Deforestasi Dan Degradasi Hutan

Minggu, 14 Februari 2016

Ikhtisar Dinamika Deforestasi 
Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahuntahun, dan keuntungannya digunakan oleh rejim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk lokal. 
  1. Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan. 
  2. Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif. 
  3. Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
  4. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalakan ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan Indonesia.6 
  5. Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20 persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara tahun 1985 sampai 1997. 
  6. Program transmigrasi, yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.
  7. Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnya belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif. 
Agar ringkasan singkat ini jelas, maka deforestasi harus dilihat sebagai fenomena yang kompleks dimana semua faktor tersebut saling berinteraksi. Ikhtisar tentang beberapa diantara interaksi ini disajikan dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Proses Degradasi Hutan dan Deforestasi di Indonesia

Ekstraksi Kayu: Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 
Walaupun HPH pada mulanya dimaksudkan untuk mempertahankan lahan-lahan hutan sebagai hutan produksi permanen, sistem konsesi ini malah sebenarnya menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan. 

Ketika rejim "Orde Baru" Soeharto mulai berkuasa pada akhir tahun 1960-an, para perencana ekonomi mengambil langkah singkat untuk membangun ekonomi Indonesia yang lemah dan menciptakan kerangka kerja legal yang memungkinkan perusahaan swasta untuk memanen dan mengekspor kayu. Sumatera dan Kalimantan adalah target pertama dalam eksploitasi hutan karena keduanya mempunyai persediaan spesies pohon bernilai ekonomi tinggi yang paling banyak dan terletak paling dekat dengan pasar Asia. 

Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 memberikan dasar hukum pemberian hak pemanenan kayu, dan banyak HPH besar diberi hak untuk mengelola hutan selama 20 tahun, tidak lama setelah peraturan tersebut keluar. Ekspor kayu bulat yang belum diolah meningkat secara dramatis pada tahun 1970-an, menghasilkan devisa, yang menjadi modal untuk membangun berbagai kerajaan bisnis yang baru bermunculan di Indonesia dan menyediakan lapangan kerja. Misalnya, dari tahun 1969 sampai 1974, hampir 11 juta ha konsesi HPH diberikan hanya di satu propinsi, yaitu di Kalimantan Timur (PI dan IIED, 1985). Hanya 4 juta m kayu bulat yang ditebang dari hutan-hutan Indonesia pada tahun 1967 – sebagian besar untuk penggunaan di dalam negeri, tetapi pada tahun 1977 total produksi kayu bulat naik menjadi sekitar 28 juta m , paling sedikit 75 persen diantaranya diekspor (Romm, 1980). Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari 6 juta dolar pada tahun 1966 menjadi lebih dari 564 juta dolar pada tahun 1974. Pada tahun 1979 Indonesia menjadi produsen kayu bulat tropis terbesar di dunia, menguasai 41 persen pangsa pasar dunia (2,1 miliar dolar). Nilai ini memperlihatkan volume ekspor kayu tropis yang lebih besar daripada gabungan ekspor Afrika dan Amerika Latin (Gillis, 1988:43-104). 

Pembangunan jalan raya, kota, dan infrastruktur lainnya berlangsung di Sumatera dan Kalimantan ketika jaman kejayaan panen kayu dimulai, dan jumlah penduduk di pulau ini bertumbuh pesat. Kalimantan Timur, yang pada saat bersamaan mengalami lonjakan produksi minyak, penduduknya meningkat dua kali lipat antara tahun 1970 sampai 1980. Fenomena ini mengubah bentang alam karena para penghuni lahan pertanian mengikuti para pembalak memasuki hutan (Mackie, 1984:63-74). 

