dan Amerika Latin (Gillis, 1988:43-104).
Pembangunan jalan raya, kota, dan infrastruktur lainnya berlangsung di Sumatera dan Kalimantan ketika jaman kejayaan panen kayu dimulai, dan jumlah penduduk di pulau ini bertumbuh pesat. Kalimantan Timur, yang pada saat bersamaan mengalami lonjakan produksi minyak, penduduknya meningkat dua kali lipat antara tahun 1970 sampai 1980. Fenomena ini mengubah bentang alam karena para penghuni lahan pertanian mengikuti para pembalak memasuki hutan (Mackie, 1984:63-74).
Industri perkayuan memasuki suatu periode konsolidasi ketika larangan ekspor kayu bulat ditetapkan pada awal tahun 1980-an, dan menghasilkan sejumlah kecil perusahaanperusahaan perkayuan raksasa yang berpusatkan pada produksi kayu lapis. Konsentrasi industri ini didorong lebih lanjut oleh peraturan mengenai HPH yang mengharuskan perusahaan yang meminta izin konsesi HPH untuk memiliki atau menjalin hubungan dengan perusahaan lain yang memiliki pabrik pengolahan kayu. Aturan ini cenderung membatasi kepemilikan HPH pada kelompok perusahaan besar yang memiliki pabrik kayu lapis. Jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia meningkat dari 21 pada tahun 1979 menjadi 101 pada tahun 1985, dan produksi naik dari 624.000 m pada tahun 1979 menjadi hampir 4,9 juta m pada tahun 1985, kemudian meningkat dua kali lipat lagi hingga melebihi 10 juta m3 pada tahun 1993. Hampir 90 persen produksi kayu lapis pada tahun itu diekspor (lihat Gambar 3.2 dan 3.3).
Walaupun HPH pada
mulanya dimaksudkan
untuk mempertahankan
lahan-lahan hutan
sebagai hutan produksi
permanen, sistem konsesi
ini sebenarnya malah
menjadi penyebab utama
dari deforestasi dan
degradasi hutan
Gambar 3.2. Produksi dan Ekspor Kayu Bulat, 1961-1999

Gambar 3.3. Produksi dan Ekspor Kayu Lapis, 1961-99
Konsolidasi Industri Kayu
Sejak tahun 1980-an, industri kayu semakin
terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil
perusahaan yang mempunyai hubungan dengan
Pemerintah. Pada tahun 1994, 10 kelompok
perusahaan terbesar mengontrol 28 juta ha (45
persen) konsesi HPH di negara ini, suatu gambaran
yang menunjukan peningkatan hingga 64 persen
di Kalimantan Timur yang kaya akan kayu (Brown
1999:12-13). Perusahaan-perusahaan besar ini
membentuk suatu kartel (Apkindo) yang membuat
Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar di
dunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis
internasional (Gellert, 1998). Keluarga
Soeharto dan kerabat terdekatnya adalah para
pemain penting dalam industri ini. Menurut
kelompok pengawas dari Lembaga Pengawas
Korupsi Indonesia (Indonesian Corruption Watch),
keluarga Soeharto saja mengontrol lebih dari 4,1
juta ha HPH.7 (Lihat Lampiran Tabel 2).
Pada tahun 1995, ada sekitar 585 konsesi
HPH, yang luasnya mencakup 63 juta ha di seluruh
Indonesia kira-kira sepertiga luas total lahan di
Indonesia (Brown, 1999:13). Namun demikian,
pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin
HPH dicabut, sebagian karena pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh pemegang konsesi HPH dan
sebagian karena nilai tegakan pohon di banyak
konsesi HPH menurun, yang mengurangi daya
tariknya sebagai kegiatan komersial jangka
panjang. Brown memperkirakan bahwa jumlah
konsesi HPH berkurang hingga 464, sedangkan
luas hutan yang berada di bawah HPH berkurang
menjadi 52 juta ha. (Lihat Gambar 3.4. Data yang
mendasari grafik ini disajikan dalam Lampiran
Tabel 3). Dalam prakteknya, "pencabutan izin"
lebih dari 100 HPH ini tidak berarti bahwa mereka
menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH yang
periode kontrak 20 tahunnya telah berakhir
dialihkan ke lima perusahaan kehutanan milik
negara (Inhutani I sampai V), atau dibentuk
kembali menjadi perusahaan patungan antara
perusahaan swasta dan salah satu dari badan
usaha milik negara ini. Pada pertengahan 1998,
hanya 39 juta ha tetap berada seluruhnya di tangan
para pemegang konsesi HPH swasta, sedangkan
14 juta ha dikelola oleh lima perusahaan Inhutani,
8 juta ha berada di bawah perusahaan patungan
pemerintah–swasta, dan 8 juta ha lainnya telah
dicanangkan untuk konversi ke penggunaan non
Gambar 3.4. Kawasan HPH di Lima Pulau Utama, 1985-1998
Meskipun terjadi goncangan besar dalam
industri kayu, 10 perusahaan kayu terbesar
tampaknya dapat bertahan; peringkat dan
kontrolnya terhadap luas konsesi HPH yang
dikelolanya tidak banyak mengalami perubahan
(Lihat Tabel 3.1).
