Minggu, 13 September 2015

PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI PADA KURIKULUM 2013

 I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setelah diberlakukan kurikulum 2013 (secara terbatas dan bertahap) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, penulis mendapat kesempatan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan serta sosialisasi implementasi kurikulum 2013 kepada guru-guru Pendidikan Agama Katolik di beberapa propinsi dan kabupaten di Indonesia. Pada pertemuan dengan para guru-guru tersebut, nampak bahwa guru-guru mengalami banyak kesulitan dalam hal pengelolaan pembelajaran dan penilaian, selain sarana pembelajaran yang dirasakan sangat minim sehingga menghambat kegiatan pembelajaran di kelas.

Berkaitan dengan pengelolaan pembelajaran, guru-guru masih cenderung menjadi pusat pembelajaran, atau sumber belajar sementara para peserta didik menjadi objek pembelajaran. Dengan perkataan lain, selama kegiatan pembelajaran, guru aktif melakukan indoktrinasi dengan metode ceramah, dan para peserta didik duduk manis sebagai pendengar. Dengan demikian yang terjadi di kelas-kelas adalah kegiatan belajar guru aktif dan bukan kegiatan belajar peserta didik aktif. Belajar aktif (active learning) yang konsepnya adalah aktivitas pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mengalami kendala karena banyak guru kurang menguasai metodelogi dan media pembelajaran. Faktor lain yang turut menghambat kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran adalah kurang maksimalnya fungsi pengawas sebagai supervisor yang bertugas mensupervisi kinerja guru, mengevaluasi kemudian memperbaikinya sehingga guru semakin berkompeten.

Berkaitan dengan desain penilaian pembelajaran, guru-guru pendidikan agama katolik mengakui bahwa selama ini titik berat penilaian mereka pada ranah kognitif (pengetahuan), sementara ranah sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan. Menurut sharing para guru, sejatinya mereka berkeinginan untuk membuat penilaian sikap dan keterampilan namun mereka belum memiliki instrumen penilaian pada kedua ranah tersebut. Kelemahan para guru-guru di lapangan bukan semata karena mereka tidak mau belajar, tetapi karena mereka sangat jarang, bahkan ada yang mengakui belum pernah mendapat kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan profesionalitas mereka sebagai guru yang profesional.

B. Permasalahan
  1. Guru-guru Pendidikan Agama Katolik masih kurang menguasai metode-metode pembelajaran yang mendorong terciptanya aktivitas belajar aktif para peserta didik.
  2. Guru-guru pendidikan Agama Katolik masih kurang menguasai sistem penilaian pembelajaran, khususnya pada penilaian sikap dan keterampilan.
  3. Guru-guru Pendidikan Agama Katolik masih kurang mendapat pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalitas sebagai guru yang profesional.

C. Tujuan Pengembangan
  1. Guru-guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kemampuan profesonal dalam mengelolah pembelajaran dengan berbagai metode yang dapat mendorong terciptanya aktivitas belajar aktif para peserta didik.
  2. Guru-guru pendidikan Agama Katolik memahami sistem penilaian pembelajaran, khususnya pada penilaian sikap dan keterampilan para peserta didik.
  3. Guru-guru Pendidikan Agama Katolik meningkatkan profesionalitasnya dengan belajar mandiri, belajar lanjut (on going formation), serta mendapat kesempatan atau peluang untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan, sebagaimana yang dialami oleh banyak guru matapelajaran lainnya.

II. KAJIAN LITERATUR


A. Belajar dan Pembelajaran, apakah itu?

1. Pengertian Belajar

Menurut Winkel, belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman. Menurut Ernest R.Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.