Industri perkayuan memasuki suatu periode konsolidasi ketika larangan ekspor kayu bulat ditetapkan pada awal tahun 1980-an, dan menghasilkan sejumlah kecil perusahaanperusahaan perkayuan raksasa yang berpusatkan pada produksi kayu lapis. Konsentrasi industri ini didorong lebih lanjut oleh peraturan mengenai HPH yang mengharuskan perusahaan yang meminta izin konsesi HPH untuk memiliki atau menjalin hubungan dengan perusahaan lain yang memiliki pabrik pengolahan kayu. Aturan ini cenderung membatasi kepemilikan HPH pada kelompok perusahaan besar yang memiliki pabrik kayu lapis. Jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia meningkat dari 21 pada tahun 1979 menjadi 101 pada tahun 1985, dan produksi naik dari 624.000 m pada tahun 1979 menjadi hampir 4,9 juta m pada tahun 1985, kemudian meningkat dua kali lipat lagi hingga melebihi 10 juta m3 pada tahun 1993. Hampir 90 persen produksi kayu lapis pada tahun itu diekspor (lihat Gambar 3.2 dan 3.3).

Walaupun HPH pada mulanya dimaksudkan untuk mempertahankan lahan-lahan hutan sebagai hutan produksi permanen, sistem konsesi ini sebenarnya malah menjadi penyebab utama dari deforestasi dan degradasi hutan

Gambar 3.2. Produksi dan Ekspor Kayu Bulat, 1961-1999

Gambar 3.3. Produksi dan Ekspor Kayu Lapis, 1961-99 

Konsolidasi Industri Kayu 
Sejak tahun 1980-an, industri kayu semakin terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil perusahaan yang mempunyai hubungan dengan Pemerintah. Pada tahun 1994, 10 kelompok perusahaan terbesar mengontrol 28 juta ha (45 persen) konsesi HPH di negara ini, suatu gambaran yang menunjukan peningkatan hingga 64 persen di Kalimantan Timur yang kaya akan kayu (Brown 1999:12-13). Perusahaan-perusahaan besar ini membentuk suatu kartel (Apkindo) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar di dunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional (Gellert, 1998). Keluarga Soeharto dan kerabat terdekatnya adalah para pemain penting dalam industri ini. Menurut kelompok pengawas dari Lembaga Pengawas Korupsi Indonesia (Indonesian Corruption Watch), keluarga Soeharto saja mengontrol lebih dari 4,1 juta ha HPH.7 (Lihat Lampiran Tabel 2). 

Pada tahun 1995, ada sekitar 585 konsesi HPH, yang luasnya mencakup 63 juta ha di seluruh Indonesia kira-kira sepertiga luas total lahan di Indonesia (Brown, 1999:13). Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemegang konsesi HPH dan sebagian karena nilai tegakan pohon di banyak konsesi HPH menurun, yang mengurangi daya tariknya sebagai kegiatan komersial jangka panjang. Brown memperkirakan bahwa jumlah konsesi HPH berkurang hingga 464, sedangkan luas hutan yang berada di bawah HPH berkurang menjadi 52 juta ha. (Lihat Gambar 3.4. Data yang mendasari grafik ini disajikan dalam Lampiran Tabel 3). Dalam prakteknya, "pencabutan izin" lebih dari 100 HPH ini tidak berarti bahwa mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH yang periode kontrak 20 tahunnya telah berakhir dialihkan ke lima perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I sampai V), atau dibentuk kembali menjadi perusahaan patungan antara perusahaan swasta dan salah satu dari badan usaha milik negara ini. Pada pertengahan 1998, hanya 39 juta ha tetap berada seluruhnya di tangan para pemegang konsesi HPH swasta, sedangkan 14 juta ha dikelola oleh lima perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada di bawah perusahaan patungan pemerintah–swasta, dan 8 juta ha lainnya telah dicanangkan untuk konversi ke penggunaan non

Gambar 3.4. Kawasan HPH di Lima Pulau Utama, 1985-1998

Meskipun terjadi goncangan besar dalam industri kayu, 10 perusahaan kayu terbesar tampaknya dapat bertahan; peringkat dan kontrolnya terhadap luas konsesi HPH yang dikelolanya tidak banyak mengalami perubahan (Lihat Tabel 3.1). 

Sebagian besar izin HPH yang dicabut berada di Sumatera dan Kalimantan; areal konsesi HPH terus diperluas di Irian Jaya, yang masih kaya akan sumber daya hutan yang belum dieksploitasi (dibalak). 

Luas dan Status HPH 
Pada saat menyiapkan laporan ini, kami tidak dapat memperoleh data spasial yang dapat memperlihatkan distribusi HPH aktif dan tidak aktif saat ini. Sebenarnya, status beberapa HPH yang melakukan kegiatan aktif, yang secara teknis tidak aktif tetapi tetap melakukan kegiatan, ataupun yang tidak lagi melakukan kegiatan masih sulit ditentukan. Pada awal tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa 387 HPH masih aktif melakukan kegiatan, dari total 500 izin untuk beroperasi pada total kawasan hutan seluas 55 juta ha. Walaupun demikian, analisis selanjutnya, yang dikeluarkan oleh departemen ini pada bulan Juli 2000, menyatakan bahwa terdapat 652 HPH yang diakui mencakup kawasan seluas 69 juta ha. Dari jumlah tersebut 293 HPH diantaranya tampaknya masih beroperasi dibawah izin yang sah (hampir mencakup 34 juta ha), 288 HPH izinnya sudah tidak berlaku tetapi belum menyerahkan kembali lahannya dibawah kontrol pemerintah (hampir mencakup 30 juta ha), dan 71 lainnya (sekitar 5,5 juta ha) telah diserahkan secara resmi dibawah kontrol pemerintah (Lihat Tabel 3.2). 

Pada bulan Januari 2001, Departemen Kehutanan mengeluarkan 11 izin HPH baru, seluruhnya seluas 599.000 ha. Semuanya, kecuali dua diantaranya, berlokasi di Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur dan kebanyakan luasnya antara 40.000 dan 50.000 ha. Hanya ada satu HPH yang luasnya 45.000 ha di Propinsi Riau, Sumatera dan satu HPH yang lebih besar, seluas 175.000 ha,

Kesalahan Pengelolaan HPH dan Kondisi Hutan 
Hubungan yang erat antara rejim Soeharto dan sebagian besar kelompok usaha perkayuan-utama merupakan akibat lemahnya pengawasan dan transparansi, yang menjadi satu alasan buruknya pengelolaan hutan. Para pemegang HPH tidak begitu peduli dengan tanggung jawab dalam hal praktek-praktek kehutanan di lapangan dan tidak ada bukti yang memadai bahwa situasi ini sekarang telah menjadi lebih baik. Pada awal tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa "sebagian besar" hutan yang berada di bawah HPH berada dalam "kondisi rusak".10 Tampaknya perusahaan kayu terus-menerus melanggar Undang-undang Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang wajib mereka taati dalam masa kontrak 20 tahun itu (World Bank, 2001:19). (Lihat Boks 3.1)

Laporan dari Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2000 menunjukkan bahwa dalam sebuah survei pada lahan hutan seluas hampir 47 juta ha yang berada di areal HPH aktif atau yang habis masa berlakunya, sekitar 30 persen mengalami degradasi, kualitasnya turun menjadi semak atau dikonversi menjadi lahan pertanian, dan hanya 40 persen masih diklasifikasikan sebagai hutan primer dalam kondisi yang baik (Lihat Tabel 3.3)

Meningkatnya aktivisme lingkungan dan makin seringnya protes yang diajukan masyarakat mulai memberi tekanan pada pemerintah agar mengambil tindakan terhadap para pelanggar. Pada tanggal 5 Mei 1999, Departemen Kehutanan dan Perkebunan mencabut 39.300 ha areal HPH yang diberikan pada tahun 1992 kepada perusahaan Medan Remaja Timber (MRT) di Propinsi Aceh. Proses untuk menarik izin MRT dimulai setelah beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan memberikan informasi mengenai prestasi buruk perusahaan ini kepada Menteri Kehutanan. Sementara pada waktu yang sama, penduduk lokal melampiaskan kemarahannya dan melawan dengan membakar pangkalan MRT, menutup jalan angkutan kayu perusahaan dan merampas peralatan berat, sehingga para penebang tidak bisa melakukan operasi.

Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengembangkan suatu sistem untuk memberikan sertifikat kepada HPH yang dikelola dengan baik, tetapi sampai awal tahun 1999, tidak satu pun HPH yang siap untuk disertifikasi. Pada bulan April 1999, perusahaan Diamond Raya Timber memperoleh penghargaan "medali perunggu" sertifikat tingkat paling rendah dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Namun, selanjutnya perusahaan ini tidak berhasil lulus ujian sertifikasi gabungan yang dilakukan oleh LEI dan Forest Stewardship Council (FSC). Baru kemudian pada bulan April 2001 perusahaan ini mendapatkan sertifikat hutan lestari dengan tingkat kelulusan yang paling rendah dari LEI. Namun, pada bulan

Juli 2001, perusahaan ini mendapat banyak kritik dari Rainforest Foundation dan WALHI, organisasi lingkungan nasional terbesar di Indonesia. Konsesi perusahaan ini di Propinsi Riau, Sumatera, dihuni oleh Harimau Sumatera yang sangat terancam punah, tetapi Diamond Raya dituduh gagal melakukan tindakan-tindakan perlindungan atau melakukan studi dampak lingkungan kegiatannya. Pembalakan ilegal juga menurut dugaan merajalela di dalam konsesi tersebut.

Jumlah dan luas total kawasan HPH sudah berkurang sejak pertengahan tahun 1990-an, dan konsesi HPH memberikan pangsa pasokan kayu yang lebih kecil di Indonesia dibandingkan pada masa lalu. Namun, hampir separuh hutan tropis yang tersisa di Indonesia masih berada dibawah izin pembalakan dan juga mengalami degradasi atau berisiko untuk mengalami degradasi, kecuali praktek-praktek yang sekarang berlangsung segera diperbaiki. Ancaman lainnya juga datang dari kebijakan baru mengenai otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada pihak pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin HPH (Lihat Bab 5). Setelah selama beberapa tahun mereka merasakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari pembalakan diserap oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah bersemangat sekali untuk mengeksploitasi sumber daya hutannya untuk kepentingan lokal. Tanpa kerangka kerja kelembagaan yang kuat, dan perencanaan yang bertanggung jawab, lebih banyak lagi hutan yang dibalak dengan lebih intensif untuk keuntungan jangka pendek. 

Ekstraksi Kayu : Pembalakan Ilegal 
Ketergantungan pada Pasokan Ilegal 
Pembalakan ilegal terjadi secara luas dan sistematis di banyak wilayah Indonesia, dan pada tahun 2000, memasok sekitar 50 sampai 70 persen kebutuhan kayu Indonesia. Suatu analisis pada tahun tersebut oleh Departemen Kehutanan secara resmi mengungkapan sesuatu yang telah menjadi pengetahuan umum selama beberapa waktu terakhir: 

Pembalakan ilegal dilakukan oleh suatu bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dan suatu jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam, dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum kehutanan.... Penebangan ilegal terjadi secara luas di kawasan HPH, kawasankawasan hutan yang belum dialokasikan penggunaannya, HPH yang habis masa berlakunya, beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan hutan yang ditebang habis untuk konversi lahan, dan di kawasan konservasi dan hutan lindung 

Pembalakan ilegal bahkan meningkat jumlahnya di kawasan konservasi, karena potensi kayu yang ada di kawasan ini lebih baik daripada di hutan produksi. Para pelaku pembalakan ilegal adalah: (a) para pekerja dari masyarakat di kawasan-kawasan hutan dan juga banyak orang yang dibawa ke tempat itu dari tempat lainnya; (b) para investor, termasuk para pedagang, pemegang HPH, atau pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) legal, dan pembeli kayu ilegal dari industri pengolahan; dan (c) para pejabat pemerintah (sipil dan militer), para penegak hukum, dan para legislator tertentu.