Sebagian besar izin HPH yang dicabut berada
di Sumatera dan Kalimantan; areal konsesi HPH
terus diperluas di Irian Jaya, yang masih kaya
akan sumber daya hutan yang belum dieksploitasi
(dibalak).
Luas dan Status HPH
Pada saat menyiapkan laporan ini, kami tidak
dapat memperoleh data spasial yang dapat
memperlihatkan distribusi HPH aktif dan tidak
aktif saat ini. Sebenarnya, status beberapa HPH yang melakukan kegiatan aktif, yang secara
teknis tidak aktif tetapi tetap melakukan kegiatan,
ataupun yang tidak lagi melakukan kegiatan masih sulit ditentukan. Pada awal tahun 2000,
Departemen Kehutanan melaporkan bahwa 387
HPH masih aktif melakukan kegiatan, dari total
500 izin untuk beroperasi pada total kawasan
hutan seluas 55 juta ha. Walaupun demikian,
analisis selanjutnya, yang dikeluarkan oleh
departemen ini pada bulan Juli 2000, menyatakan
bahwa terdapat 652 HPH yang diakui mencakup
kawasan seluas 69 juta ha. Dari jumlah tersebut
293 HPH diantaranya tampaknya masih
beroperasi dibawah izin yang sah (hampir
mencakup 34 juta ha), 288 HPH izinnya sudah
tidak berlaku tetapi belum menyerahkan kembali
lahannya dibawah kontrol pemerintah (hampir
mencakup 30 juta ha), dan 71 lainnya (sekitar 5,5
juta ha) telah diserahkan secara resmi dibawah
kontrol pemerintah (Lihat Tabel 3.2).
Pada bulan Januari 2001, Departemen
Kehutanan mengeluarkan 11 izin HPH baru,
seluruhnya seluas 599.000 ha. Semuanya, kecuali
dua diantaranya, berlokasi di Kalimantan Tengah
atau Kalimantan Timur dan kebanyakan luasnya
antara 40.000 dan 50.000 ha. Hanya ada satu HPH
yang luasnya 45.000 ha di Propinsi Riau, Sumatera
dan satu HPH yang lebih besar, seluas 175.000 ha,
Kesalahan Pengelolaan HPH dan Kondisi
Hutan
Hubungan yang erat antara rejim Soeharto dan
sebagian besar kelompok usaha perkayuan-utama
merupakan akibat lemahnya pengawasan dan
transparansi, yang menjadi satu alasan buruknya
pengelolaan hutan. Para pemegang HPH tidak
begitu peduli dengan tanggung jawab dalam hal
praktek-praktek kehutanan di lapangan dan tidak
ada bukti yang memadai bahwa situasi ini
sekarang telah menjadi lebih baik. Pada awal
tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan
bahwa "sebagian besar" hutan yang berada di
bawah HPH berada dalam "kondisi rusak".10
Tampaknya perusahaan kayu terus-menerus
melanggar Undang-undang Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI), yang wajib mereka taati dalam
masa kontrak 20 tahun itu (World Bank, 2001:19).
(Lihat Boks 3.1)
Laporan dari Departemen Kehutanan pada
bulan Juli 2000 menunjukkan bahwa dalam
sebuah survei pada lahan hutan seluas hampir 47
juta ha yang berada di areal HPH aktif atau yang
habis masa berlakunya, sekitar 30 persen
mengalami degradasi, kualitasnya turun menjadi
semak atau dikonversi menjadi lahan pertanian,
dan hanya 40 persen masih diklasifikasikan
sebagai hutan primer dalam kondisi yang baik
(Lihat Tabel 3.3)
Meningkatnya aktivisme lingkungan dan
makin seringnya protes yang diajukan masyarakat
mulai memberi tekanan pada pemerintah agar
mengambil tindakan terhadap para pelanggar.
