Merancang kebijakan energi yang mendukung pertumbuhan ekonomi

Sabtu, 26 September 2015







Saatnya melakukan perubahan ke arah yang berani 
Zamroni Salim, Phd, Pusat Studi Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Perekonomian Indonesia telah berkinerja secara relatif baik selama lima tahun terakhir, dan telah menikmati pertumbuhan yang stabil sekitar 6%. Angka tersebut mengesankan khususnya apabila dilihat dalam konteks ekonomi dunia yang masih sulit, dan hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Namun demikian, apakah angka ini telah mencerminkan tingkat pertumbuhan yang layak? Dengan memperhatikan situasi makroekonomi Indonesia saat ini (yaitu tingkat inflasi yang terkendali, tingkat pengangguran yang rendah dan nilai tukar yang cukup menguntungkan), sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat dipercepat dan dibuat lebih

Defisit Anggaran dan Transaksi Berjalan 
Kesehatan ekonomi di sektor riil maupun perbankan adalah prasyarat dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Sektor riil adalah sektor di mana berbagai kebijakan fiskal, moneter dan perbankan saling bertemu. Bersama dengan kebijakan makroekonomi luas, sektor riil juga memerlukan suatu kebijakan sektoral yang jelas. Suatu kebijakan energi yang mampu mendukung sektor riil secara produktif adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Di Indonesia, hal ini tidak hanya terkait dengan subsidi bahan bakar dan biayanya, namun juga bagaimana mengalokasikan sumber daya energi dengan cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumen domestik. 

Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak. Saat ini, Indonesia telah menjadi importir minyak. Namun demikian, Indonesia masih terjebak dalam siklus di mana minyak mendominasi ekonomi di berbagai dimensi. Hal ini terlihat jelas dari peran yang dimainkan oleh minyak (yaitu harga minyak mentah, produksi minyak dan gas Indonesia) sebagai penentu utama dalam perumusan APBN. Kebijakan energi memiliki dampak langsung bagi makro-ekonomi di Indonesia, termasuk aspek-aspek seperti inflasi, tingkat upah, lapangan kerja, neraca perdagangan, dan APBN. Inflasi khususnya amat dipengaruhi oleh reformasi subsidi bahan bakar, yaitu kenaikan harga bahan bakar akan mengakibatkan kenaikan harga umum dalam waktu relatif singkat. 

Dana anggaran yang dialokasikan untuk subsidi bahan bakar setiap tahunnya didasarkan pada volume bahan bakar yang diperkirakan pemerintah akan dikonsumsi oleh masyarakat. Namun anggaran selalu melampaui sasaran. Dalam praktiknya, jumlah yang dikonsumsi selalu lebih besar daripada volume yang diprediksi. Pada tahun 2013, misalnya, volume subsidi bahan bakar dan biofuel awalnya ditetapkan pada 46,01 juta kiloliter, sementara volume LPG tabung 3kg pada 3,86 juta metrik ton. Volume untuk bahan bakar dan biofuel kemudian direvisi menjadi 48 juta kiloliter, sementara volume untuk LPG silinder 3kg direvisi menjadi 4,39 juta metrik ton (Nota Fiskal dan RAPBN tahun 2014, hal. 4-103).

Data alokasi anggaran juga menunjukkan bahwa subsidi saat ini terfokus pada konsumsi, dan kecenderungan ini semakin menguat dari waktu ke waktu. Subsidi yang dutujukan untuk konsumsi (sebagian besar untuk bahan bakar dan listrik) membentuk 77,8 persen dari total alokasi subsidi pada tahun 2007, dan pada tahun 2013, jumlah ini meningkat hingga 86,1 persen. Subsidi yang difokuskan terhadap kegiatan yang lebih produktif (seperti pupuk, bibit, program kredit, dsb.) hanya sebesar 22,2 persen dari total alokasi tahun 2007 (Kunci Statistik APBN tahun 2005- 2010, hal.12), dan pada tahun 2013 jumlah ini menurun hingga 13,9 persen (Nota Fiskal dan RAPBN tahun 2013, hal.11). Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana keuangan negara menghadapi subsidi yang tidak dirancang secara matang ini?

Selama lima tahun terakhir, telah terjadi kecenderungan peningkatan defisit anggaran secara drastis, dari Rp4,1 triliun (0,08 persen PDB) pada tahun 2008 menjadi 224,2 triliun (2,38 persen GDP) pada tahun 2013 (Nota Fiskal dan RAPBN 2014, hal.2). Diperkirakan bahwa defisit akan mencapai 154,2 triliun pada tahun 2014, atau 1,49 persen dari PDB (Nota Fiskal dan RAPBN 2014, hal.2). Subisdi bahan bakar serigkali dianggap sebagai sumber defisit APBN. Oleh karenanya, jelas bahwa defisit anggaran Indonesia hanya dapat dikurangi dengan meningkatkan pendapatan Indonesia atau dengan mengurangi sejumlah belanja anggaran yang tidak efisien.

Selain defisit anggaran, ekonomi nasional dalam dua tahun terakhir terus dibayangi oleh defisit neraca berjalan rata-rata sebesar 3 persen dari PDB. Pada Q4 tahun 2013, defisit transaksi berjalan adalah sekitar US$4 miliar (1,98 persen PDB) (Bank Indonesia, 2014). Ukuran defisit ini terutama disebabkan oleh tingginya tingkat impor minyak dan gas yang mencapai US$45,27 miliar pada tahun 2013. Pada tahun 2014, defisit transaksi berjalan diprediksi akan mencapai 2,5 persen dari PDB (Kementrian Keuangan, 2014). Di antara penyebab utama dari hal tersebut adalah tingginya tingkat impor, khususnya bahan bakar, dan menurunnya secara drastis permintaan komoditas ekspor prioritas Indonesia.

Pada faktanya, subsidi bahan bakar tidak akan menyebabkan masalah jika didistribusikan secara efektif kepada penerima yang berhak, yaitu kaum miskin. Jika subsidi bahan bakar benar-benar hanya diberikan kepada kaum miskin, maka konsumsi berlebih dan implikasinya akan dapat dihindarkan. Sementara terkait defisit anggaran dan transaksi berjalan, keduanya dapat dikurangi atau diatasi jika pemerintah serius menerapkan kebijakan energi yang tidak hanya mendasarkan pada konsumsi energi yang berlebih, namun juga melalui pengembangan dan peluncuran energi aternatif. 

Masalah Pengelolaan Energi di Indonesia
Bagaimana kebijakan energi di Indonesia diimplementasikan? Pemerintah biasanya menggunakan kebijakan energi untuk mengendalikan permintaan energi, alih-alih pasokan energi. Misalnya, pemerintah mencoba untuk membatasi konsumsi bahan bakar dari kaum kaya, dan mendistribusikan kupon bahan bakar kepada kaum miskin. Kebijakan seperti ini akan semakin menghadapi kesulitan karena konsumen kaya dan miskin telah terbiasa dengan energi bersubsidi. Di masa lalu, perubahan seperti ini, khususnya reformasi subsidi, telah memicu berbagai tanggapan dengan penuh kemarahan, termasuk protes dan kerusuhan. 

Fakta atau kekhawatiran lainnya adalah subsidi di Indonesia sebagian besar disediakan untuk konsumsi, bukan diperuntukkan untuk kegiatan berorientasi produksi. Tidak seperti negara-negara maju yang cenderung memberikan subsidi dan bantuan lainnya kepada sisi produksi (seperti petani dan sektor pertanian), subsidi Indonesia memberikan dukungan berorientasi konsumsi, seperti subsidi bahan bakar, program kesejahteraan sosial seperti Raskin, BLT, dan lain sebagainya.

Di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, Pertamina telah menjadi pemain kedua di negeri sendiri baik untuk minyak maupun gas. Di tingkat hulu, Pertamina tidak dapat memperluas produksi yang mana disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk tidak akuratnya data eksplorasi dan investasi maupun dukungan regulasi yang tidak memadai. Di tingkat hilir, kurangnya pembangunan infrastruktur energi telah menimbulkan situasi di mana output produk minyak cenderung mandek (stagnant) atau bahkan menurun dari tahun ke tahun, dan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada impor.

