Ilmu hukum merupakan salah satu disiplin ilmu tertua di dunia,
jauh sebelum ilmu lain, seperti teknik, ekonomi, psikologi, sosiologi dan
lainnya. Di dalam perkembangannya dalam ribuan tahun tersebut dapat
diperkirakan bahwa struktur pengkajiannya juga telah mencapai tingkat
kemapanannya. Perpengkajian hukum tersebut sudah barang tentu tidak
terlepas dari kajian tentang hukum itu sendiri. Fenomena Hukum yang dihadapi masa kini rasanya sudah jauh berbeda dengan fenomena
yang dihadapi ribuan tahun yang lalu. Suatu fenomena yang
lebih mencerminkan karakteristik hukum modern. Perkembangan
substansi, hakikat dan fenomena hukum sejak bertahun-tahun lalu hingga
kini, tentunya mau tidak mau akan mempengaruhi pola-pola
pendekatan kajian yang diterapkan dalam memahami substansi,
hakikat dan fenomena hukum dalam kehidupan masyarakat.
Pendekatan yang sudah mulai diterapkan dalam pengkajian
hukum (metode normatif/doktriner) dalam perkembangannya akan
memperoleh "partner baru" semakin berkembangnya
kebutuhan pemahaman baru terhadap konsep hukum dari
kacamata sosial. Pendekatan normatif preskriptif yang terarah untuk
meningkatkan profesionalisme dalam bidang hukum dalam
perkembangannya harus pula memberi tempat untuk ikut
berperansertanya dalam penelaahan kajian-kajian hukum bagi partner
barunya itu pendekatan nondoktrinal atau pendekatan sosiologis terhadap
hukum.
Berkaitan dengan kapan dan pendekatan doktrinal dan nondoktrinal
itu seyogyanya diterapkan dalam kajian-kajian hukum, dapat kiranya
dikemukakan perbincangan tentang paradi
gma ilmu hukum berikut ini.
Berbicara tentang paradigma ilmu hukum rasanya tidak dapat
dilepaskan dengan pembicaraan tentang apa yang dimaksudkan
dengan paradigma dalam keilmuan itu. Untuk itu perlu
kiranyadikemukakan pembicaraan tentang paradigma yang dikenal dalam
dunia ilmu pengetahuan (dunia sains). Di dalam dunia sains dikenal
adanya tiga paradigma yaitu (a) paradigma Thomas Kuhn, (b)
paradigma Weltanchaung dan (c) paradigma Robert Merton.
Paradigma Kuhr, Thomas Kuhn di dalam karya pikirnya
menekankan revolusi sains dan penggabungan peran
pengetahuan keilmuan sosial ke dalam filsafat Kuhn
mengembangkan pertimbangan-pertimbangan keilmuan yang
diyakininya lebih melekat dengan sejarah sains daripada
pandangan kaum positif falsifikasi. Kuhn dalam karyanya
menggunakan istilah paradigma. Paradigma menurut Kuhn
adalah keseluruhan konstelasi asumsi teoritis umum, hukum, dan
prinsip-prinsip metafisis yang membimbing para ilmuwan dalam
bekerja dan berkomunitas di dalam masyarakat ilmiahnya.
Dalam perkembangan karena kerancuan pengertian paradigma, ia
menggantikannya dengan istilah matriks disipliner dan eksemplar.
Disipliner mencakup pemilikan umum daripada para praktisi disiplin
profesional, matriks terdiri dari urutan-urutan unsur berbagai jenis
masing-masing menuntut spesifikasi lebih jauh. Tiga unsur utama
dari matriks adalah simbol-simbol, generalisasi, model-model
dan eksemplar. Simbol merupakan pernyataan-pernyataan yang
sudah lama secara formal atau diformalkan.