Pada tanggal 5 Mei 1999, Departemen Kehutanan
dan Perkebunan mencabut 39.300 ha areal HPH
yang diberikan pada tahun 1992 kepada
perusahaan Medan Remaja Timber (MRT) di
Propinsi Aceh. Proses untuk menarik izin MRT
dimulai setelah beberapa lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di bidang lingkungan
memberikan informasi mengenai prestasi buruk
perusahaan ini kepada Menteri Kehutanan.
Sementara pada waktu yang sama, penduduk lokal
melampiaskan kemarahannya dan melawan
dengan membakar pangkalan MRT, menutup jalan
angkutan kayu perusahaan dan merampas
peralatan berat, sehingga para penebang tidak bisa
melakukan operasi.
Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia
telah mengembangkan suatu sistem untuk
memberikan sertifikat kepada HPH yang dikelola
dengan baik, tetapi sampai awal tahun 1999, tidak
satu pun HPH yang siap untuk disertifikasi. Pada
bulan April 1999, perusahaan Diamond Raya Timber
memperoleh penghargaan "medali perunggu" sertifikat tingkat paling rendah dari Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI). Namun, selanjutnya
perusahaan ini tidak berhasil lulus ujian sertifikasi
gabungan yang dilakukan oleh LEI dan Forest
Stewardship Council (FSC). Baru kemudian pada
bulan April 2001 perusahaan ini mendapatkan
sertifikat hutan lestari dengan tingkat kelulusan
yang paling rendah dari LEI. Namun, pada bulan
Juli 2001, perusahaan ini mendapat banyak kritik
dari Rainforest Foundation dan WALHI, organisasi
lingkungan nasional terbesar di Indonesia. Konsesi
perusahaan ini di Propinsi Riau, Sumatera, dihuni
oleh Harimau Sumatera yang sangat terancam
punah, tetapi Diamond Raya dituduh gagal
melakukan tindakan-tindakan perlindungan atau
melakukan studi dampak lingkungan kegiatannya.
Pembalakan ilegal juga menurut dugaan
merajalela di dalam konsesi tersebut.
Jumlah dan luas total kawasan HPH sudah
berkurang sejak pertengahan tahun 1990-an, dan
konsesi HPH memberikan pangsa pasokan kayu
yang lebih kecil di Indonesia dibandingkan pada
masa lalu. Namun, hampir separuh hutan tropis
yang tersisa di Indonesia masih berada dibawah
izin pembalakan dan juga mengalami degradasi
atau berisiko untuk mengalami degradasi, kecuali
praktek-praktek yang sekarang berlangsung
segera diperbaiki. Ancaman lainnya juga datang
dari kebijakan baru mengenai otonomi daerah,
yang memberikan kewenangan yang lebih banyak
kepada pihak pemerintah daerah untuk
mengeluarkan izin HPH (Lihat Bab 5). Setelah
selama beberapa tahun mereka merasakan bahwa
pendapatan yang diperoleh dari pembalakan
diserap oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
bersemangat sekali untuk mengeksploitasi sumber
daya hutannya untuk kepentingan lokal. Tanpa
kerangka kerja kelembagaan yang kuat, dan
perencanaan yang bertanggung jawab, lebih
banyak lagi hutan yang dibalak dengan lebih
intensif untuk keuntungan jangka pendek.
Ekstraksi Kayu : Pembalakan Ilegal
Ketergantungan pada Pasokan Ilegal
Pembalakan ilegal terjadi secara luas dan
sistematis di banyak wilayah Indonesia, dan pada
tahun 2000, memasok sekitar 50 sampai 70 persen
kebutuhan kayu Indonesia. Suatu analisis pada
tahun tersebut oleh Departemen Kehutanan secara
resmi mengungkapan sesuatu yang telah menjadi
pengetahuan umum selama beberapa waktu
terakhir:
Pembalakan ilegal dilakukan oleh suatu bisnis
kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan
memiliki pendukung yang kuat dan suatu jaringan
kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan
kokoh sehingga sulit ditolak, diancam, dan
sebenarnya secara fisik mengancam otoritas
penegakan hukum kehutanan.... Penebangan ilegal
terjadi secara luas di kawasan HPH, kawasankawasan
hutan yang belum dialokasikan
penggunaannya, HPH yang habis masa berlakunya,
beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan
hutan yang ditebang habis untuk konversi lahan, dan di kawasan konservasi dan hutan lindung
Pembalakan ilegal bahkan meningkat jumlahnya di
kawasan konservasi, karena potensi kayu yang ada di
kawasan ini lebih baik daripada di hutan produksi.
Para pelaku pembalakan ilegal adalah: (a) para pekerja
dari masyarakat di kawasan-kawasan hutan dan juga
banyak orang yang dibawa ke tempat itu dari tempat
lainnya; (b) para investor, termasuk para pedagang,
pemegang HPH, atau pemegang Izin Pemanfaatan Kayu
(IPK) legal, dan pembeli kayu ilegal dari industri
pengolahan; dan (c) para pejabat pemerintah (sipil dan
militer), para penegak hukum, dan para legislator
tertentu.
Pedagang-perantara kayu ilegal marak di
seluruh Indonesia, mereka memasok para
pengelola kayu yang tidak mampu memperoleh
pasokan yang cukup secara legal. Korupsi di
antara pejabat sipil dan militer, yang banyak di
antaranya sangat terlibat dalam penebangan dan
pemasaran kayu ilegal menyebar luas di manamana. Keterlibatan pejabat dalam pembalakan
ilegal sangat terang-terangan dan meluas sehingga
para pembuat peraturan perundangan propinsi di
Propinsi Jambi, Sumatera, merasa berkewajiban
membuat seruan terbuka kepada pejabat militer,
polisi dan kehakiman untuk berhenti mendukung
operasi pembalak ilegal.16 Asosiasi Panel Kayu Indonesia
(Apkindo) mengajukan keluhan pada bulan
Juni 2000 bahwa para pembalak ilegal di Sumatera
dan Kalimantan mengekspor paling sedikit satu
juta m3
kayu ke Cina dan menjual dengan harga
lebih rendah di pasar ekspor legal.
Peta 9 menggambarkan distribusi survei
terbatas beberapa kasus pembalakan ilegal yang
dilaporkan di seluruh Indonesia antara tahun 1997
dan 1998.
Kesenjangan antara Pasokan dan
Permintaan
Bagaimana situasi ini timbul? Jawaban singkatnya
adalah karena Indonesia telah mendorong suatu
kebijakan ekspansi yang agresif dalam sektor hasilhasil
hutan tanpa mengindahkan pasokan yang
berkelanjutan dalam jangka panjang (Lihat
Gambar 3.5. Produksi Kayu Bulat Industri).
Produksi kayu bulat tahunan Indonesia meningkat
dari sekitar 11 juta m pada tahun 1970-an hingga
puncaknya sekitar 36 juta m pada awal tahun
1990-an. Ekspansi yang lebih dramatis terjadi di
sektor produk kayu olahan, karena Pemerintah
mendorong pengalihan dari produksi kayu bulat
bernilai rendah dan belum diproses menjadi produk
yang mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi.
Lonjakan pertama terjadi pada produksi kayu lapis,
yang berlangsung selama tahun 1980-an dan
1990-an sebagai salah satu usaha negara untuk
meningkatkan ekspor (Lihat Gambar 3.3).
Produksi agak menurun mengikuti krisis ekonomi
pada tahun 1997, meskipun ada banyak
ketidakcocokan data di antara berbagai sumber
data.
Industri pulp dan kertas bahkan meningkat
lebih dramatis. Sejak akhir tahun 1980-an,
kapasitas produksi meningkat hampir 700 persen.
Kapasitas produksi pulp tahunan Indonesia
meningkat dari 606.000 ton pada tahun 1988
menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2000, dan
kapasitas pemrosesan kertas tahunan meningkat
dari 1,2 juta ton menjadi 8,3 juta ton selama periode
yang sama (Barr, 2000:3) (Lihat Gambar 3.6 dan
3.7). Indonesia telah menjadi produsen pulp
terbesar ke-sembilan dunia dan produsen kertas
terbesar ke sebelas. Investasi yang sangat besar
untuk kapasitas pengolahan kayu lapis, pulp dan
kertas jauh melebihi usaha pembangunan
cadangan pasokan dan hutan tanaman, dan
ekspansi industri ini sangat merugikan hutanhutan
alam Indonesia (Hutan tanaman
dibicarakan lebih terinci pada bagian berikutnya).
