Pengertian Filsafat, Etika, dan Kearifan Lokal

Sabtu, 13 Februari 2016

Dimension OF  Pancasila Ethics In Bureaucracy :
Discourse of Governance

Abstract 
Konsep etika berasal dari diskusi tentang apa yang baik dan buruk,menghasilkan standar pengukuran dalam perilaku menilai: tindakan, pikiran,dan pidato. Ini menciptakan sebuah link dari ide kemanusiaan dengan realitas, untuk individu dan makhluk sosial. Mengkristalisasikan konsep manusia menghasilkan penciptaan pengetahuan dan produksi budaya dalam bentuk etika. Sementara itu, etika manusia mendapat formalisasi kelembagaan sendiri masyarakat dalam perwujudan manajemen atau birokrasi, dengan tujuan disiplin sosial atau hirarki "Ruang-kekuatan" antara lembaga manusia-hubungan atau sistem jaringan aktor.

Birokrasi adalah konsekuensi logis dari perkembangan sosial, peradabandiwujudkan dalam seluruh sistem dari lembaga formal: sektor negara, pasar, dan masyarakat. Orang dan lembaga mengaktualisasikan fungsi ekonomi politik dari perspektif mereka sendiri. Hal ini mempengaruhi dinamika pemerintahan fungsi lembaga-lembaga formal, dan pegawai negeri juga. Keseimbangan antara negara, pasar, dan masyarakat menjadi tugas penting dari etika, selain konstitusi yang mengatur hukum, aturan yang sah. Pancasila etika mencoba untuk menawarkan konsep governance antara orang-orang dan lembaga. kertas hadiah ini hubungan antara etika Pancasila, birokrasi, dan pemerintahan di keseimbangan negara, pasar, dan masyarakat sebagai dasar untuk pelayanan publik.

Pendahuluan 
Serupa dengan pemahaman filsafat yang secara etimologis melandaskan gagasannya pada filos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), begitu pula dengan etika sebagai bagian dari filsafat itu sendiri. Manifestasi ide/gagasan pada ranah kenyataan yang mewujud dalam tata-aturan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, untuk kemudian distandarisasi sesuai dengan paradigma dan ideologi, cara pandang, ataupun konsensus yang berlaku (Althusser, 1984). Pun begitu, etika sendiri memiliki cara pandang yang hampir sama dengan nilai, norma, ataupun moralitas. 

Pada aspek inilah, tentunya etika menjadi pembeda pula antara manusia dengan hewan, lewat fungsi makhluk sosial dan individual. Dengan demikian, hubungan manusia yang sudah berikatan inilah yang menjadi dasaran bagi terciptanya sistematika organisasi dalam birokrasi dengan keseluruhan legalitas dan legitimasi yang melingkupi. Namun, pada saat ini tantangan demi hambatan yang menghadang sistematika tersebut, mulai dari ketidakjelasan implementasi, kegamangan sistem etika/filsafat yang berawal dari disfungsi konsensus dan berakhir pada ketidakberpihakan birokrasi itu sendiri kepada masyarakat. 

Dalam Media Indonesia 31 Maret 2011, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meminta birokrasi di unit-unit satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemprov DKI dan jajaran agar dipangkas dan jangan berbelit-belit. Apalagi mempermainkan masyarakat dalam setiap pelayanan pada unit-unit kerja semua SKPD Seperti yang dipaparkan oleh Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Apalagi, masih ada opini publik yang menyiratkan tentang betapa berbelit-belitnya birokrasi saat ini.

Di bidang lain, Kementrian Keuangan (Kompas, 2 Juli 2011) menyatakan bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya sekadar mengatur absensi pegawai di Kementerian Keuangan, melainkan dibutuhkan alat ukur yang lebih tajam dalam memperhitungkan kinerja birokrasi saat ini. Target kerja sebaiknya menjadi salah satu ukuran untuk mengukur kinerja aparat Kementerian Keuangan. Namun, disisi lain identifikasi muramnya kinerja birokrasi ditambah pula dengan tindakan korupsi yang melingkupi mereka. 

Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TII 2005-2007 menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik dan lembaga peradilan dalam daftar teratas institusi yang paling korup (catatan kaki Transparency International). Berdasarkan data Pusat Studi Anti (PuKAt) Korupsi Fakultas Hukum UGM, aktor terbanyak tahun 2007 adalah Bupati/Walikota. Menurut PuKAt, hal ini menunjukan pengaruh kuat desentralisasi terhadap peningkatan potensi dan kesempatan korupsi (UNCAC, 2003). 

Sementara itu, di satu sisi arus global mengkondisikan bagaimana sebuah iklim keterbukaan, demokratisasi, serta transaparansiakuntabilitas disertakan di setiap lini kepemerintahan, termasuk penyelenggaraan organisasi kemasyarakatan, tata-aturan masyarakat, sampai pengaturan pihak swasta. Sehingga, aspek keberpihakan pelayanan menjadi titik sentral dalam melihat kesetaraan antara negara, pasar, dan masyarakat. Di samping itu, keberadaan aktor negara, pasar, dan masyarakat tidak hanya mewujud dalam relasi-interaksional pelayanan an sich, namun melakukan sebuah usaha bersama untuk mencapai tujuan pembangunan yang dimaksud. 

Di sinilah, Pancasila menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lewat nilai, moral, norma dan etika yang ditanamkan sebagai bagian dari landasan filosofis serta kepribadian negara-bangsa. Dengan begitu, ditemukan kesesuaian nilai kepribadian tersebut dengan wilayah birokrasi pada ranah Governance, sekaligus “penjaga” regulasi pada level etika bernegara-berbangsa. 

Perihal Etika 
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan. Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. 

Yang mana dapat disimpulkan bahwa etika adalah : 
  1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak dan kewajiban moral; 
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 
  3. Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. 
Secara terminologis, De Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Sedangkan William Lillie mendefinisikannya sebagai the normative science of the conduct of human being living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad. Sedangkan ethic, dalam bahasa Inggris berarti system of moral principles. Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa latin mos (jamak : mores), yang berarti juga kebiasaan dan adat (Vos, 1987). 

Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai :
  1. Sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, 
  2. Kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan 
  3. Filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat sekaligus artikulasi kebudayaan. 
Di samping itu, filsafat menganalisa tentang mengapa dan bagaimana manusia itu hidup di dunia serta mengatur level mikrokosmos (antar manusia/Jagad Cilik) dan makrokosmos (antar Alam dan Tuhan/Jagad Gede). Sebagai sistem pemikiran tentunya konsep dasar filsafat digunakan dalam mengkaji etika dalam sebuah hubungan keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Hubungan tersebut didasari landasan pemikiran bahwasanya ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 

Ontologi yaitu apakah hakikat pemikiran tersebut, Epistemologi yaitu mengapa ada pemikiran tersebut, sementara Aksiologi adalah bagaimana cara untuk melaksanakan pemikiran tersebut. 
Secara umum, dalam khazanah pemikiran akan dibagi dalam empat bagian : 
  1. Filsafat sebagai kajian yang mempelajari tentang hakikat pemikiran; 
  2. Etika sebagai kajian yang mempelajari tentang bagaimana sebaiknya manusia berperilaku; 
  3. Estetika sebagai kajian yang mempelajari tentang keteraturan antara makhluk hidup; 
  4. Metafisika sebagai kajian yang melihat hubungan manusia dengan unsur di luar nalarnya. 
Pada level aliran, etika bisa dilihat sebagai model rasionalitastindakan, misalkan aliran teleologis atau aliran deontologis. Aliran Etika Teleologis sendiri berasal dari Etika Aristoteles adalah etika teleologis, yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik (agathos). 

Dalam perkembangannya, etika ini disempurnakan kembali oleh John Stuart Mill dan Jeremy Bentham, lewat perspektif Utilitarianisme yang berasal dari bahasa Inggris “utility” yang berarti kegunaan, berguna, atau guna. Dengan demikian, bahwa suatu tindakan harus ditentukan oleh akibat-akibatnya. Dilihat dari pengertian di atas, maka ciri umum aliran ini adalah bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilitarinisme sebagai teori etika normatif merupakan suatu teori yang kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma-norma atau peraturan moral yang berlaku begitu saja dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan mengapa sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan.

Sementara itu, aliran deontologis melihat bahwa kerangka tindakan/perilaku manusia dilihat sebagai kewajiban. Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Hal-hal yang lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia dipakai oleh kehendak baik manusia (Ibid, 254). 

Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianisme yang mengedepankan tujuan yang ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan “kewajiban” karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan (reason) tidak diperlukan sehingga perbuatan itu dilakukan. 

Franz Magnis Suseno (1992: 28) sempat memberi contoh tentang hubungan antara etika dan norma. Dalam konteks masyarakat tradisional, orang kelihatan dengan sendirinya menaati adat-istiadat. Sebab, mereka telah membatinkan (menginternalisasikan) norma-normanya. Mereka menaati norma-norma tersebut, bukan karena takut dihukum, melainkan karena ia akan merasa bersalah apabila ia tidak mentaatinya. Norma-norma penting dari masyarakat telah ditanam dalam batin setiap anggota masyarakat itu sebagai norma moral. 

Serupa pula dengan pendapat Van Peursen (1980: 97) yang mengatakan bahwa etika amat berperan pada semua diskusi mengenai ilmu. Kemungkinan menerapkan ilmu menjadi semakin mengesankan dan sering juga makin mengerikan. Secara umum, asal-muasal etika berasal dari filsafat tentang situasi/kondisi ideal yang harus dimiliki atau dicapai manusia. Dengan begitu, keteraturan antar kehidupan manusia bisa dimiliki secara kolektif tanpa harus mengganggu individu masing-masing. 

Disamping itu, teori etika yang ada hanyalah cara pandang atau sudut pengambilan pendapat tentang bagaimana harusnya manusia tersebut bertingkah laku. Meskipun pada akhirnya akan mengacu pada satu titik yaitu kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan harmonisasi terlepas sudut pandang mana yang akan melihat, baik dari tujuan/, teleologis, ataupun kewajiban (deontologis).