Pengertian Belajar menurut Robert M. Gagne dalam bukunya The Conditions of Learning(1977), belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah. Belajar juga diartikan sebagai “A natural process that leads to changes in what we know, what we can do, and how we bahave” (p.1). Belajar juga dipandang sebagai proses alami yang dapat membawa perubahan pada pengetahuan, tindakan dan perilaku seseorang. Sedangkan menurut Robert Heinich dalam Beny A. Pribadi (2009), belajar diartikan sebagai “...development of new knowledge, skills or attitudes as individual interact with learning resources” (p.6). Belajar merupakan sebuah proses pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang terjadi manakala seseorang melakukan interaksi secara intensif dengan sumber-sumber belajar. Meyer (1882) dalam Smith dan Ragan (1993, p.2) mengemukakan pengertian belajar sebagai “....perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan dan perilaku seseorang yang diakibakan oleh pengalaman.”. Pengalaman yang sengaja didesain untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang akan menyebabkan berlangsungnya proses belajar. Crow & crow dalam buku Educational Psycology (1958) menyatakan "Learnig is acquisition of habits, knowledge, and attitude", belajar adalah memeproleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Belajar dalam pandangan mereka menunjuk adanya perubahan yang progresif dari tingkah laku. Pengertian ini menyangkut pada proses yang mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Any change in any object or organism, particularly a behavioral or psychological change. (proses adalah suatu perubahan yang progresif menyangkut tingkah laku atau kejiwaan).

Dari beberapa pengertian belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan semua aktivitas mental atau psikis yang dilakukan oleh seseorang sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku yang berbeda antara sesudah belajar dan sebelum belajar. Dengan perkataan lain belajar merupakan sebuah proses perubahan didalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman keterampilan, daya pikir dan kemampuan-kemampuan yang lain.

2. Pengertian Pembelajaran

Gagne (1985) mendefinisikan istilah pembelajaran sebagai “a set of events embedded in purposeful activities that facilitate learning” (p.1). Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Definisi lain tentang pembelajaran dikemukakan oleh Patricia L. Smith dan Tilman J. Ragan (1993) yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah pengembangan dan penyampaian informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan yang spesifik (p.12). Walter Dick dan Lou Carey (2005, p.205) mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampai secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa media. Proses pembelajaran mempunyai tujuan agar Peserta didik dapat mencapai kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. Proses merancang aktivita pembelajaran disebut dengan istilah desain sistem pembelajaran.

Dalam mempelajari desain sistem pembelajaran, konsep-konsep tentang pembelajaran sangat penting untuk diketahui. Pembelajaran seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah sebuah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Aktivitas pembelajaran akan memudahkan terjadinya proses belajar apabila mampu mendukung peristiwa internal yang terkait dengan pemrosesan informasi. Gagne (1985) mengemukakan konsep events of instruction yang terkait dengan pemrosesan informasi yang dapat mengarahkan kepada terjadinya proses belajar yang efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, maka para guru perlu memahami dan secara kreatif menggunakan berbagai bentuk ragam model, metode, keterampilan, serta strategi pembelajaran.

B. Penilaian

Daryanto dalam bukunya tentang Evaluasi Pendidikan (2010), dan Ngalim Purwanto dalam bukunya tentang Evaluasi Pengajaran (2002) menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian penilaian, prinsip-prinsip penilaian, acuan penilaian, ranah, bentuk serta alat penilaian sebagai berikut.

1. Pengertian

Penilaian adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk pemberian nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya sehingga guru memperoleh gambaran/profil kemampuan peserta didik sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai peserta didik sebagaimana telah ditetapkan dalam Kurikulum.

Tujuan penilaian adalah memberikan gambaran tentang posisi peserta didik dalam alur proses pembelajaran, menyangkut: apa yang telah dikuasainya dan apa yang masih harus diupayakan untuk dikuasainya. Pegangan penilaian adalah indikator dan hasil penilaian (kekuatan dan kelemahan peserta didik) digunakan guru untuk melakukan perbaikan terhadap proses belajar mengajar secara keseluruhan.