Total permintaan kayu di Indonesia sekarang ini
secara konservatif diperkirakan antara 76 juta dan
80 juta m (Lihat Gambar 3.8).
Pesatnya peningkatan permintaan kayu
ternyata hanya diimbangi oleh pemasokan yang
statis atau menurun (Lihat Tabel 3.4). Menurut
perkiraan terakhir dari Departemen Kehutanan,
produksi kayu bulat dari hutan-hutan produksi Indonesia
terus-menerus mengalami penurunan,
mungkin karena sebagian besar HPH yang secara
ekonomi menguntungkan telah dibalak
seluruhnya. Kayu dari hutan-hutan konversi hutan yang ditebang habis untuk menjadi lahan
perkebunan atau HTI tampaknya sudah
mencapai puncaknya pada tahun 1997, mungkin
karena krisis ekonomi dan politik telah
menurunkan tingkat ekspansi pembangunan di
sektor perkebunan dan HTI. Produksi kayu dari
HTI masih di bawah target sampai beberapa tahun
yang akan datang. Menurut data dari Departemen
Kehutanan baru-baru ini, produksi meningkat
tajam pada tahun 1999. Peningkatan yang terjadi
tampaknya terlalu besar untuk dapat dipercaya
sepenuhnya tetapi hal ini mungkin dapat

Lembaga bantuan internasional dan lembaga
pemberi dana dalam Consultative Group on Indonesia
(CGI) telah mengeluarkan sejumlah
peringatan bahwa kelanjutan bantuan sektor
kehutanan akan bergantung pada tindakan efektif
untuk membasmi pembalakan ilegal (Lihat Bab
5). Jelas sekali diakui bahwa, jika
ketidakseimbangan pasokan/permintaan terus
berlanjut, pembalakan ilegal tidak akan dapat
dikontrol. Sebagian besar analis setuju bahwa
pemecahannya tidak bergantung pada tindakan
memerangi para pembalak ilegal di hutan, tetapi
pada berbagai tindakan yang diarahkan kepada
sisi permintaan. Tindakan yang menjanjikan
mencakup penangguhan pertumbuhan kapasitas
industri pengolahan kayu lebih lanjut, mungkin
diikuti dengan pengurangan kapasitas;
penghilangan subsidi pemerintah langsung atau
tersembunyi untuk industri pulp; pemantauan
yang terpercaya terhadap pembangunan HTI,
penalti bagi perusahaan yang gagal memenuhi
kewajiban menanam; dan penegakan praktek
pemeriksaan yang menyeluruh yang telah disetujui
di pihak lembaga finansial yang menanamkan
modalnya pada fasilitas produksi pulp dan kertas
untuk menghindari pembiayaan proyek yang
menggunakan kayu yang diperoleh secara ilegal.
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah
meluncurkan sebuah rencana ambisius untuk
membangun kawasan yang luas untuk hutan
tanaman industri yang tumbuh cepat (Hutan
Tanaman Industri HTI), khususnya di Sumatera
dan Kalimantan. Program ini dipercepat dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pada
sekitar tahun 1990.Pada awalnya, pemerintah
menetapkan program HTI sebagai rencana untuk
menyediakan pasokan tambahan kayu yang
berasal dari hutan-hutan alam, melakukan
rehabilitasi lahan yang terdegradasi, dan
mempromosikan konservasi alam. Untuk
mencapai tujuan ini, para pengusaha HTI
menerima berbagai subsidi pemerintah, termasuk
pinjaman dengan ketentuan yang lunak dari "Dana
Reboisasi" yang dikumpulkan dari para pemegang
HPH.
Konsesi HTI diberikan untuk memproduksi
kayu pulp dan kayu pertukangan, dan dapat
dibangun secara independen, atau dengan kerja
sama dengan HPH yang sudah ada. Suatu kategori
khusus diciptakan untuk konsesi HTI yang
berhubungan dengan lokasi transmigrasi (HTITrans),
dimana dalam kasus ini para transmigran
berfungsi sebagai pekerja di HTI. Konsesi HTITrans
biasanya memproduksi kayu pertukangan.
Menurut angka resmi, sekitar 7,8 juta ha telah
dialokasikan untuk semua tipe pembangunan HTI
sebelum akhir tahun 2000, tetapi hanya 23,5
persen dari kawasan tersebut yang benar-benar
ditanami (Lihat Tabel 3.6).
