Pengertian Pradigma Ilmu Hukum

Kamis, 24 Maret 2016

Ilmu hukum merupakan salah satu disiplin ilmu tertua di dunia, jauh sebelum ilmu lain, seperti teknik, ekonomi, psikologi, sosiologi dan lainnya. Di dalam perkembangannya dalam ribuan tahun tersebut dapat diperkirakan bahwa struktur pengkajiannya juga telah mencapai tingkat kemapanannya. Perpengkajian hukum tersebut sudah barang tentu tidak terlepas dari kajian tentang hukum itu sendiri. Fenomena Hukum yang dihadapi masa kini rasanya sudah jauh berbeda dengan fenomena yang dihadapi ribuan tahun yang lalu. Suatu fenomena yang lebih mencerminkan karakteristik hukum modern. Perkembangan substansi, hakikat dan fenomena hukum sejak bertahun-tahun lalu hingga kini, tentunya mau tidak mau akan mempengaruhi pola-pola pendekatan kajian yang diterapkan dalam memahami substansi, hakikat dan fenomena hukum dalam kehidupan masyarakat. 

Pendekatan yang sudah mulai diterapkan dalam pengkajian hukum (metode normatif/doktriner) dalam perkembangannya akan memperoleh "partner baru" semakin berkembangnya kebutuhan pemahaman baru terhadap konsep hukum dari kacamata sosial. Pendekatan normatif preskriptif yang terarah untuk meningkatkan profesionalisme dalam bidang hukum dalam perkembangannya harus pula memberi tempat untuk ikut berperansertanya dalam penelaahan kajian-kajian hukum bagi partner barunya itu pendekatan nondoktrinal atau pendekatan sosiologis terhadap hukum. 

Berkaitan dengan kapan dan pendekatan doktrinal dan nondoktrinal itu seyogyanya diterapkan dalam kajian-kajian hukum, dapat kiranya dikemukakan perbincangan tentang paradi gma ilmu hukum berikut ini. Berbicara tentang paradigma ilmu hukum rasanya tidak dapat dilepaskan dengan pembicaraan tentang apa yang dimaksudkan dengan paradigma dalam keilmuan itu. Untuk itu perlu kiranyadikemukakan pembicaraan tentang paradigma yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan (dunia sains). Di dalam dunia sains dikenal adanya tiga paradigma yaitu (a) paradigma Thomas Kuhn, (b) paradigma Weltanchaung dan (c) paradigma Robert Merton. 

Paradigma Kuhr, Thomas Kuhn di dalam karya pikirnya menekankan revolusi sains dan penggabungan peran pengetahuan keilmuan sosial ke dalam filsafat Kuhn mengembangkan pertimbangan-pertimbangan keilmuan yang diyakininya lebih melekat dengan sejarah sains daripada pandangan kaum positif falsifikasi. Kuhn dalam karyanya menggunakan istilah paradigma. Paradigma menurut Kuhn adalah keseluruhan konstelasi asumsi teoritis umum, hukum, dan prinsip-prinsip metafisis yang membimbing para ilmuwan dalam bekerja dan berkomunitas di dalam masyarakat ilmiahnya. Dalam perkembangan karena kerancuan pengertian paradigma, ia menggantikannya dengan istilah matriks disipliner dan eksemplar. Disipliner mencakup pemilikan umum daripada para praktisi disiplin profesional, matriks terdiri dari urutan-urutan unsur berbagai jenis masing-masing menuntut spesifikasi lebih jauh. Tiga unsur utama dari matriks adalah simbol-simbol, generalisasi, model-model dan eksemplar. Simbol merupakan pernyataan-pernyataan yang sudah lama secara formal atau diformalkan. 

Model hanya disinggung sambil lalu. Eksemplar merupakan pemecahan masalah konkrit yang telah diterima oleh kelompok sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatik. Karya pikir Kuhn selanjutnya berhubungan dengan terjadinya perubahan di dalam pengetahuan keilmuan melalui revolusi, episode-episode perkembangan nonkumulatif di mana paradigma lama diganti baik secara keseluruhan ataupun sebagian oleh paradigma baru. Di samping cara itu, perubahan-perubahan pengetahuan keilmuan dapat terjadi secara normal, di mana anggota masyarakat ilmiah menyaring dan memperhalus paradigma yang sudah ada . Dari uraian di atas, terlihat bahwa paradigma Kuhn merupakan kerangka keyakinan atau komitmen intelektual yang terbatas pada kegiatan para ilmuwan dalam bidang ilmuiimu tertentu yang sifatnya tak terartikulasikan dan metafisis. 

Paradigma Welstanchaung, tahun 1929. Mashab Wina (Vienna Circles) mempublikasikan makalah pernyataan sikap yang disebut Keilmuan Pandangan Dunia. Mashab Wina atau "Wissenchaftliche Welstanchaung : De Wienna Kreis". Dengan berkecamuknya Perang Dunia II, para tokoh mashab ini tercerai berai karena tekanan pemerintah Nazi waktu itu, ada yang meninggal, ada pula yang berimigrasi ke berbagai belahan dunia, diantaranya ke Amerika Serikat. Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika positivisme, satu pandangan yang melihat pengetahuan keilmuan sebagai sesuatu yang bersifat induktif, verifikasi yang didasarkan pada pengalaman, (pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek dari sains. Dalam perkembangannya, logika posivisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sains dapat dilakukan dengan proses berpikir aksiomatis. Proses yang bermula dari basil pengamatan yang dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah diterima sebagai postulat) menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions). Pandangan yang sudah diterima (recived view) melahirkan pengertian teori sebagai “a deductivel y connected collectionof laws". Proses aksiomatis secara singkat melibatkan di dalamnya (a) term-term logika dan matematis (b) term-term teoritik dan (c) term-term observasi8 . Secara singkat paradigma Mashab Wina dapat disimpulkan (a) pengetahuan keilmuan bermula dari pengamatan (b) penerapan logika induktif (c) meyakini variabilitas (d) melahirkan garis pembatas antara pernyataan penuh makna dan nir makna dan (e) penolakan pemikiran filsafati.