2. Prinsip Umum Penilaian
  • Keabsyahan: relevan terhadap kompetensi yang diukurnya.
  • Handal: jumlah bukti penilaian perlu memadai.
  • Obyektif: penilaian dipengaruhi oleh pilihan tugas atau oleh penilai.
  • Terintegrasi ke dalam proses belajar mengajar: penilaian tidak hanya dilakukan pada akhir proses belajar mengajar, tetapi sepanjang proses belajar mengajar.
  • Bervariasi dalam gaya dan metodenya: penilaian akan menarik dan menumbuhkan motivasi bila memakai metode yang bervariasi.
  • Adil bagi semua peserta didik: peserta didik harus diberitahu tentang kriterium penilaian.
  • Penilaian dipergunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar: Peserta didik harus mengetahui hasil penilaian, agar bisa memperbaiki proses belajar mengajarnya.
  • Peserta didik menilai diri dan teman: peserta didik diberi kesempatan untuk menilai teman-temannya dan diri sendiri.
  • Cocok bagi apa yang dinilainya: kriteria dan alat penilaian harus cocok dengan yang dinilai.
3. Acuan Penilaian

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil belajar, yaitu penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment).

Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi.

Dalam Pendidikan Agama Katolik, pendekatan penilaian yang digunakan adalah Penilaian Acuan Kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik

4. Ranah Yang Dinilai

Penilaian yang digunakan meliputi ranah ranah afektif, kognitif dan ranah psikomotorik.
  • Ranah Afektif/ Sikap Kompetensi afektif: kemampuan memberi respon, apresiasi, penilaian, dan internalisasi. Sikap/minat peserta didik terhadap mata pelajaran: kemampuan memiliki minat, motivasi, ketekunan belajar, dan sikap positif terhadap mata pelajaran.
  • Ranah Kognitif/PengetahuanKompetensi dalam ranah kognitif meliputi kemampuan menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
  • Ranah Psikomotorik/Keterampilan
Ranah ini meliputi tingkatan gerakan awal (kemampuan menggerakkan sebagian anggota badan, e.g. tangan), semi rutin (kemampuan menggerakkan seluruh anggota badan), gerakan rutin (kemampuan menggerakkan seluruh anggota badan secara sempurna, bahkan sampai taraf otomatis).

5. Bentuk dan Alat Penilaian

a. Bentuk Penilaian
  1. Kuis: Digunakan untuk menanyakan hal-hal yang prinsip dari pelajaran yang lalu secara singkat, dan dilaksanakan sebelum pelajaran.
  2. Pertanyaan lisan: Digunakan untuk mengetahui penguasaan peserta didik tentang konsep, prinsip dan teori.
  3. Ulangan harian; Digunakan untuk mengetahui penguasaan pemahaman, sampai evaluasi, atau untuk mengetahui penguasaan pemakaian alat atau proaedur tertentu.
  4. Tugas individu: Digunakan untuk mengetahui kemampuan aplikasi sampai evaluasi, atau untuk mengetahui penguasaan hasil latihan dalam menggunakan alat atau prosedur tertentu.
  5. Tugas kelompok: Digunakan untuk mengetahui kemampuan kerja kelompok dalam memecahkan suatu masalah.
  6. Ulangan semesteran: Digunakan untuk menilai ketuntasan penguasaan komptensi pada akhir program semester.
  7. Ulangan kenaikan: Digunakan untuk menilai ketuntasan penguasan kompetensi dalam satu tahun ajaran..
  8. Laporan kerja praktek/praktikum: Digunakan untuk pelajaran yang mengharuskan praktek, seperti kimia, biologi, bahasa.
  9. Responsi atau ujian praktek: Digunakan untuk mengetahui penguasaan aspek kognitif maupun psikomotorik untuk mata pelajaran yang memiliki praktikum.
b. Alat Penilaian

1) Penilaian Tertulis

Diadakan pada kurun waktu tertentu dan kondisi yang terbatas.
  • Test Obyektif (contoh; pilihan benar/salah, pilihan ganda, isian singkat) dsb. Alat penilaian yang menilai kemampuan berpikir rendah: sebatas mengingat.
  • