Dimension OF Pancasila Ethics In Bureaucracy :
Discourse of Governance
Abstract
Konsep etika berasal dari diskusi tentang apa yang baik dan buruk,menghasilkan standar pengukuran dalam perilaku menilai: tindakan, pikiran,dan pidato. Ini menciptakan sebuah link dari ide kemanusiaan dengan realitas, untuk individu dan makhluk sosial. Mengkristalisasikan konsep manusia menghasilkan penciptaan pengetahuan dan produksi budaya dalam bentuk etika. Sementara itu, etika manusia mendapat formalisasi kelembagaan sendiri masyarakat dalam perwujudan manajemen atau birokrasi, dengan tujuan disiplin sosial atau hirarki "Ruang-kekuatan" antara lembaga manusia-hubungan atau sistem jaringan aktor.
Birokrasi adalah konsekuensi logis dari perkembangan sosial, peradabandiwujudkan dalam seluruh sistem dari lembaga formal: sektor negara, pasar, dan masyarakat. Orang dan lembaga mengaktualisasikan fungsi ekonomi politik dari perspektif mereka sendiri. Hal ini mempengaruhi dinamika pemerintahan fungsi lembaga-lembaga formal, dan pegawai negeri juga. Keseimbangan antara negara, pasar, dan masyarakat menjadi tugas penting dari etika, selain konstitusi yang mengatur hukum, aturan yang sah. Pancasila etika mencoba untuk menawarkan konsep governance antara orang-orang dan lembaga. kertas hadiah ini hubungan antara etika Pancasila, birokrasi, dan pemerintahan di keseimbangan negara, pasar, dan masyarakat sebagai dasar untuk pelayanan publik.
Pendahuluan
Serupa dengan pemahaman filsafat yang secara etimologis melandaskan gagasannya pada filos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), begitu pula dengan etika sebagai bagian dari filsafat itu sendiri. Manifestasi ide/gagasan pada ranah kenyataan yang mewujud dalam tata-aturan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, untuk kemudian distandarisasi sesuai dengan paradigma dan ideologi, cara pandang, ataupun konsensus yang berlaku (Althusser, 1984). Pun begitu, etika sendiri memiliki cara pandang yang hampir sama dengan nilai, norma, ataupun moralitas.
Pada aspek inilah, tentunya etika menjadi pembeda pula antara manusia dengan hewan, lewat fungsi makhluk sosial dan individual. Dengan demikian, hubungan manusia yang sudah berikatan inilah yang menjadi dasaran bagi terciptanya sistematika organisasi dalam birokrasi dengan keseluruhan legalitas dan legitimasi yang melingkupi. Namun, pada saat ini tantangan demi hambatan yang menghadang sistematika tersebut, mulai dari ketidakjelasan implementasi, kegamangan sistem etika/filsafat yang berawal dari disfungsi konsensus dan berakhir pada ketidakberpihakan birokrasi itu sendiri kepada masyarakat.
Dalam Media Indonesia 31 Maret 2011, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meminta birokrasi di unit-unit satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemprov DKI dan jajaran agar dipangkas dan jangan berbelit-belit. Apalagi mempermainkan masyarakat dalam setiap pelayanan pada unit-unit kerja semua SKPD Seperti yang dipaparkan oleh Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Apalagi, masih ada opini publik yang menyiratkan tentang betapa berbelit-belitnya birokrasi saat ini.
Di bidang lain, Kementrian Keuangan (Kompas, 2 Juli 2011) menyatakan
bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya sekadar mengatur absensi
pegawai di Kementerian Keuangan, melainkan dibutuhkan alat ukur
yang lebih tajam dalam memperhitungkan kinerja birokrasi saat ini.
Target kerja sebaiknya menjadi salah satu ukuran untuk mengukur
kinerja aparat Kementerian Keuangan. Namun, disisi lain identifikasi
muramnya kinerja birokrasi ditambah pula dengan tindakan korupsi
yang melingkupi mereka.
Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TII
2005-2007 menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik dan lembaga
peradilan dalam daftar teratas institusi yang paling korup (catatan
kaki Transparency International). Berdasarkan data Pusat Studi Anti
(PuKAt) Korupsi Fakultas Hukum UGM, aktor terbanyak tahun 2007
adalah Bupati/Walikota. Menurut PuKAt, hal ini menunjukan pengaruh
kuat desentralisasi terhadap peningkatan potensi dan kesempatan
korupsi (UNCAC, 2003).
Sementara itu, di satu sisi arus global mengkondisikan bagaimana
sebuah iklim keterbukaan, demokratisasi, serta transaparansiakuntabilitas
disertakan di setiap lini kepemerintahan, termasuk penyelenggaraan
organisasi kemasyarakatan, tata-aturan masyarakat, sampai
pengaturan pihak swasta. Sehingga, aspek keberpihakan pelayanan menjadi
titik sentral dalam melihat kesetaraan antara negara, pasar, dan
masyarakat. Di samping itu, keberadaan aktor negara, pasar, dan
masyarakat tidak hanya mewujud dalam relasi-interaksional pelayanan
an sich, namun melakukan sebuah usaha bersama untuk mencapai
tujuan pembangunan yang dimaksud.