Paradigma Merton, Robert K. Merton dikenai sebagai seorang pengikut aliran fungsional strukturalis dalam sosiologi. Hasil karya Merton yang menonjol adalah modifikasi pendekatan fungsional dalam mempelajari pedlaku sosial ma nusia melalui penyusunan "middle range theory". Upaya yang diwujudkan melalui paradigma fungsional itu diarahkan untuk menyusun spesifikasi dan pengelaborasian konsep-konsep yang relevan, serta mendorong diadakannya revisi dan reformulasi sistematik yang didasarkan temuan-temuan empirik. Fungsionalisme bagi Merton adalah strategi penataan konsep dan pensortiran proses sosial yang bermanfaat dari sejumlah proses sosial yang nirmanfaat. Paradigma Merton di susun melalui sikap, kritisnya terhadap tiga postulat yang lazimnya diterima aliran fungsional, yaitu :

a. Postulat kesatuan fungsional 
b. Postulat universal item-item kemasyarakatan
c. Postulat kemanfaatan item-item fungsional bagi sistem sosial. 

Merton dalam kaitan dengan postulat yang pertama, menekankan perlunya diperhatikan secara empiri keanekaragaman tipe, bentuk, tingkatan dan lingkungan integrasi sosial dan keanekaragaman pengaruh item-item yang ada dalam segmen tertentu dari sistem sosial. Dalam kaitan dengan postulat kedua, Merton menyetujui sifat universal fungsional item-item sosial itu, hanya saja perlu dilakukan pengujian secara empiri, sangat mungkin ditemukan item-item sosial yang fungsional dan yang disfungsional serta yang berfungsi "manifest" mau pun yang "latent" bagi sistem sosial bersangkutan. Kesemuanya itu selanjutnya dianalisis, mana yang berfungsi positif atau negatif, dan mana yang berfungsi manifest maupun yang latent bagi perorangan, subkelompok atau bagi struktur sosial dan budaya yang menonjol. Catatan terhadap postulat ke tiga, ia menekan Van perlunya dilakukan analisis fungsional terhadap berbagai tipe "functional alternative", "functional equivalent" dan "functional substitute" dengan tetap menjaga jarak, sehingga terjaga obyektivitasnya Secara singkat paradigma fungsional menurut Merton berupa klarifikasi dan pengarahan kernbali analisis fungsional terhadap unsur-unsur kemasyarakatan dan budayanya dalam suatu sistem sosial melalui kajian-kajian empiri. Itu berarti bahwa ciri-ciri paradigma Merton adalah bersifat skeptis, kommunal dan universal serta tetap menjaga jarak dengan obyeknya. Ciri-ciri ini tidak lain identik dengan yang dikenal sebagai Kode Etik Profesi Keilmuan. 

Paradigma ilmu Hukum, perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari pemikiran ahli pikir filsafati hukum pada satu pihak dan kondisi kemasyarakatan pada lain pihak. Perkembangan pemikiran (kalau boleh dikatakan paradigma ilmu hukum), secara berurutan bermula dari pemikiran tentang Hukum Alam yang tera rah pada pencarian keadilan absolut, pencarian hukum ideal

melampaui hukum positif. Pemikiran ini kemudian berkembang kearah pemikiran analitis positivisme (rechtsdogmatiek). Cirinya bersifat "transcendental idealism" merupakan emberiyo lahirnya "modern analytical Wrisprudence".Perkembangan selanjutnya terarah pada pemikiran hukum umum yang terfokus pads pembicaraan tentang sistemaasi hukum, penafsiran hukum oleh piranti-piranti hukum (legal professions). Baru kemudian terkristalisasikan dengan pemikiran tentang Teori Hukum, yang dicirikan pada upaya pemahaman dan penjelasan, ilmu pengetahuan hukum dengan pendekatan interdisipliner. 

Dari uraian kronologis perkembangan pemikiran di bidang ilmu hukum itu, sedikit banyak dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan pemikiran itu terjadi dan terutama dimotori oleh para ahli pikir bidang hukum dalam menghadapi berbagai kondisi sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain, "paradigma ilmu hukum" itupun adalah hasil dari konstelasi kerangka keyakinan dan komitmen para ahli hukum terhadap ilmu hukum. Perkembangan Iimu hukum tidak terjadi secara terputus-putus apalagi secara revolusi, melainkan berkesinambungan, sehingga pemikiran tentang hukum "lama" itu masih berperan dan diikuti kelompok komunal hukum tertentu. Hingga kini masih banyak penganut hukum alam, transcendental-idealism, rechtsdogmatiek dan ada pula yang rechtstheorie. Dengan demikian lalu menjadi penting keberadaan metode berpikir deduktif dan induktif. Ciri lain terletak pada meta teoritiknya, sebagai ilmu yang bertujuan untuk memanusiakan manusia, menuntut adanya keyakinan dan komitmen para insan hukum (legal science community) untuk mengedepankan etika moral dan estetika yang bersumber dari Sang Khalik. 



Maret 24, 2016

0 comments:

Posting Komentar