Pancasila sebagai landasan etika 
Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup, kepribadian, dan kebudayaan negara-bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta manifestasi norma, dalam aspek moralitas pikiran-tindakan-ucapan. Dengan demikian, seluruh ruang kehidupan bermasyarakat-bernegara berada dalam koridor landasan ideologis Pancasila. Hal ini merujuk pada arti kata ideologi itu sendiri, Althusser sendiri menekankan pula bahwa ideologi adalah relasi imajiner individuindividu terhadap kenyataan real eksistensi mereka, yaitu ideologi sebagai kekuatan material dalam masyarakat yang menyerap individuindividu sebagai subjek dalam ideologi tertentu, misalnya relasi imajiner guru-murid menghasilkan praktik material tentang cara berinteraksi antara guru dan murid (Adian, 2005). 

“Relasi imajiner” inilah yang akan membentuk sebuah kesepakatan bersama dalam kehidupan sosial, atau konsensus bersama dalam bingkai kesatuan ideologi ataupun karakter. Kesatuan inilah yang membentuk ikatan antara manusia-manusia yang bermukim dalam satu wilayah tertentu dalam bangunan kesadaran sebagai bangsa. 

“Menurut Renan syarat bangsa ialah ‘kehendak akan bersatu.’ Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: ‘le desir d’etre ensemble’, yaitu kehendak akan bersatu” (Anderson dalam Susanto, 1983: 11-40).

Dalam bangsa tersebutlah, akan ditemukan ikatan yang tidak semata dibangun lewat persamaan historis an sich, dan geo-politik, namun mengacu kepada kesadaran sejarah, budaya, politik, dan ekonomi. Jelas, pada level semantik tersebut akan ditemukan perbedaan dengan frasa masyarakat atau warga-negara sekalipun (Hardiman, 2010; Suseno, 2010: 107). Dengan begitu, akan ditemukan pula bagaimana sebuah hubungan antara manusia, lembaga, serta tata-peraturan akan di”main”kan lewat kerangka legitimasi dan legalitas. 

Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas pula dari kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila sendiri mendasarkan tata-etika pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian kembali etik yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Disini, pertautan antara ideologi, etika, serta standar moralitas yang bertujuan pendisiplinan masyarakat. 

Kekuasaan menurut pandangan Foucault tidaklah dimiliki melainkan bermain/dimainkan terus-menerus (Zuska, 2005: 156): “…power is not something which can be possessed by individuals or social groups. Rather, it must be seen as something constantly in play. Power relations, such as those between employers and employees, or between mothers and doctors, are always susceptible to reversal…..Foucault does not limit the sphere of power relations to interactions between the individuals and state apparatuses: they extend throughout the social field, operating between men and women, professionals and their client.” (Patton, 1987: 234).

Secara umum, keberadaan kekuasaan dan legitimasi ideologi inilah yang memberikan “ruang-kuasa” wacana/diskursus untuk mengatur mana yang baik dan buruk serta rumusan antropologi ke”warga”an. Dengan begitu, dimensi etika disini sangat dibutuhkan untuk menjadi landasan bagi beroperasinya “kuasa” ideologi serta kekuasaan negara yang mewujud dalam ISA (Ideological State Aparatus), sebagai bentukan aktor yang menjalankan seperangkat praktik ritual-ritual, dimana praktik tersebut selalu terdapat dalam eksistensi material, seperti lembaga pendidikan, agama, atau institusi kebudayaan dan RSA (Represive State Aparatus), yang dibentuk untuk membenarkan tindakan yang “diucapkan” lewat kuasa-fisik serta kekuatan pengadilan, militer, polisi, birokrasi, termasuk institusi negara sekalipun, hal ini mengacu pada logika yang melekat pada negara yaitu pemaksaan. 

Keberadaan Pancasila lewat seperangkat etika tak bisa melepaskan dari konsep kebudayaan yang menurut Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1981: 203) antara lain bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Pada akhirnya, penafsiran kembali etika Pancasila sebagai seperangkat sistem kebudayaan tak bisa dilepaskan dari frase “bangsa” sekaligus ikatan geopolitik-geohistoris, bahkan konsensus bersama yang menghasilkan kontrak politik. Dengan demikian, sintesa antara lima prinsip (nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan) dalam Pancasila melahirkan kembali kesatuan dan kesadaran berbudaya dan berpengetahuan lewat bingkai etika Pancasila. 

Perspektif Pancasila sendiri dalam menangkap fenomena birokrasi bisa dijelaskan dalam sebuah idiom perwakilan yang mana aspek demokratis serta keberadaan negara diyakini sebagai konsekuensi logis dalam perkembangan masyarakat, demikian pula terorganisasinya aparat pada wadah bernama birokrasi. Soekarno dalam Lahirnya Pancasila, 1945 mengatakan bahwa: “…Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…” 

Secara umum, dapat ditangkap bahwa fenomena demokrasi, metode perwakilan, model permusyawaratan pada ranah perencanaan serta pengambilan keputusan adalah rasionalisasi dari adanya hakikat kebangsaan, nilai kemanusiaan, serta sarana pencapaian tujuan dari negara tersebut. Pada akhirnya, interpretasi etika sebagai sistem kebudayaan dibangun pada adanya kenyataan/realita bahwa Indonesia dibangun atas nilai kepribadian serta rangkaian sejarah peradaban. 