Menurut data yang tidak diterbitkan dan
diberikan oleh Departemen Kehutanan, kawasan
lahan yang dialokasikan untuk HTI sebelum bulan
Mei 2001 meningkat menjadi 8,8 juta ha, tetapi
data areal HTI yang ditanami tidak tersedia.
Konversi Hutan Menjadi HTI
Fakta yang menyatakan bahwa kurang dari
seperempat luas lahan yang dialokasikan untuk
konsesi HTI pada tahun 2000 benar-benar telah
ditanami adalah sebuah gejala beberapa masalah
struktural yang saling berhubungan dengan program
HTI. Peraturan tahun 1990 jelas
menyatakan bahwa HTI hanya diberikan untuk
kawasan hutan permanen nonproduktif dan tidak
akan diberikan di kawasan yang sudah berada di
bawah sebuah HPH. Namun dalam prakteknya,
konsesi HTI sering dibangun di lahan hutan yang
masih produktif. Menurut perhitungan yang
dibuat berdasarkan studi kelayakan perusahaan
Pada awal tahun 2000, seorang
pejabat senior Departemen
Kehutanan mengakui bahwa
"industri pengolahan kayu telah
diijinkan melakukan ekspansi tanpa
mempertimbangkan kemampuan
pasokan kayu yang tersedia,
sehingga menyebabkan kelebihan
kapasitas”. Kegagalan memasok
kayu secara resmi sebagian besar
dipenuhi dengan pembalakan
ilegal, yang telah mencapai
proporsi epidemis19
HTI, pada bulan Juni 1998, 22 persen lahan yang
dikelola sebagai HTI adalah lahan yang sebelum
pembangunan HTI merupakan hutan alam
produktif (Kartodihardjo dan Supriono, 2000:4).
Beberapa konsesi HTI melakukan konversi
sebagian kawasan hutan alam yang lebih luas.
Tabel 3.7 memperlihatkan enam kasus tersebut,
dimana rata-rata 72 persen total kawasan HTI
semula merupakan hutan alam. Boks 3.4
memberikan contoh ini secara lebih detil.
Alasan ekonomi untuk pembangunan HTI di
dalam kawasan hutan sangat jelas. Pertama,
membangun HTI di lahan yang benar-benar
terdegradasi akan lebih mahal, karena sering
memerlukan investasi yang besar untuk kegiatan
penyiapan lahan sampai melakukan rehabilitasi
kesuburan tanah. Kedua, konsesi HTI mencakup
hak untuk memperoleh IPK (Izin Pemanfaatan
Kayu), yang pada dasarnya adalah izin untuk
menebang habis dan memanfaatkan kayu tegakan
yang masih tersisa. Jika HTI dibangun di atas
lahan yang masih memiliki banyak tegakan yang
masih ada, maka IPK ini memberikan pasokan
kayu kepada perusahaan dalam jumlah besar, yang
pada dasarnya menghasilkan keuntungan yang
sangat besar. Dinamika ini, ditambah dengan
sejumlah besar pasokan kayu yang tersedia dari
sumber-sumber ilegal, memperkecil insentif bagi
perusahaan pengolahan kayu untuk terus
melanjutkan penanaman dan pemanenan HTI.
Kurang dari seperlima dari kira-kira 2 juta
ha yang dialokasikan untuk pembangunan HTI
kayu pertukangan sudah direalisasikan
penanamannya. Pembangunan HTI untuk
produksi kayu pulp dilakukan agak lebih baik,
dimana sekitar seperempat kawasan seluas hampir
5 juta ha yang dialokasikan untuk produksi pulp
sudah direalisasikan penanamannya (Lihat Tabel
3.6). Dilihat dari keseluruhan rendahnya
persentase kawasan HTI yang sudah ditanami hanya 23,5 persen dari total kawasan yang
dialokasikan untuk semua tipe HTI jelas bahwa
penanaman dan pemanenan kayu HTI bukanlah
alasan utama untuk membangun HTI.
Pertumbuhan luas areal konsesi HTI didorong oleh
subsidi finansial yang besar dan hak untuk
menebang habis pohon yang masih berdiri (Lihat
Catatan 23).
Selain itu, beberapa pemegang HPH
menemukan bahwa secara ekonomi akan
menguntungkan jika mereka mengubah luas.






0 comments:
Posting Komentar