Di sinilah, Pancasila menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, lewat nilai, moral, norma dan etika yang ditanamkan sebagai
bagian dari landasan filosofis serta kepribadian negara-bangsa. Dengan
begitu, ditemukan kesesuaian nilai kepribadian tersebut dengan wilayah birokrasi pada ranah Governance, sekaligus “penjaga” regulasi pada
level etika bernegara-berbangsa.
Perihal Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal yang
berarti kebiasaan. Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral
yang mana etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik
dan buruk.
Yang mana dapat disimpulkan bahwa etika adalah :
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak dan kewajiban moral;
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
- Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara terminologis, De Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu
pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Sedangkan William Lillie
mendefinisikannya sebagai the normative science of the conduct of human
being living in societies is a science which judge this conduct to be
right or wrong, to be good or bad. Sedangkan ethic, dalam bahasa
Inggris berarti system of moral principles. Istilah moral itu sendiri berasal
dari bahasa latin mos (jamak : mores), yang berarti juga kebiasaan
dan adat (Vos, 1987).
Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika
memiliki tiga posisi, yaitu sebagai :
- Sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
- Kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan
- Filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat sekaligus artikulasi kebudayaan.
Di samping itu, filsafat menganalisa tentang mengapa dan bagaimana
manusia itu hidup di dunia serta mengatur level mikrokosmos (antar
manusia/Jagad Cilik) dan makrokosmos (antar Alam dan Tuhan/Jagad
Gede). Sebagai sistem pemikiran tentunya konsep dasar filsafat digunakan dalam mengkaji etika dalam sebuah hubungan keseimbangan antara
cipta, rasa, dan karsa. Hubungan tersebut didasari landasan pemikiran
bahwasanya ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi yaitu apakah hakikat pemikiran tersebut, Epistemologi
yaitu mengapa ada pemikiran tersebut, sementara Aksiologi adalah bagaimana
cara untuk melaksanakan pemikiran tersebut.
Secara umum,
dalam khazanah pemikiran akan dibagi dalam empat bagian :
- Filsafat sebagai kajian yang mempelajari tentang hakikat pemikiran;
- Etika sebagai kajian yang mempelajari tentang bagaimana sebaiknya manusia berperilaku;
- Estetika sebagai kajian yang mempelajari tentang keteraturan antara makhluk hidup;
- Metafisika sebagai kajian yang melihat hubungan manusia dengan unsur di luar nalarnya.
Pada level aliran, etika bisa dilihat sebagai model rasionalitastindakan,
misalkan aliran teleologis atau aliran deontologis. Aliran Etika
Teleologis sendiri berasal dari Etika Aristoteles adalah etika teleologis,
yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang
tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos)
akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan
menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik
(agathos).
Dalam perkembangannya, etika ini disempurnakan kembali oleh
John Stuart Mill dan Jeremy Bentham, lewat perspektif Utilitarianisme
yang berasal dari bahasa Inggris “utility” yang berarti kegunaan, berguna,
atau guna. Dengan demikian, bahwa suatu tindakan harus ditentukan
oleh akibat-akibatnya. Dilihat dari pengertian di atas, maka ciri umum
aliran ini adalah bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilitarinisme
sebagai teori etika normatif merupakan suatu teori yang kritis,
karena menolak untuk taat terhadap norma-norma atau peraturan moral
yang berlaku begitu saja dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan
mengapa sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan.
Sementara itu, aliran deontologis melihat bahwa kerangka tindakan/perilaku
manusia dilihat sebagai kewajiban. Kata deon berasal dari
Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori
deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan
akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan
kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak
terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan
terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Hal-hal yang
lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya
disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala
ia dipakai oleh kehendak baik manusia (Ibid, 254).
Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianisme yang mengedepankan
tujuan yang ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu
perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan
atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan
legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran
ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan “kewajiban” karena
itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan (reason) tidak diperlukan
sehingga perbuatan itu dilakukan.
Franz Magnis Suseno (1992: 28) sempat memberi contoh tentang
hubungan antara etika dan norma. Dalam konteks masyarakat tradisional,
orang kelihatan dengan sendirinya menaati adat-istiadat. Sebab, mereka
telah membatinkan (menginternalisasikan) norma-normanya. Mereka
menaati norma-norma tersebut, bukan karena takut dihukum, melainkan
karena ia akan merasa bersalah apabila ia tidak mentaatinya.
Norma-norma penting dari masyarakat telah ditanam dalam batin setiap
anggota masyarakat itu sebagai norma moral.
Serupa pula dengan pendapat Van Peursen (1980: 97) yang mengatakan
bahwa etika amat berperan pada semua diskusi mengenai ilmu.
Kemungkinan menerapkan ilmu menjadi semakin mengesankan dan sering
juga makin mengerikan. Secara umum, asal-muasal etika berasal dari filsafat tentang situasi/kondisi ideal yang harus dimiliki atau dicapai
manusia. Dengan begitu, keteraturan antar kehidupan manusia bisa dimiliki
secara kolektif tanpa harus mengganggu individu masing-masing.
Disamping itu, teori etika yang ada hanyalah cara pandang atau sudut
pengambilan pendapat tentang bagaimana harusnya manusia tersebut
bertingkah laku. Meskipun pada akhirnya akan mengacu pada satu titik
yaitu kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan harmonisasi terlepas
sudut pandang mana yang akan melihat, baik dari tujuan/, teleologis,
ataupun kewajiban (deontologis).