Model hanya disinggung sambil lalu. Eksemplar merupakan pemecahan masalah
konkrit yang telah diterima oleh kelompok sebagai sesuatu yang bersifat
paradigmatik. Karya pikir Kuhn selanjutnya berhubungan dengan
terjadinya perubahan di dalam pengetahuan keilmuan melalui revolusi,
episode-episode perkembangan nonkumulatif di mana paradigma lama diganti
baik secara keseluruhan ataupun sebagian oleh paradigma baru. Di
samping cara itu, perubahan-perubahan pengetahuan keilmuan dapat
terjadi secara normal, di mana anggota masyarakat ilmiah menyaring dan
memperhalus paradigma yang sudah ada . Dari uraian di atas, terlihat
bahwa paradigma Kuhn merupakan kerangka keyakinan atau komitmen
intelektual yang terbatas pada kegiatan para ilmuwan dalam bidang ilmuiimu
tertentu yang sifatnya tak terartikulasikan dan metafisis.
Paradigma Welstanchaung, tahun 1929. Mashab Wina (Vienna
Circles) mempublikasikan makalah pernyataan sikap yang disebut
Keilmuan Pandangan Dunia. Mashab Wina atau "Wissenchaftliche
Welstanchaung : De Wienna Kreis". Dengan berkecamuknya Perang
Dunia II, para tokoh mashab ini tercerai berai karena tekanan
pemerintah Nazi waktu itu, ada yang meninggal, ada pula yang
berimigrasi ke berbagai belahan dunia, diantaranya ke Amerika
Serikat. Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika positivisme,
satu pandangan yang melihat pengetahuan keilmuan sebagai sesuatu
yang bersifat induktif, verifikasi yang didasarkan pada pengalaman,
(pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek dari sains. Dalam
perkembangannya, logika posivisme karena pengaruh pemikiran
pragmatis Amerika, berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan
bahwa obyektivitas sains dapat dilakukan dengan proses berpikir
aksiomatis. Proses yang bermula dari basil pengamatan yang dikaitkan
dengan pemahaman teori (yang sudah diterima sebagai postulat)
menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify
propotions). Pandangan yang sudah diterima (recived view) melahirkan
pengertian teori sebagai “a deductivel
y connected collectionof laws".
Proses aksiomatis secara singkat melibatkan di dalamnya (a) term-term
logika dan matematis (b) term-term teoritik dan (c) term-term observasi8
.
Secara singkat paradigma Mashab Wina dapat disimpulkan (a)
pengetahuan keilmuan bermula dari pengamatan (b) penerapan logika
induktif (c) meyakini variabilitas (d) melahirkan garis pembatas antara
pernyataan penuh makna dan nir makna dan (e) penolakan pemikiran
filsafati.
Paradigma Merton, Robert K. Merton dikenai sebagai seorang
pengikut aliran fungsional strukturalis dalam sosiologi. Hasil karya Merton
yang menonjol adalah modifikasi pendekatan fungsional dalam mempelajari
pedlaku sosial ma nusia melalui penyusunan "middle range theory". Upaya
yang diwujudkan melalui paradigma fungsional itu diarahkan untuk
menyusun spesifikasi dan pengelaborasian konsep-konsep yang relevan,
serta mendorong diadakannya revisi dan reformulasi sistematik yang
didasarkan temuan-temuan empirik. Fungsionalisme bagi Merton adalah
strategi penataan konsep dan pensortiran proses sosial yang bermanfaat
dari sejumlah proses sosial yang nirmanfaat. Paradigma Merton di susun
melalui sikap, kritisnya terhadap tiga postulat yang lazimnya diterima aliran
fungsional, yaitu :
a. Postulat kesatuan fungsional
b. Postulat universal
item-item kemasyarakatan
c. Postulat kemanfaatan item-item
fungsional bagi sistem sosial.