Pedagang-perantara kayu ilegal marak di seluruh Indonesia, mereka memasok para pengelola kayu yang tidak mampu memperoleh pasokan yang cukup secara legal. Korupsi di antara pejabat sipil dan militer, yang banyak di antaranya sangat terlibat dalam penebangan dan pemasaran kayu ilegal menyebar luas di manamana. Keterlibatan pejabat dalam pembalakan ilegal sangat terang-terangan dan meluas sehingga para pembuat peraturan perundangan propinsi di Propinsi Jambi, Sumatera, merasa berkewajiban membuat seruan terbuka kepada pejabat militer, polisi dan kehakiman untuk berhenti mendukung operasi pembalak ilegal.16 Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengajukan keluhan pada bulan

Juni 2000 bahwa para pembalak ilegal di Sumatera dan Kalimantan mengekspor paling sedikit satu juta m3 kayu ke Cina dan menjual dengan harga lebih rendah di pasar ekspor legal.

Peta 9 menggambarkan distribusi survei terbatas beberapa kasus pembalakan ilegal yang dilaporkan di seluruh Indonesia antara tahun 1997 dan 1998. 

Kesenjangan antara Pasokan dan Permintaan 
Bagaimana situasi ini timbul? Jawaban singkatnya adalah karena Indonesia telah mendorong suatu kebijakan ekspansi yang agresif dalam sektor hasilhasil hutan tanpa mengindahkan pasokan yang berkelanjutan dalam jangka panjang (Lihat Gambar 3.5. Produksi Kayu Bulat Industri). Produksi kayu bulat tahunan Indonesia meningkat dari sekitar 11 juta m pada tahun 1970-an hingga puncaknya sekitar 36 juta m pada awal tahun 1990-an. Ekspansi yang lebih dramatis terjadi di sektor produk kayu olahan, karena Pemerintah mendorong pengalihan dari produksi kayu bulat bernilai rendah dan belum diproses menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi.

Lonjakan pertama terjadi pada produksi kayu lapis, yang berlangsung selama tahun 1980-an dan 1990-an sebagai salah satu usaha negara untuk meningkatkan ekspor (Lihat Gambar 3.3). Produksi agak menurun mengikuti krisis ekonomi pada tahun 1997, meskipun ada banyak ketidakcocokan data di antara berbagai sumber data. 

Industri pulp dan kertas bahkan meningkat lebih dramatis. Sejak akhir tahun 1980-an, kapasitas produksi meningkat hampir 700 persen. Kapasitas produksi pulp tahunan Indonesia meningkat dari 606.000 ton pada tahun 1988 menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2000, dan kapasitas pemrosesan kertas tahunan meningkat dari 1,2 juta ton menjadi 8,3 juta ton selama periode yang sama (Barr, 2000:3) (Lihat Gambar 3.6 dan 3.7). Indonesia telah menjadi produsen pulp terbesar ke-sembilan dunia dan produsen kertas terbesar ke sebelas. Investasi yang sangat besar untuk kapasitas pengolahan kayu lapis, pulp dan kertas jauh melebihi usaha pembangunan cadangan pasokan dan hutan tanaman, dan ekspansi industri ini sangat merugikan hutanhutan alam Indonesia (Hutan tanaman dibicarakan lebih terinci pada bagian berikutnya). Total permintaan kayu di Indonesia sekarang ini secara konservatif diperkirakan antara 76 juta dan 80 juta m (Lihat Gambar 3.8). 