Dilema profesionalitas birokrasi dan (fungsi) politik Birokrasi secara umum sering disebut sebagai konsekuensi dari lahirnya organisasi modern sesuai dengan perkembangan masyarakat. 

Telaah ilmiah yang dilakukan Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam tiga pola: yaitu : 
  1. Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; 
  2. Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri; dan
  3. Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan. 
Disamping itu, menurut Weber (Albrow, 1989: 33) secara rasional birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 
  1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka; 
  2. Ada hirarki jabatan yang jelas; 
  3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas; 
  4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak,
  5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh melalui ujian; 
  6. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun; 
  7. Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki; 
  8. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Birokrasi berdasarkan ciri-ciri yang telah diungkapkan Weber di atas merupakan sarana paling rasional yang digunakan dalam pencapaian tujuan untuk pelayanan terhadap masyarakat/bangsa. 
Birokrasi menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat yang dianggap mampu menyediakan berbagai jenis pelayanan, dinilai sebagai alat administratif yang efisien. Maka terdapat penyeragaman jenis layanan kepada masyarakat di berbagai bidang sehingga tiadanya perbedaan (pluralitas). 

Namun dari karakteristik-karakteristik birokrasi tersebut, Weber mengakui terdapat kerancuan dasar organisasi birokratis seperti munculnya gejala Red Typed yang menjadikan urusan birokrasi berbelit-belit, harus sesuai dengan prosedur yang jelas dan menjadikannya tidak fleksibel. Sebagaimana yang diungkapkan Weber (Rietzer dan Goodman, 2009: 141) bahwa: “..Tidak ada satu mesin pun di dunia ini yang berfungsi sama persis dengan aparatus manusia, dan terlebih lagi, begitu murah. Kalkulasi nasional, mereduksi setiap pekerja menjadi sekadar sekrup dalam mesin birokrasi dan dia melihat dirinya dengan cara demikian, ia sekadar bertanya tentang bagaimana mengubah dirinya menjadi sekrup yang lebih besar, hasrat birokratisasi membawa kita ke situasi yang putus asa…” 

Birokrasi merupakan struktur rasional yang memiliki peran yang utama dalam suatu negara dan dalam struktur-struktur tersebut terdapat birokrat yang menjalankan segala aktivitas birokrasi17.Sistem birokrat yang menyediakan administrasi massa yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat modern sekarang ini. Manusia dari lahir sampai meninggal selalu berurusan dengan birokrat, dengan mengurus akta kelahiran, setelah dewasa membuat KTP, mengurus perijinan, dan sampai pemakaman juga bersentuhan dengan birokrat. Masalah rasionalitas inipun dianggap sebagai rasionalisasi formal yang merujuk pada aturan, hukum, dan regulasi yeng berlaku secara universal. Sejumlah aturan tersebut mewujud dalam institusi ekonomi, hukum, dan ilmu pengetahuan, dan dominasi birokratis. Dengan begitu, aspek rasionalitas formal akan menyinggung ke arah otoritas rasional-legal dan birokrasi : “Rasionalisasi birokratis…pada prinsipnya berevolusi bersama sarana-sarana teknis dari luar sebagaimana halnya setiap proses reorganisasi ekonomi. Mula-mula dia mengubah tatanan material dan sosial, dan kemudian lewat tatanan-tatanan itu dia mengubah orang, dengan cara mengubah kondisi adaptasi, dan barangkali peluang bagi adaptasi, melalui penentuan sarana dan tujuan secara rasional“  

Birokrat atau Aparat Negara atau lazim juga disebut pamong praja yang berarti “korps pengembang” atau “pengemong kerajaan.” Dalam tradisi kebudayaan Jawa, pamong berasal dari momong yang berarti menuntun anak (dengan memegang tangannya). Denys Lombard mengatakan bahwa landasan pokok pamong yaitu pegawai yang baik, yang selalu harus bertindak untuk kepentingan rakyat, harus berusaha ulet, awas/waspada, bijaksana dan berwibawa. Dalam segala keadaan ia harus menguatkan lahir dan bathin (lihat lampiran I). 

Namun di sisi lain, birokrat tidak dapat terpisah dari beberapa aspek yang akan berpengaruh pada kinerja birokrasi tersebut. Birokrat sebagai individu-individu memiliki kepentingan masing-masing yang menurut Aristoteles manusia merupakan makhluk Zoon Politicon dan di satu sisi para birokrat harus menunjukkan kinerja yang profesional dalam setiap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Seringkali berbagai permasalahan individu dimodifikasi dan dikemas sebagai permasalahan publik oleh beberapa kelompok sehingga mencuat ke permukaan yang diatasnamakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan wong cilik, entah itu masyarakat pihak mana atau orang-orang kecil yang mana. Kekaburan inilah yang mempengaruhi kinerja birokrasi dalam menyediakan pelayanan menjadi tidak optimal karena dilandasi oleh kepentingan-kepentingan. 

Di samping itu, kekaburan makna birokrasi di Indonesia adalah masalah paradigma Weberian yang menilai birokrasi bisa dilaksanakan saat masyarakat mencapai tahapan industri dan modernisasi, sehingga membawa dampak bagi adanya perubahan struktur-sistem-lembaga dari organisasi kemasyarakatan. Namun, kecenderungan yang terjadi di Indonesia lebih pada aspek patrimornial20. Farchan Bulkin (1991: 56) mengatakan bahwa di Indonesia, birokrasi yang rasional tidak muncul, maka penyebabnya antara lain bisa dikaitkan dengan hubungan antara state (negara) dengan society (masyarakat). Di tempat-tempat dimana middle class bisa maju dan kuat maka negara akan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang tergabung dalam kelas menengah tersebut. 

Pada aspek ini, Agus Suryono (t.t: 5) mencoba untuk memaparkan konsep birokrasi profesional, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efisiensi. 

Pada akhirnya, hal ini merujuk pada kekaburan teori birokrasi berasal dari perbedaan pendekatan dalam menggambarkan karakteristik birokrasi dan kegagalan kita untuk menangkap adanya perbedaan cara pendekatan itu. Heady (Santosa, 2008: 4) menunjukkan adanya tiga macam pendekatan dalam merumuskan birokrasi, yaitu (1) pendekatan struktural; (2) pendekatan behavioral; (3) pendekatan tujuan.

Saat berbincang tentang birokrasi maka yang menjadi rujukan adalah perkembangan organisasi masyarakat modern yang mana prakondisi dari keseluruhan sistem ekonomi, politik, budaya menjadi variabel tersendiri dalam mempengaruhi keberlangsungan organisasi bernama birokrasi termasuk model manajerial yang melingkupinya. Dalam aspek yang lain, dikotomi antara profesionalitas birokrasi yang “steril” dari politik adalah masalah tersendiri, yang beriringan dengan bangunan kultural dari birokrasi yang masih “labil” dari budaya feodal ke budaya industri, sebagaimana hirarki yang justru dikandung oleh mekanisme birokrasi itu sendiri. 

Dewasa ini, kecenderungan politik birokrasi tidak bisa dilepaskan dari sistem kenegaraan yang berlangsung, kesadaran politik dari masyarakat, ditambah konsistensi dari seluruh aktor negara-bangsa dalam menjalankan konsensus politik bernama ideologi. Serupa dengan pendapat Weber, tentang rasionalitas dari birokrasi yang datang beriringan dengan efek ekonomi formal serta kepemimpinan, dalam aspek legalitas, legitimasi yang (lagi-lagi) dimainkan oleh faktor budaya dan kristalisasi tata-peraturan, tak terkecuali etika (Ritzer, 2009). 

Indikator konkrit dari kinerja birokrasi dalam fungsi kesejahteraan maupun fungsi pelayanan umum, bisa dilihat dari sejauh mana peningkatan kehidupan (sosio-ekonomis) masyarakat, serta sejauh mana tingkat pengurangan keluhan (ketidak-puasan) yang disampaikan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik haruslah diarahkan kepada 2 (dua) sasaran tersebut, yaitu untuk memperbaiki kehidupan masyarakat sekaligus memperbaiki mutu pelayanan. 

Agus Suryono (t.t:)5 menyatakan bahwa untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : 
  1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; 
  2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); 
  3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; 
  4. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent) pembangunan; 
  5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. 
Selama ini, pelayanan publik tidak lepas dari hegemoni negara yang mempengaruhi kebijakan. Peran negara berpengaruh pada kualitas kebijakan yang berdampak pada nasib masyarakat luas. Pelayanan yang disediakan oleh birokrasi pun dirasa masih belum memuaskan masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu sinergi antara pemerintah, privat sector dan civil society guna mewujudkan tata kehidupan bernegara (governance) yang lebih demokratis sehingga dapat tercapainya perbaikan kehidupan masyarakat dan perbaikan mutu pelayanan. 

Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintah yang mengekspresikan kepentingan publik, yang bisa dilakukan dengan adanya partisipasi dari masyarakat sepenuhnya dalam birokrasi pemerintah. Masyarakatlah yang menjadi konsumen dari birokrasi itu sendiri, jadi masyarakat lebih tahu kekurangan-kekurangan pelayanan tersebut sehingga birokrasi bisa introspeksi dan membenahi kualitas pelayanan. 

Aspek Pancasila dalam Governance 
Pada akhirnya diskursus etika, birokrasi, dan idiom keberpihakan kepada pelayanan publik akan berjalan pada paradigma baru ke’administrasi-negara’an yaitu Governance. Dalam level pembahasan Governance, penulis coba untuk menganalisa terlebih dahulu pertautan antara epistema dari Governance itu sendiri dalam ranah birokrasi serta pandangan etika sebagai hasil dari produk kebudayaan manusia. 

Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu negara termasuk : 
  1. Proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan;
  2. Kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan 
  3. Pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. 
Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi8. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya (Pohan, 2000). 

Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuantujuan bersama (Eko, t.t)

Definisi Governance menurut UNDP adalah the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs at all levels. Dengan demikan kata “governance” berarti “penggunaan” atau “pelaksanaan” yakni penggunaan politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Di sini tekanannya pada kewenangan kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi (Wasistiono, 2003)

Menurut Ganie Rochman dalam Joko Widodo (2001: 18), Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Dalam pengelolaan dimaksud tidak terbatas melibatkan pemerintah dan negara (state) saja, akan tetapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara tersebut, sehingga pihakpihak yang terlibat sangat luas. 

Sementara itu, Michael Bratton dan Donald Rothchild (1992) membuat ringkasan tentang makna governance: 
  1. Governance adalah sebuah pendekatan konseptual yang bisa memberi kerangka bagi analisis komparatif pada level politik makro; 
  2. Governance sangat menaruh perhatian pada pertanyaan besar tentang hakekat konstitusional yang mengabadikan aturan main politik;
  3. Governance mencakup intervensi kreatif oleh aktor-aktor politik pada perubahan struktural yang menghalangi pengembangan potensi manusia; 
  4. Governance adalah sebuah konsep yang menekankan hakekat interaksi antara negara dan aktor-aktor sosial serta di antara aktor-aktor sosial sendiri; 
  5. Governance menunjuk pada tipe khusus hubugan antara aktor-aktor politik yang menekankan aturan main bersama dan sanksi-sanksi sosial ketimbang kesewenang-wenangan (Eko, t.t.: 10). 
Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka. 

Secara umum, unsur-unsur yang diusung dalam Good Governance antara lain: 
  1. Akuntabilitas (accountability) berupa tanggung gugat dari pengurusan/penyelenggaraan, dari governance yang dilakukan. Menurut LAN akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas ada akuntabilitas politik, keuangan dan hukum; 
  2. Transparansi (transparancy) berupa transparansi yaitu dapat diketahuinya oleh banyak pihak (yang berkepentingan mengenai perumusan kebijaksanaan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Tender pelelangan dan lain-lain dilakukan secara transaparan; 
  3. Keterbukaan berupa pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap kritik yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik dan pemerintahan; 
  4. Aturan Hukum (Rule of Law) berupa keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasar hukum (peraturan yang sah). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Juga dalam social economic transaction.Conflict Resolution berdasar hukum termasuk arbitrase. Institusi hukum yang bebas, dan kinerjanya yang terhormat (an independent judiciary). Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik sebagai infrastuktur good governance; 
  5. Ada yang yang menambahkan jaminan fairnes, a level playing field (perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan). 
Adamolekun dan Briyant menambahkan dalam unsur-unsur good governance, management competency dan human rights (Hardjasoemantri, 2003). 

Governance berorientasi pada proses jadi fokusnya adalah untuk menghasilkan apa yang bisa meningkatkan efisiensi dan memuaskan konsumen daripada perihal sumberdaya untuk agensi publik. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan seputar pemahaman proses yang dari situ kebijakan publik diciptakan, dijalankan, dan dikelola. Tujuannya adalah mengenali aktor dan perannya dalam proses tersebut, dan menjelaskan bagaimana perilaku dan keterkaitannya membentuk penyediaan pelayanan publik. 

World Bank mengemukakan karakteristik Good Governance sebagai masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggungjawab, birokrasi yang profesional, dan aturan hukum yang jelas (Pratikno, 2005). Dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang semakin kritis dalam menyikapi persoalan Governance terutama untuk mewujudkan Good Governance maka perlu diadakan proses optimalisasi kinerja dari instansi pemerintah. Karena kini publik tidak hanya memposisikan dirinya sebagai pihak luar tetapi justru menjadi rekanan bahkan menjadi pihak yang seharusnya dilayani. Untuk itulah mulai saat ini harus terus ditingkatkan kualitas pelayanan publik yang semakin prima. 

Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut -apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang lain. 