Pancasila sebagai landasan etika
Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan
hidup, kepribadian, dan kebudayaan negara-bangsa adalah kristalisasi
nilai, standar etika, serta manifestasi norma, dalam aspek moralitas pikiran-tindakan-ucapan.
Dengan demikian, seluruh ruang kehidupan bermasyarakat-bernegara
berada dalam koridor landasan ideologis Pancasila.
Hal ini merujuk pada arti kata ideologi itu sendiri, Althusser sendiri
menekankan pula bahwa ideologi adalah relasi imajiner individuindividu
terhadap kenyataan real eksistensi mereka, yaitu ideologi sebagai
kekuatan material dalam masyarakat yang menyerap individuindividu
sebagai subjek dalam ideologi tertentu, misalnya relasi imajiner
guru-murid menghasilkan praktik material tentang cara berinteraksi antara
guru dan murid (Adian, 2005).
“Relasi imajiner” inilah yang akan membentuk sebuah kesepakatan
bersama dalam kehidupan sosial, atau konsensus bersama dalam bingkai
kesatuan ideologi ataupun karakter. Kesatuan inilah yang membentuk
ikatan antara manusia-manusia yang bermukim dalam satu wilayah tertentu
dalam bangunan kesadaran sebagai bangsa.
“Menurut Renan syarat bangsa ialah ‘kehendak akan bersatu.’
Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: ‘le desir d’etre ensemble’, yaitu kehendak akan bersatu” (Anderson dalam Susanto, 1983:
11-40).
Dalam bangsa tersebutlah, akan ditemukan ikatan yang tidak semata
dibangun lewat persamaan historis an sich, dan geo-politik, namun
mengacu kepada kesadaran sejarah, budaya, politik, dan ekonomi. Jelas,
pada level semantik tersebut akan ditemukan perbedaan dengan frasa
masyarakat atau warga-negara sekalipun (Hardiman, 2010; Suseno,
2010: 107). Dengan begitu, akan ditemukan pula bagaimana sebuah
hubungan antara manusia, lembaga, serta tata-peraturan akan
di”main”kan lewat kerangka legitimasi dan legalitas.
Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tidak lepas pula dari kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan.
Pancasila sendiri mendasarkan tata-etika pada lima prinsip negara
Indonesia yang dipaparkan dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni
1945 sebagai pedoman dalam penggalian kembali etik yang sesuai
dengan kepribadian bangsa. Disini, pertautan antara ideologi, etika, serta
standar moralitas yang bertujuan pendisiplinan masyarakat.
Kekuasaan menurut pandangan Foucault tidaklah dimiliki melainkan
bermain/dimainkan terus-menerus (Zuska, 2005: 156):
“…power is not something which can be possessed by individuals
or social groups. Rather, it must be seen as something constantly
in play. Power relations, such as those between employers
and employees, or between mothers and doctors, are always susceptible
to reversal…..Foucault does not limit the sphere of power
relations to interactions between the individuals and state apparatuses:
they extend throughout the social field, operating between
men and women, professionals and their client.” (Patton,
1987: 234).
Secara umum, keberadaan kekuasaan dan legitimasi ideologi inilah
yang memberikan “ruang-kuasa” wacana/diskursus untuk mengatur mana
yang baik dan buruk serta rumusan antropologi ke”warga”an. Dengan begitu, dimensi etika disini sangat dibutuhkan untuk menjadi landasan
bagi beroperasinya “kuasa” ideologi serta kekuasaan negara yang
mewujud dalam ISA (Ideological State Aparatus), sebagai bentukan
aktor yang menjalankan seperangkat praktik ritual-ritual, dimana praktik
tersebut selalu terdapat dalam eksistensi material, seperti lembaga pendidikan,
agama, atau institusi kebudayaan dan RSA (Represive State
Aparatus), yang dibentuk untuk membenarkan tindakan yang “diucapkan”
lewat kuasa-fisik serta kekuatan pengadilan, militer, polisi,
birokrasi, termasuk institusi negara sekalipun, hal ini mengacu pada
logika yang melekat pada negara yaitu pemaksaan.
Keberadaan Pancasila lewat seperangkat etika tak bisa melepaskan
dari konsep kebudayaan yang menurut Kluckhohn (Koentjaraningrat,
1981: 203) antara lain bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan kesenian. Pada akhirnya, penafsiran kembali etika Pancasila
sebagai seperangkat sistem kebudayaan tak bisa dilepaskan dari
frase “bangsa” sekaligus ikatan geopolitik-geohistoris, bahkan konsensus
bersama yang menghasilkan kontrak politik. Dengan demikian, sintesa
antara lima prinsip (nasionalisme, internasionalisme, demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan) dalam Pancasila
melahirkan kembali kesatuan dan kesadaran berbudaya dan berpengetahuan
lewat bingkai etika Pancasila.
Perspektif Pancasila sendiri dalam menangkap fenomena birokrasi
bisa dijelaskan dalam sebuah idiom perwakilan yang mana aspek demokratis
serta keberadaan negara diyakini sebagai konsekuensi logis dalam
perkembangan masyarakat, demikian pula terorganisasinya aparat pada
wadah bernama birokrasi. Soekarno dalam Lahirnya Pancasila, 1945
mengatakan bahwa:
“…Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia
bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita
mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua
buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…”
Secara umum, dapat ditangkap bahwa fenomena demokrasi, metode
perwakilan, model permusyawaratan pada ranah perencanaan serta
pengambilan keputusan adalah rasionalisasi dari adanya hakikat kebangsaan,
nilai kemanusiaan, serta sarana pencapaian tujuan dari negara tersebut.
Pada akhirnya, interpretasi etika sebagai sistem kebudayaan
dibangun pada adanya kenyataan/realita bahwa Indonesia dibangun atas
nilai kepribadian serta rangkaian sejarah peradaban.
Dilema profesionalitas birokrasi dan (fungsi) politik
Birokrasi secara umum sering disebut sebagai konsekuensi dari
lahirnya organisasi modern sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Telaah ilmiah yang dilakukan Evers (1987) mengelompokkan birokrasi
ke dalam tiga pola: yaitu :
- Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat;
- Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri; dan
- Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan.
Disamping itu, menurut Weber (Albrow, 1989: 33) secara rasional
birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka;
- Ada hirarki jabatan yang jelas;
- Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas;
- Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak,
- Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh melalui ujian;
- Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun;
- Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki;
- Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Birokrasi berdasarkan ciri-ciri yang telah diungkapkan Weber di atas merupakan sarana paling rasional yang digunakan dalam pencapaian tujuan untuk pelayanan terhadap masyarakat/bangsa.
Birokrasi menjadi
jembatan antara pemerintah dengan masyarakat yang dianggap mampu
menyediakan berbagai jenis pelayanan, dinilai sebagai alat administratif
yang efisien. Maka terdapat penyeragaman jenis layanan kepada masyarakat
di berbagai bidang sehingga tiadanya perbedaan (pluralitas).
Namun dari karakteristik-karakteristik birokrasi tersebut, Weber
mengakui terdapat kerancuan dasar organisasi birokratis seperti munculnya
gejala Red Typed yang menjadikan urusan birokrasi berbelit-belit,
harus sesuai dengan prosedur yang jelas dan menjadikannya tidak
fleksibel. Sebagaimana yang diungkapkan Weber (Rietzer dan Goodman,
2009: 141) bahwa: “..Tidak ada satu mesin pun di dunia ini yang berfungsi sama
persis dengan aparatus manusia, dan terlebih lagi, begitu murah.
Kalkulasi nasional, mereduksi setiap pekerja menjadi sekadar
sekrup dalam mesin birokrasi dan dia melihat dirinya dengan cara
demikian, ia sekadar bertanya tentang bagaimana mengubah dirinya
menjadi sekrup yang lebih besar, hasrat birokratisasi membawa
kita ke situasi yang putus asa…”
Birokrasi merupakan struktur rasional yang memiliki peran yang
utama dalam suatu negara dan dalam struktur-struktur tersebut terdapat
birokrat yang menjalankan segala aktivitas birokrasi17.Sistem birokrat
yang menyediakan administrasi massa yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat modern sekarang ini. Manusia dari lahir sampai meninggal
selalu berurusan dengan birokrat, dengan mengurus akta kelahiran, setelah
dewasa membuat KTP, mengurus perijinan, dan sampai pemakaman
juga bersentuhan dengan birokrat. Masalah rasionalitas inipun dianggap
sebagai rasionalisasi formal yang merujuk pada aturan, hukum, dan regulasi yeng berlaku secara universal. Sejumlah aturan tersebut mewujud
dalam institusi ekonomi, hukum, dan ilmu pengetahuan, dan dominasi
birokratis. Dengan begitu, aspek rasionalitas formal akan menyinggung
ke arah otoritas rasional-legal dan birokrasi :
“Rasionalisasi birokratis…pada prinsipnya berevolusi bersama
sarana-sarana teknis dari luar sebagaimana halnya setiap proses
reorganisasi ekonomi. Mula-mula dia mengubah tatanan material
dan sosial, dan kemudian lewat tatanan-tatanan itu dia mengubah
orang, dengan cara mengubah kondisi adaptasi, dan barangkali
peluang bagi adaptasi, melalui penentuan sarana dan tujuan secara
rasional“
Birokrat atau Aparat Negara atau lazim juga disebut pamong praja
yang berarti “korps pengembang” atau “pengemong kerajaan.” Dalam
tradisi kebudayaan Jawa, pamong berasal dari momong yang berarti menuntun
anak (dengan memegang tangannya). Denys Lombard mengatakan
bahwa landasan pokok pamong yaitu pegawai yang baik, yang selalu
harus bertindak untuk kepentingan rakyat, harus berusaha ulet,
awas/waspada, bijaksana dan berwibawa. Dalam segala keadaan ia harus
menguatkan lahir dan bathin (lihat lampiran I).
Namun di sisi lain, birokrat tidak dapat terpisah dari beberapa aspek
yang akan berpengaruh pada kinerja birokrasi tersebut. Birokrat sebagai
individu-individu memiliki kepentingan masing-masing yang menurut
Aristoteles manusia merupakan makhluk Zoon Politicon dan di satu sisi
para birokrat harus menunjukkan kinerja yang profesional dalam setiap
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Seringkali berbagai permasalahan
individu dimodifikasi dan dikemas sebagai permasalahan
publik oleh beberapa kelompok sehingga mencuat ke permukaan yang
diatasnamakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan
wong cilik, entah itu masyarakat pihak mana atau orang-orang kecil
yang mana. Kekaburan inilah yang mempengaruhi kinerja birokrasi dalam menyediakan pelayanan menjadi tidak optimal karena dilandasi oleh
kepentingan-kepentingan.
Di samping itu, kekaburan makna birokrasi di Indonesia adalah masalah
paradigma Weberian yang menilai birokrasi bisa dilaksanakan saat
masyarakat mencapai tahapan industri dan modernisasi, sehingga membawa
dampak bagi adanya perubahan struktur-sistem-lembaga dari organisasi
kemasyarakatan. Namun, kecenderungan yang terjadi di Indonesia
lebih pada aspek patrimornial20. Farchan Bulkin (1991: 56) mengatakan
bahwa di Indonesia, birokrasi yang rasional tidak muncul, maka
penyebabnya antara lain bisa dikaitkan dengan hubungan antara state
(negara) dengan society (masyarakat). Di tempat-tempat dimana middle
class bisa maju dan kuat maka negara akan bertanggung jawab terhadap
orang-orang yang tergabung dalam kelas menengah tersebut.
Pada aspek ini, Agus Suryono (t.t: 5) mencoba untuk memaparkan
konsep birokrasi profesional, manajemen strategi pelayanan publik yang
profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance
yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis
maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan
mampu menghilangkan praktek-praktek birokrasi Weberian yang negative
seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan
biaya operasional lebih mahal (high cost economy) daripada keuntungan
yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif dan kreativitas
aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya
meritokratis) dan in-efisiensi.
Pada akhirnya, hal ini merujuk pada kekaburan teori birokrasi berasal
dari perbedaan pendekatan dalam menggambarkan karakteristik birokrasi
dan kegagalan kita untuk menangkap adanya perbedaan cara
pendekatan itu. Heady (Santosa, 2008: 4) menunjukkan adanya tiga macam
pendekatan dalam merumuskan birokrasi, yaitu (1) pendekatan
struktural; (2) pendekatan behavioral; (3) pendekatan tujuan.
Saat berbincang tentang birokrasi maka yang menjadi rujukan adalah
perkembangan organisasi masyarakat modern yang mana prakondisi dari
keseluruhan sistem ekonomi, politik, budaya menjadi variabel tersendiri
dalam mempengaruhi keberlangsungan organisasi bernama birokrasi
termasuk model manajerial yang melingkupinya. Dalam aspek yang
lain, dikotomi antara profesionalitas birokrasi yang “steril” dari politik
adalah masalah tersendiri, yang beriringan dengan bangunan kultural dari
birokrasi yang masih “labil” dari budaya feodal ke budaya industri,
sebagaimana hirarki yang justru dikandung oleh mekanisme birokrasi itu
sendiri.
Dewasa ini, kecenderungan politik birokrasi tidak bisa dilepaskan
dari sistem kenegaraan yang berlangsung, kesadaran politik dari masyarakat,
ditambah konsistensi dari seluruh aktor negara-bangsa dalam
menjalankan konsensus politik bernama ideologi. Serupa dengan pendapat
Weber, tentang rasionalitas dari birokrasi yang datang beriringan
dengan efek ekonomi formal serta kepemimpinan, dalam aspek legalitas,
legitimasi yang (lagi-lagi) dimainkan oleh faktor budaya dan kristalisasi
tata-peraturan, tak terkecuali etika (Ritzer, 2009).
Indikator konkrit dari kinerja birokrasi dalam fungsi kesejahteraan
maupun fungsi pelayanan umum, bisa dilihat dari sejauh mana peningkatan
kehidupan (sosio-ekonomis) masyarakat, serta sejauh mana tingkat
pengurangan keluhan (ketidak-puasan) yang disampaikan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik haruslah diarahkan
kepada 2 (dua) sasaran tersebut, yaitu untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat sekaligus memperbaiki mutu pelayanan.
Agus Suryono (t.t:)5 menyatakan bahwa untuk menanggulangi kesan
buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan
sikap dan perilakunya antara lain :
- Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
- Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat);
- Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
- Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent) pembangunan;
- Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Selama ini, pelayanan publik tidak lepas dari hegemoni negara yang
mempengaruhi kebijakan. Peran negara berpengaruh pada kualitas kebijakan
yang berdampak pada nasib masyarakat luas. Pelayanan yang disediakan
oleh birokrasi pun dirasa masih belum memuaskan masyarakat.
Untuk itu diperlukan suatu sinergi antara pemerintah, privat sector dan
civil society guna mewujudkan tata kehidupan bernegara (governance)
yang lebih demokratis sehingga dapat tercapainya perbaikan kehidupan
masyarakat dan perbaikan mutu pelayanan.
Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintah yang mengekspresikan
kepentingan publik, yang bisa dilakukan dengan adanya partisipasi
dari masyarakat sepenuhnya dalam birokrasi pemerintah. Masyarakatlah
yang menjadi konsumen dari birokrasi itu sendiri, jadi masyarakat lebih
tahu kekurangan-kekurangan pelayanan tersebut sehingga birokrasi bisa
introspeksi dan membenahi kualitas pelayanan.
Aspek Pancasila dalam Governance
Pada akhirnya diskursus etika, birokrasi, dan idiom keberpihakan
kepada pelayanan publik akan berjalan pada paradigma baru ke’administrasi-negara’an yaitu Governance. Dalam level pembahasan
Governance, penulis coba untuk menganalisa terlebih dahulu pertautan
antara epistema dari Governance itu sendiri dalam ranah birokrasi serta
pandangan etika sebagai hasil dari produk kebudayaan manusia.
Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan
kekuasaan di dalam suatu negara termasuk :
- Proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan;
- Kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan
- Pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka.
Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi,
yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi8. Kewenangan adalah
hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun
ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang
terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan
yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena
masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya
dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi.
Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan
bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi
sumber daya (Pohan, 2000).
Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti
sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam
arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami
governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan
antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin
melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi
dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian
Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan
ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuantujuan
bersama (Eko, t.t)
Definisi Governance menurut UNDP adalah the exercise of political,
economic and administrative authority to manage a nation’s affairs at
all levels. Dengan demikan kata “governance” berarti “penggunaan”
atau “pelaksanaan” yakni penggunaan politik, ekonomi dan administrasi
untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Di
sini tekanannya pada kewenangan kekuasaan yang sah atau kekuasaan
yang memiliki legitimasi (Wasistiono, 2003)
Menurut Ganie Rochman dalam Joko Widodo (2001: 18), Governance
adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial
yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam
suatu kegiatan kolektif. Dalam pengelolaan dimaksud tidak terbatas
melibatkan pemerintah dan negara (state) saja, akan tetapi juga peran
berbagai aktor diluar pemerintah dan negara tersebut, sehingga pihakpihak
yang terlibat sangat luas.
Sementara itu, Michael Bratton dan Donald Rothchild (1992) membuat
ringkasan tentang makna governance:
- Governance adalah sebuah pendekatan konseptual yang bisa memberi kerangka bagi analisis komparatif pada level politik makro;
- Governance sangat menaruh perhatian pada pertanyaan besar tentang hakekat konstitusional yang mengabadikan aturan main politik;
- Governance mencakup intervensi kreatif oleh aktor-aktor politik pada perubahan struktural yang menghalangi pengembangan potensi manusia;
- Governance adalah sebuah konsep yang menekankan hakekat interaksi antara negara dan aktor-aktor sosial serta di antara aktor-aktor sosial sendiri;
- Governance menunjuk pada tipe khusus hubugan antara aktor-aktor politik yang menekankan aturan main bersama dan sanksi-sanksi sosial ketimbang kesewenang-wenangan (Eko, t.t.: 10).
Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai
pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk
mengelola urusan-urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses, dan
hubungan yang kompleks antarwarga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak
dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan
di antara mereka.
Secara umum, unsur-unsur yang diusung dalam Good Governance
antara lain:
- Akuntabilitas (accountability) berupa tanggung gugat dari pengurusan/penyelenggaraan, dari governance yang dilakukan. Menurut LAN akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas ada akuntabilitas politik, keuangan dan hukum;
- Transparansi (transparancy) berupa transparansi yaitu dapat diketahuinya oleh banyak pihak (yang berkepentingan mengenai perumusan kebijaksanaan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Tender pelelangan dan lain-lain dilakukan secara transaparan;
- Keterbukaan berupa pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap kritik yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik dan pemerintahan;
- Aturan Hukum (Rule of Law) berupa keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasar hukum (peraturan yang sah). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Juga dalam social economic transaction.Conflict Resolution berdasar hukum termasuk arbitrase. Institusi hukum yang bebas, dan kinerjanya yang terhormat (an independent judiciary). Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik sebagai infrastuktur good governance;
- Ada yang yang menambahkan jaminan fairnes, a level playing field (perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan).
Adamolekun dan Briyant menambahkan dalam
unsur-unsur good governance, management competency dan human
rights (Hardjasoemantri, 2003).
Governance berorientasi pada proses jadi fokusnya adalah untuk
menghasilkan apa yang bisa meningkatkan efisiensi dan memuaskan konsumen daripada perihal sumberdaya untuk agensi publik. Dengan
demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan seputar pemahaman
proses yang dari situ kebijakan publik diciptakan, dijalankan, dan
dikelola. Tujuannya adalah mengenali aktor dan perannya dalam proses
tersebut, dan menjelaskan bagaimana perilaku dan keterkaitannya membentuk
penyediaan pelayanan publik.
World Bank mengemukakan karakteristik Good Governance sebagai
masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan
yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggungjawab,
birokrasi yang profesional, dan aturan hukum yang jelas (Pratikno,
2005). Dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang semakin kritis dalam
menyikapi persoalan Governance terutama untuk mewujudkan
Good Governance maka perlu diadakan proses optimalisasi kinerja dari
instansi pemerintah. Karena kini publik tidak hanya memposisikan
dirinya sebagai pihak luar tetapi justru menjadi rekanan bahkan menjadi
pihak yang seharusnya dilayani. Untuk itulah mulai saat ini harus terus
ditingkatkan kualitas pelayanan publik yang semakin prima.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik
mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi
pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan
akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan
kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan
aktor-aktor tersebut -apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan
kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang
lain.
Sehingga konsep ini tidak jauh berbeda upaya menetralisir patologi
birokrasi memang direncanakan dalam beberapa agenda Good Governance
yang memiliki pertautan dengan Reinventing Government, antara
lain sebagai berikut :
- Mengembangkan kompetisi antar penyedia pelayanan;
- Memberdayakan masyarakat dalam mengontrol birokrasi;
- Berorientasi pada outcomes (bukan input) dalam mengukur kinerja;
- Dikendalikan oleh misi, bukan oleh regulasi dan kewenangan;
- Mendefinisikan klien sebagai pelanggan dan memberikan pilihan kepada merek;
- Mencegah masalah;
- Memperoleh uang/pendapatan, bukan semata membelanjakan;
- Mendesentralisasikan otoritas dan mengembangan manajemen Partisipatif;
- Memprioritaskan mekanisme pasar;
- Mengkatalisasi semua sektor, bukan semata menyediakan pelayanan (Pratikno, 2005: 231-248).