Merton dalam kaitan dengan postulat yang
pertama, menekankan perlunya diperhatikan secara empiri
keanekaragaman tipe, bentuk, tingkatan dan lingkungan integrasi sosial
dan keanekaragaman pengaruh item-item yang ada dalam segmen
tertentu dari sistem sosial. Dalam kaitan dengan postulat kedua, Merton
menyetujui sifat universal fungsional item-item sosial itu, hanya saja perlu
dilakukan pengujian secara empiri, sangat mungkin ditemukan item-item
sosial yang fungsional dan yang disfungsional serta yang berfungsi
"manifest" mau pun yang "latent" bagi sistem sosial bersangkutan.
Kesemuanya itu selanjutnya dianalisis, mana yang berfungsi positif atau
negatif, dan mana yang berfungsi manifest maupun yang latent bagi
perorangan, subkelompok atau bagi struktur sosial dan budaya yang
menonjol. Catatan terhadap postulat ke tiga, ia menekan Van
perlunya dilakukan analisis fungsional terhadap berbagai tipe "functional
alternative", "functional equivalent" dan "functional substitute" dengan
tetap menjaga jarak, sehingga terjaga obyektivitasnya Secara singkat
paradigma fungsional menurut Merton berupa klarifikasi dan
pengarahan kernbali analisis fungsional terhadap unsur-unsur
kemasyarakatan dan budayanya dalam suatu sistem sosial
melalui kajian-kajian empiri. Itu berarti bahwa ciri-ciri paradigma
Merton adalah bersifat skeptis, kommunal dan universal serta
tetap menjaga jarak dengan obyeknya. Ciri-ciri ini tidak lain
identik dengan yang dikenal sebagai Kode Etik Profesi Keilmuan.
Paradigma ilmu Hukum, perkembangan ilmu hukum tidak
terlepas dari pemikiran ahli pikir filsafati hukum pada satu pihak
dan kondisi kemasyarakatan pada lain pihak. Perkembangan
pemikiran (kalau boleh dikatakan paradigma ilmu hukum), secara
berurutan bermula dari pemikiran tentang Hukum Alam yang tera
rah pada pencarian keadilan absolut, pencarian hukum ideal
melampaui hukum positif. Pemikiran ini kemudian berkembang kearah
pemikiran analitis positivisme (rechtsdogmatiek). Cirinya bersifat
"transcendental idealism" merupakan emberiyo lahirnya "modern
analytical Wrisprudence".Perkembangan selanjutnya terarah
pada pemikiran hukum umum yang terfokus pads pembicaraan
tentang sistemaasi hukum, penafsiran hukum oleh piranti-piranti
hukum (legal professions). Baru kemudian terkristalisasikan
dengan pemikiran tentang Teori Hukum, yang dicirikan pada
upaya pemahaman dan penjelasan, ilmu pengetahuan hukum
dengan pendekatan interdisipliner.
Dari uraian kronologis perkembangan pemikiran di bidang
ilmu hukum itu, sedikit banyak dapat diambil kesimpulan bahwa
perkembangan pemikiran itu terjadi dan terutama dimotori oleh
para ahli pikir bidang hukum dalam menghadapi berbagai
kondisi sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain, "paradigma
ilmu hukum" itupun adalah hasil dari konstelasi kerangka
keyakinan dan komitmen para ahli hukum terhadap ilmu hukum.
Perkembangan Iimu hukum tidak terjadi secara terputus-putus
apalagi secara revolusi, melainkan berkesinambungan,
sehingga pemikiran tentang hukum "lama" itu masih berperan
dan diikuti kelompok komunal hukum tertentu. Hingga kini
masih banyak penganut hukum alam, transcendental-idealism,
rechtsdogmatiek dan ada pula yang rechtstheorie. Dengan demikian lalu
menjadi penting keberadaan metode berpikir deduktif dan induktif. Ciri lain
terletak pada meta teoritiknya, sebagai ilmu yang bertujuan untuk
memanusiakan manusia, menuntut adanya keyakinan dan komitmen para
insan hukum (legal science community) untuk mengedepankan etika
moral dan estetika yang bersumber dari Sang Khalik.




0 comments:
Posting Komentar