Sehingga konsep ini tidak jauh berbeda upaya menetralisir patologi birokrasi memang direncanakan dalam beberapa agenda Good Governance yang memiliki pertautan dengan Reinventing Government, antara lain sebagai berikut : 
  1. Mengembangkan kompetisi antar penyedia pelayanan; 
  2. Memberdayakan masyarakat dalam mengontrol birokrasi; 
  3. Berorientasi pada outcomes (bukan input) dalam mengukur kinerja;
  4. Dikendalikan oleh misi, bukan oleh regulasi dan kewenangan; 
  5. Mendefinisikan klien sebagai pelanggan dan memberikan pilihan kepada merek; 
  6. Mencegah masalah; 
  7. Memperoleh uang/pendapatan, bukan semata membelanjakan; 
  8. Mendesentralisasikan otoritas dan mengembangan manajemen Partisipatif; 
  9. Memprioritaskan mekanisme pasar; 
  10. Mengkatalisasi semua sektor, bukan semata menyediakan pelayanan (Pratikno, 2005: 231-248). 
Namun, dalam kehidupan sehari-hari Governance di Indonesia lebih banyak berkutat terhadap kenaikan gaji pamong praja serta kesejahteraannya namun bisa dikatakan tidak berfikir secara maksimal tentang transparansi, akuntabilitas dalam pelayanan publik pada masyarakat. Kenyataannya praktik-praktik pelayanan terhadap masyarakat masih dibilang lamban dan tidak professional, Salah satu keluhan yang sering terdengar dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah adalah selain berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku, juga perilaku oknum aparatur yang kadangkala kurang bersahabat. 

Selain itu ruang ruang terbuka untuk publik masih minim dan berpihak pada yang memegang kuasa, hal ini jelas jelas bertolak belakang dengan ajaran dari Pancasila sendiri, khususnya etika Pancasila. Untuk kembali dari keterpurukan dan kecarutmarutan dalam governance yang di dalamnya tidak membela pada masyarakat sebagai pihak yang dilayani maka seyogyanya kita kembali kepada Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi Bangsa. Pancasila (adalah) sebagai ruh dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini masih sangat relevan dan dibutuhkan untuk membangun bangsa yang bermartabat dan punya harga diri di mata dunia. Bangsa ini akan mengalami kesulitan besar kalau ideologi Pancasila ditinggalkan (Abdulgani, 1960). 

Pancasila sudah dibakukan di dalam UUD Negara, sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia. Dengan begitu, menjadi masalah serius bagaimana Pancasila diinterpretasi, bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya bangsa. Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang plural ini maka Pancasila lah yang mampu menjawab tantangan dan hambatan yang menghadang di tengah keterpurukan ekonomi, konflik sara yang terjadi. Pancasila adalah falsafah, dasar negara, ideologi terbuka yang menjadi sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan sumber solusi atas masalah-masalah yang hendak kita pecahkan. 

Jika dilihat secara politik, Pancasila sudah tidak disarankan tetapi diharuskan diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, karena Pancasila sebagai ideologi nasional yang membina persatuan bangsa dan nilai-nilainya digali oleh orang Indonesia dari sejarah kebangsaan Indonesia masa lampau namun masih relevan sampai sekarang. Pancasila perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik menuju model desentralistik. 

Pancasila sebagai penyemangat persatuan dan nasionalisme bangsa yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan warga negaranya, selain itu sebagai tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Pancasila juga sebagi referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan, yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugastugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta sebagai rujukan untuk kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan HANKAM. 

Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat (1) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan; (2) kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta (3) supremasi hukum. Begitu juga standar demokrasinya yang (1) bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, dan akuntabel; (2) berpihak kepada ‘social welfare’, serta yang (3) meredam konflik dan utuhnya NKRI (Hanafiah, 2006).

Penutup :
Menimbang kembali titik kesetaraan Negara, Pasar, dan Masyarakat 
Dalam konstelasi politik yang ada sekarang, siapa yang memegang kendali kebijakan publik, termasuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang strategis, tentu akan berpulang jawabnnya pada siapakah pemimpin birokrasinya dan siapakah penguasa politiknya. Saat ini birokrasi masih dikuasai oleh orang-orang berpola pikir lama yang masih mengedepankan pragmatisme-nya, dan partai-partai yang berkuasapun masih tidak jauh beda kondisinya. Institusi-institusi dan orang-orang inilah yang akan sangat menentukan segala arah kebijakan publik di Indonesia, apalagi jika mereka mempunyai jaringan bisnis yang cukup kuat dan berkemampuan untuk memegang kendali di semua sektor dan lapisan masyarakat.

Proses kebijakan publik yang secara umum dilakukan dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan tidak akan bisa dilepaskan dari institusi pemerintah. Pemerintah di sini berperan sebagai penanggung jawab dalam pengimplementasian sebuah kebijakan. Dalam tugasnya sebagai eksekutor sebuah kebijakan, peran kewibawaan pemerintah di mata masyarakat menjadi sangat penting, oleh karena itulah maka pemerintah haruslah selalu membangun kesan positif bahwa mereka sangat memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. 

Oleh karenanya, kebijakan dilakukan pemerintah seyogyanya selalu bersifat problem solving bagi masyarakat. Namun, pada kenyataan birokrasi di Indonesia masih terdapat mengalami masalah dengan banyaknya patologi atau penyakit birokrasi itu sendiri. 

Beberapa kenyataan patologi birokrasi yang sering terjadi hubungannya dengan kebijakan publik adalah: 
Pertama, penyalahgunaan Wewenang dan Jabatan. Kenyataan ini sering kali diawali tidak adanya kesadaran yang dimiliki elite birokrat bahwa kekuasaan yang mereka duduki haruslah diabdikan pada kepen tingan umum, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok Hal ini sangat mengkhawatirkan karena jika sebuah kebijakan yang sudah ditetapkan harus diimplementasikan dengan hanya berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan umum. Kenyataan lain kondisi birokrasi saat ini yaitu yang cenderung ingin mempertahankan status-quo.

Kedua, pengaburan permasalahan. Kelompok elite pejabat pemerintahan tidak jarang yang sering melakukan tindakan mengaburkan sifat dan bentuk dari suatu permasalahan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Kenyataan ini tidak lepas dari dekatnya hubungan antara birokrasi dengan policy makers. Dimana utamanya adalah hubungan kesamaan kepentingan antara pembuat kebijakan itu dengan kelompok birokrasi. Sehingga dengan pengaburan masalah itu, yang diharapkan adalah kepentingan keduanya (birokrasi dan policy makers) tetap terjaga. 

Ketiga, kecenderungan mempertahankan status-quo. Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi dalam bentuk berbagai patologi birokrasi yang selam ini terjadi ternyata tidak mudah. Berbagai upaya telah dilakukan. Diantaranya mengeluarkan kebijakan otonomi daerah di era reformasi ini, namun tetap saja politisasi birokrasi masih terjadi, selain itu juga muncul politisasi birokrasi dengan varian yang baru 

Serupa dengan hal tersebut, perlu usaha bersama untuk membudaya-kan kembali Etika Pancasila dalam ranah kenegaraan dan kebangsaan, bisa dilakukan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia pada pedoman Pembukaan UUD 1945 : 
“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”


Dengan demikian, kristalisasi kebudayaan dalam nilai etika dengan sendirinya akan membentuk bangun-rupa bagaimana birokrasi sebagai aparat negara dan tata-kelola negara-bangsa ke depan, pada bingkai ideologi sebagai pandangan hidup dalam kesetaraan negara, masyarakat, dan pasar. 

Daftar Pustaka 
Abdulgani, Roeslan. Sosialisme Indonesia.1960. Malang: Jajasan Perguruan Tinggi Malang.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Anderson, Benedict. 1983. dalam Irzanti Susanto. tanpa tahun. Imagined Community. New York: Verso. 
Althusser, Louis. 1984. Essay on Ideology. Terjemahan oleh Olsy Vinoli Arnov. Yogyakarta: Jalasutra.
Bertens, K 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bulkin, Farchan. 1991. “Perubahan Struktur 
Belum Selesai dalam Dialog Prisma dalam “Ekonomi dan Otonomi: Keniscayaan Zaman.” No.8 Tahun XX, Agustus 1991.
Convention Against Corruption (UNCAC). 2003. in Indonesian Law By: Indonesia Corruption Watch (ICW). Anti-corruption Public Forum of UNCAC 24-26 January 2008 and 2nd Confrence of State Party (CoSP) Nusa Dua-Bali, 28 January-1 February 2008 in Antikorupsi.org
Simselok Pancasila yang diselenggarakan oleh kerjasama Unpad, Lemhannas RI, dan Pemprov Jabar bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya pada tanggal 20 Mei 2006 di Kampus STISIP Tasikmalaya.
Hardiman, Budi F (Eds). 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demoratis” dari Polis dampai Cyberspace. Jakarta: Kanisius.
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Good Governance dan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.” Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
Ismani. 2001. “Etika Birokrasi.” Jurnal Adminitrasi Negara, Vol. II, No. 1, 31- 41.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kompas. 2 Juli 2011. “Reformasi Birokrasi Tak Sekadar Urusan Absensi.” Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation Kompas. 2 Juli 2011. “Reformasi Birokrasi Tak Sekadar Urusan Absensi.” Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation Vos, H De. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Balai Pustaka
Media Indonesia, 31 Maret 2011. “Fauzi Bowo Minta Pangkas Birokrasi Berbelit-Belit”.
Pohan, Max H 2000. “Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik dalam Era Otonomi Daerah.” Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Musi Banyuasin ketiga, Sekayu, 29 September-1 Oktober.
Pratikno. 2005. “Good governance dan governability.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, No. 3, 231‐248. Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Peursen, Van. CA 1980. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Gramedia: Jakarta.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokusmedia.
Weber, Marx. 2009. dalam Ritzer, George. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post-Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Lampiran. Gambar Landasan Pokok Pamong 
Gambaran ini terdapat pada awal tahun 70-an di kamar tamu seorang camat di jawa Timur.Landasan Pokok Pamong dipaparkan dengan gambar. Pegawai yang baik, yang selalu harus bertindak untuk kepentingan rakyat harus berusaha ulet, awas/waspada, bijaksana,dan ber-wibawa. 
Dalam segala keadaan, ia harus menguatkan lahir-batin dan berusaha agar
  1. Berinisiatif; 
  2. Bermusyawarah, 
  3. Bertanggung jawab.
Akhirnya, ia harus pandai bersikap yakin dan ikhlas, cepat dan lincah, jika ia ingin sekaligus mengabdi dan beramal.



Februari 13, 2016

0 comments:

Posting Komentar