Selain itu ruang ruang terbuka untuk publik masih minim dan berpihak
pada yang memegang kuasa, hal ini jelas jelas bertolak belakang
dengan ajaran dari Pancasila sendiri, khususnya etika Pancasila. Untuk
kembali dari keterpurukan dan kecarutmarutan dalam governance yang
di dalamnya tidak membela pada masyarakat sebagai pihak yang dilayani
maka seyogyanya kita kembali kepada Pancasila sebagai Falsafah dan
Ideologi Bangsa. Pancasila (adalah) sebagai ruh dan ideologi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini masih sangat relevan
dan dibutuhkan untuk membangun bangsa yang bermartabat dan
punya harga diri di mata dunia. Bangsa ini akan mengalami kesulitan
besar kalau ideologi Pancasila ditinggalkan (Abdulgani, 1960).
Pancasila sudah dibakukan di dalam UUD Negara, sebagai dasar falsafah
negara Republik Indonesia. Dengan begitu, menjadi masalah serius
bagaimana Pancasila diinterpretasi, bagaimana pelaksanaannya dalam
kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya bangsa. Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang plural ini maka Pancasila lah yang mampu menjawab
tantangan dan hambatan yang menghadang di tengah
keterpurukan ekonomi, konflik sara yang terjadi. Pancasila adalah falsafah,
dasar negara, ideologi terbuka yang menjadi sumber pencerahan,
sumber inspirasi, dan sumber solusi atas masalah-masalah yang hendak
kita pecahkan.
Jika dilihat secara politik, Pancasila sudah tidak disarankan tetapi diharuskan
diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan, karena Pancasila sebagai ideologi nasional yang
membina persatuan bangsa dan nilai-nilainya digali oleh orang Indonesia
dari sejarah kebangsaan Indonesia masa lampau namun masih relevan
sampai sekarang. Pancasila perlu diterapkan sebagai nilai-nilai,
prinsip-prinsip, dan etika untuk melandasi dan mengawal perubahan
politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik
menuju model desentralistik.
Pancasila sebagai penyemangat persatuan dan nasionalisme bangsa
yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga
negara, lembaga masyarakat, dan warga negaranya, selain itu sebagai tolok
ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Pancasila juga sebagi referensi dasar bagi sistem dan proses
pemerintahan, yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugastugas
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta sebagai rujukan untuk kebijakan
politik, pemerintahan, hukum, dan HANKAM.
Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah
yang berhakikat (1) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan,
keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan; (2) kebijakan
politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi,
kontrol publik, pemilu berkala, serta (3) supremasi hukum. Begitu juga
standar demokrasinya yang (1) bermekanisme ‘checks and balances’,
transparan, dan akuntabel; (2) berpihak kepada ‘social welfare’, serta
yang (3) meredam konflik dan utuhnya NKRI (Hanafiah, 2006).
Penutup :
Menimbang kembali titik kesetaraan Negara, Pasar, dan
Masyarakat
Dalam konstelasi politik yang ada sekarang, siapa yang memegang
kendali kebijakan publik, termasuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang
strategis, tentu akan berpulang jawabnnya pada siapakah pemimpin
birokrasinya dan siapakah penguasa politiknya. Saat ini birokrasi masih
dikuasai oleh orang-orang berpola pikir lama yang masih
mengedepankan pragmatisme-nya, dan partai-partai yang berkuasapun
masih tidak jauh beda kondisinya. Institusi-institusi dan orang-orang
inilah yang akan sangat menentukan segala arah kebijakan publik di Indonesia,
apalagi jika mereka mempunyai jaringan bisnis yang cukup
kuat dan berkemampuan untuk memegang kendali di semua sektor dan
lapisan masyarakat.
Proses kebijakan publik yang secara umum dilakukan dalam rangka
memecahkan persoalan-persoalan tidak akan bisa dilepaskan dari institusi
pemerintah. Pemerintah di sini berperan sebagai penanggung jawab
dalam pengimplementasian sebuah kebijakan. Dalam tugasnya sebagai
eksekutor sebuah kebijakan, peran kewibawaan pemerintah di mata
masyarakat menjadi sangat penting, oleh karena itulah maka pemerintah
haruslah selalu membangun kesan positif bahwa mereka sangat memperhatikan
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya, kebijakan dilakukan pemerintah seyogyanya selalu
bersifat problem solving bagi masyarakat. Namun, pada kenyataan
birokrasi di Indonesia masih terdapat mengalami masalah dengan banyaknya
patologi atau penyakit birokrasi itu sendiri.
Beberapa kenyataan
patologi birokrasi yang sering terjadi hubungannya dengan kebijakan
publik adalah:
Pertama, penyalahgunaan Wewenang dan Jabatan. Kenyataan ini sering
kali diawali tidak adanya kesadaran yang dimiliki elite birokrat
bahwa kekuasaan yang mereka duduki haruslah diabdikan pada kepen tingan umum, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok Hal
ini sangat mengkhawatirkan karena jika sebuah kebijakan yang sudah
ditetapkan harus diimplementasikan dengan hanya berorientasi pada
kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan umum. Kenyataan
lain kondisi birokrasi saat ini yaitu yang cenderung ingin mempertahankan
status-quo.
Kedua, pengaburan permasalahan. Kelompok elite pejabat pemerintahan
tidak jarang yang sering melakukan tindakan mengaburkan sifat
dan bentuk dari suatu permasalahan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan.
Kenyataan ini tidak lepas dari dekatnya hubungan antara birokrasi
dengan policy makers. Dimana utamanya adalah hubungan kesamaan
kepentingan antara pembuat kebijakan itu dengan kelompok birokrasi.
Sehingga dengan pengaburan masalah itu, yang diharapkan adalah
kepentingan keduanya (birokrasi dan policy makers) tetap terjaga.
Ketiga, kecenderungan mempertahankan status-quo. Upaya untuk
menghentikan terjadinya politisasi birokrasi dalam bentuk berbagai
patologi birokrasi yang selam ini terjadi ternyata tidak mudah. Berbagai
upaya telah dilakukan. Diantaranya mengeluarkan kebijakan otonomi
daerah di era reformasi ini, namun tetap saja politisasi birokrasi masih
terjadi, selain itu juga muncul politisasi birokrasi dengan varian yang baru
Serupa dengan hal tersebut, perlu usaha bersama untuk membudaya-kan
kembali Etika Pancasila dalam ranah kenegaraan dan kebangsaan,
bisa dilakukan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia pada
pedoman Pembukaan UUD 1945 :
“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Dengan demikian, kristalisasi kebudayaan dalam nilai etika dengan
sendirinya akan membentuk bangun-rupa bagaimana birokrasi sebagai
aparat negara dan tata-kelola negara-bangsa ke depan, pada bingkai ideologi
sebagai pandangan hidup dalam kesetaraan negara, masyarakat,
dan pasar.
Daftar Pustaka
Abdulgani, Roeslan. Sosialisme Indonesia.1960. Malang: Jajasan Perguruan
Tinggi Malang.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Anderson, Benedict. 1983. dalam Irzanti Susanto. tanpa tahun. Imagined Community.
New York: Verso.
Althusser, Louis. 1984. Essay on Ideology. Terjemahan oleh Olsy Vinoli Arnov.
Yogyakarta: Jalasutra.
Bertens, K 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bulkin, Farchan. 1991. “Perubahan Struktur
Belum Selesai dalam Dialog Prisma
dalam “Ekonomi dan Otonomi: Keniscayaan Zaman.” No.8 Tahun XX,
Agustus 1991.
Convention Against Corruption (UNCAC). 2003. in Indonesian Law By: Indonesia
Corruption Watch (ICW). Anti-corruption Public Forum of UNCAC 24-26
January 2008 and 2nd Confrence of State Party (CoSP) Nusa Dua-Bali, 28 January-1
February 2008 in Antikorupsi.org
Simselok Pancasila yang diselenggarakan oleh kerjasama
Unpad, Lemhannas RI, dan Pemprov Jabar bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya
pada tanggal 20 Mei 2006 di Kampus STISIP Tasikmalaya.
Hardiman, Budi F (Eds). 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demoratis”
dari Polis dampai Cyberspace. Jakarta: Kanisius.
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Good Governance dan Pembangunan Berkelanjutan
di Indonesia.” Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke
VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
Ismani. 2001. “Etika Birokrasi.” Jurnal Adminitrasi Negara, Vol. II, No. 1, 31-
41.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kompas. 2 Juli 2011. “Reformasi Birokrasi Tak Sekadar Urusan Absensi.”
Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation
Kompas. 2 Juli 2011. “Reformasi Birokrasi Tak Sekadar Urusan Absensi.”
Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation
Vos, H De. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris. Jakarta: Balai Pustaka
Media Indonesia, 31 Maret 2011. “Fauzi Bowo Minta Pangkas Birokrasi Berbelit-Belit”.
Pohan, Max H 2000. “Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik dalam
Era Otonomi Daerah.” Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Disampaikan pada
Musyawarah Besar Pembangunan Musi Banyuasin ketiga, Sekayu, 29
September-1 Oktober.
Pratikno. 2005. “Good governance dan governability.” Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Vol. 8, No. 3, 231‐248.
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius.
Peursen, Van. CA 1980. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat
Ilmu. Gramedia: Jakarta.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Bandung: Fokusmedia.
Weber, Marx. 2009. dalam Ritzer, George. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi
Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post-Modern. Yogyakarta:
Kanisius.
Lampiran. Gambar Landasan Pokok Pamong
Gambaran ini terdapat pada awal tahun 70-an di kamar tamu seorang
camat di jawa Timur.Landasan Pokok Pamong dipaparkan dengan
gambar. Pegawai yang baik, yang selalu harus bertindak untuk
kepentingan rakyat harus berusaha ulet, awas/waspada, bijaksana,dan
ber-wibawa.
- Berinisiatif;
- Bermusyawarah,
- Bertanggung jawab.
Akhirnya, ia harus pandai bersikap yakin dan ikhlas, cepat dan
lincah, jika ia ingin sekaligus mengabdi dan beramal.





0 comments:
Posting Komentar