Sejauh ini, pemerintah telah berfokus untuk meningkatkan ekspor minyak dan gas mentah dan mengimpor produk minyak dan gas olahan. Sementara itu, produksi listrik seringkali terhambat oleh kesulitan dalam pemasokan batu bara dan gas ke pembangkit listrik. Bahkan dengan kebijakan Kewajiban Pasar Domestik (Domestic Market Obligation/DMO) berdasarkan UU No.22/2001, yang mewajibkan perusahaan migas mengarahkan 25% produksi mereka untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, dapat dikatakan kuota itu sendiri masih jauh di bawah yang diperlukan untuk mencapai permintaan energi. Terkait hal ini, Indonesia belum cukup memprioritaskan pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT/NRE).

Energi Baru dan Terbarukan (EBT/NRE) Bagaimanapun, 
Indonesia masih memiliki banyak peluang untuk memenuhi setidaknya sebagian dari kebutuhan energinya dengan teknologi energi baru dan terbarukan. 

Sebenarnya sudah ada suatu fondasi legislatif yang kuat untuk kebijakan energi di wilayah ini, dalam bentuk sejumlah ketentuan untuk memperluas penggunaan energi terbarukan, termasuk regulasi turunan dan suatu peta jalan (roadmap) kebijakan energi untuk diversifikasi energi, termasuk penggunaan energi terbarukan. Saat ini Indonesia juga telah memiliki roadmap untuk bauran energi masa depan kita, yaitu Visi 25/25. Kerbijakan energi Indonesia dirangkum dalam UU No.30/2007 tentang Energi, serta peraturan-peraturan lain terkait listrik dan panas bumi (geothermal), termasuk Peraturan Presiden No.5/2006 dan peraturan turunan lainnya. Peraturan Presiden yang disebut di atas menyatakan bahwa Indonesia menargetkan 17% energi baru dan terbarukan dalam bauran energi utamanya pada tahun 2025, yang terdiri dari bauran antara biofuel, biomassa, nuklir, hidro, matahari, angin, geothermal, dan batu bara cair.

Indonesia juga memiliki sumber daya energi alternatif yang berlimpah yang dapat dikembangkan, seperti energi matahari, biomassa, hydropower, geothermal, biodiesel, dan bioethanol. 

Gambar 10: Visi 25/25 – Target Bauran Energi Termodifikasi Pada Tahun 2025


Sumber: (Kementrian ESDM, 2011)

Namun lebih banyak hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan ambisi dan potensi Indonesia. Target yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden No.5/2006, dan kemudian dalam Visi 25/25, sebenarnya menunjukkan bahwa kebijakan energi Indonesia masih amat bergantung pada bahan bakar fosil tak terbarukan. Belum ada langkah nyata yang diambil pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan pencapaian target-target tersebut walaupun telah dimandatkan dalam UU Energi. Insentif pemerintah untuk pihak-pihak yang bergelut dalam bisnis dan konsumen masih jauh dari mencukupi. Dua bentuk dukungan untuk industri yang disebutkan dalam UU Energi, yakni pendanaan untuk penelitian dan pengembangan dan kewajiban untuk menggunakan sumber daya manusia dan teknologi lokal bilamana tersedia, masih belum cukup untuk mencapai potensi dari ekonomi industri.

Penutup Kebijakan energi di Indonesia masih belum berada di jalur yang seharusnya, dan banyak reformasi yang masih terhenti dalam tahap diskusi. Kebijakan energi harus diarahkan untuk merealokasi dan merestrukturisasi subsidi bahan bakar untuk sektor-sektor produktif sehingga defisit anggaran dapat dihindarkan dan transaksi berjalan dapat kembali mencapai surplus. Selain itu, kebijakan energi juga harus diarahkan untuk menciptakan energi baru dan terbarukan pada skala ekonomi, dalam rangka memenuhi kebutuhan energi domestik dengan harga yang terjangkau. Dukungan nyata termasuk berbagai insentif produksi harus diberikan untuk sektor industri energi baru dan terbarukan. Masih tidak adanya kemauan politik dan dukungan nyata pemerintah dalam menangani isu-isu energi di Indonesia akan menyebabkan meningkatnya defisit APBN dan transaksi berjalan. Di sisi lain, jika kebijakan energi diimplementasikan secara benar, Indonesia dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang jauh lebih tinggi.



September 26, 2015

0 comments:

Posting Komentar