Pesatnya peningkatan permintaan kayu ternyata hanya diimbangi oleh pemasokan yang statis atau menurun (Lihat Tabel 3.4). Menurut perkiraan terakhir dari Departemen Kehutanan, produksi kayu bulat dari hutan-hutan produksi Indonesia terus-menerus mengalami penurunan, mungkin karena sebagian besar HPH yang secara ekonomi menguntungkan telah dibalak seluruhnya. Kayu dari hutan-hutan konversi hutan yang ditebang habis untuk menjadi lahan perkebunan atau HTI tampaknya sudah mencapai puncaknya pada tahun 1997, mungkin karena krisis ekonomi dan politik telah menurunkan tingkat ekspansi pembangunan di sektor perkebunan dan HTI. Produksi kayu dari HTI masih di bawah target sampai beberapa tahun yang akan datang. Menurut data dari Departemen Kehutanan baru-baru ini, produksi meningkat tajam pada tahun 1999. Peningkatan yang terjadi tampaknya terlalu besar untuk dapat dipercaya sepenuhnya tetapi hal ini mungkin dapat

Lembaga bantuan internasional dan lembaga pemberi dana dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) telah mengeluarkan sejumlah peringatan bahwa kelanjutan bantuan sektor kehutanan akan bergantung pada tindakan efektif untuk membasmi pembalakan ilegal (Lihat Bab 5). Jelas sekali diakui bahwa, jika ketidakseimbangan pasokan/permintaan terus berlanjut, pembalakan ilegal tidak akan dapat dikontrol. Sebagian besar analis setuju bahwa pemecahannya tidak bergantung pada tindakan memerangi para pembalak ilegal di hutan, tetapi pada berbagai tindakan yang diarahkan kepada sisi permintaan. Tindakan yang menjanjikan mencakup penangguhan pertumbuhan kapasitas industri pengolahan kayu lebih lanjut, mungkin diikuti dengan pengurangan kapasitas; penghilangan subsidi pemerintah langsung atau tersembunyi untuk industri pulp; pemantauan yang terpercaya terhadap pembangunan HTI, penalti bagi perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban menanam; dan penegakan praktek pemeriksaan yang menyeluruh yang telah disetujui di pihak lembaga finansial yang menanamkan modalnya pada fasilitas produksi pulp dan kertas untuk menghindari pembiayaan proyek yang menggunakan kayu yang diperoleh secara ilegal. 

Hutan Tanaman Industri (HTI) 
Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah meluncurkan sebuah rencana ambisius untuk membangun kawasan yang luas untuk hutan tanaman industri yang tumbuh cepat (Hutan Tanaman Industri HTI), khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Program ini dipercepat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pada sekitar tahun 1990.Pada awalnya, pemerintah menetapkan program HTI sebagai rencana untuk menyediakan pasokan tambahan kayu yang berasal dari hutan-hutan alam, melakukan rehabilitasi lahan yang terdegradasi, dan mempromosikan konservasi alam. Untuk mencapai tujuan ini, para pengusaha HTI menerima berbagai subsidi pemerintah, termasuk pinjaman dengan ketentuan yang lunak dari "Dana Reboisasi" yang dikumpulkan dari para pemegang HPH.

Konsesi HTI diberikan untuk memproduksi kayu pulp dan kayu pertukangan, dan dapat dibangun secara independen, atau dengan kerja sama dengan HPH yang sudah ada. Suatu kategori khusus diciptakan untuk konsesi HTI yang berhubungan dengan lokasi transmigrasi (HTITrans), dimana dalam kasus ini para transmigran berfungsi sebagai pekerja di HTI. Konsesi HTITrans biasanya memproduksi kayu pertukangan. 

Menurut angka resmi, sekitar 7,8 juta ha telah dialokasikan untuk semua tipe pembangunan HTI sebelum akhir tahun 2000, tetapi hanya 23,5 persen dari kawasan tersebut yang benar-benar ditanami (Lihat Tabel 3.6). Menurut data yang tidak diterbitkan dan diberikan oleh Departemen Kehutanan, kawasan lahan yang dialokasikan untuk HTI sebelum bulan Mei 2001 meningkat menjadi 8,8 juta ha, tetapi data areal HTI yang ditanami tidak tersedia. 

Konversi Hutan Menjadi HTI 
Fakta yang menyatakan bahwa kurang dari seperempat luas lahan yang dialokasikan untuk konsesi HTI pada tahun 2000 benar-benar telah ditanami adalah sebuah gejala beberapa masalah struktural yang saling berhubungan dengan program HTI. Peraturan tahun 1990 jelas menyatakan bahwa HTI hanya diberikan untuk kawasan hutan permanen nonproduktif dan tidak akan diberikan di kawasan yang sudah berada di bawah sebuah HPH. Namun dalam prakteknya, konsesi HTI sering dibangun di lahan hutan yang masih produktif. Menurut perhitungan yang dibuat berdasarkan studi kelayakan perusahaan 

Pada awal tahun 2000, seorang pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa "industri pengolahan kayu telah diijinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas”. Kegagalan memasok kayu secara resmi sebagian besar dipenuhi dengan pembalakan ilegal, yang telah mencapai proporsi epidemis19

HTI, pada bulan Juni 1998, 22 persen lahan yang dikelola sebagai HTI adalah lahan yang sebelum pembangunan HTI merupakan hutan alam produktif (Kartodihardjo dan Supriono, 2000:4). Beberapa konsesi HTI melakukan konversi sebagian kawasan hutan alam yang lebih luas. Tabel 3.7 memperlihatkan enam kasus tersebut, dimana rata-rata 72 persen total kawasan HTI semula merupakan hutan alam. Boks 3.4 memberikan contoh ini secara lebih detil. Alasan ekonomi untuk pembangunan HTI di dalam kawasan hutan sangat jelas. Pertama, membangun HTI di lahan yang benar-benar terdegradasi akan lebih mahal, karena sering memerlukan investasi yang besar untuk kegiatan penyiapan lahan sampai melakukan rehabilitasi kesuburan tanah. Kedua, konsesi HTI mencakup hak untuk memperoleh IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), yang pada dasarnya adalah izin untuk menebang habis dan memanfaatkan kayu tegakan yang masih tersisa. Jika HTI dibangun di atas lahan yang masih memiliki banyak tegakan yang masih ada, maka IPK ini memberikan pasokan kayu kepada perusahaan dalam jumlah besar, yang pada dasarnya menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Dinamika ini, ditambah dengan sejumlah besar pasokan kayu yang tersedia dari sumber-sumber ilegal, memperkecil insentif bagi perusahaan pengolahan kayu untuk terus melanjutkan penanaman dan pemanenan HTI. Kurang dari seperlima dari kira-kira 2 juta ha yang dialokasikan untuk pembangunan HTI kayu pertukangan sudah direalisasikan penanamannya. Pembangunan HTI untuk produksi kayu pulp dilakukan agak lebih baik, dimana sekitar seperempat kawasan seluas hampir 5 juta ha yang dialokasikan untuk produksi pulp sudah direalisasikan penanamannya (Lihat Tabel 3.6). Dilihat dari keseluruhan rendahnya persentase kawasan HTI yang sudah ditanami hanya 23,5 persen dari total kawasan yang dialokasikan untuk semua tipe HTI jelas bahwa penanaman dan pemanenan kayu HTI bukanlah alasan utama untuk membangun HTI. Pertumbuhan luas areal konsesi HTI didorong oleh subsidi finansial yang besar dan hak untuk menebang habis pohon yang masih berdiri (Lihat Catatan 23). Selain itu, beberapa pemegang HPH menemukan bahwa secara ekonomi akan menguntungkan jika mereka mengubah luas.



Februari 14, 2016

0 comments:

Posting Komentar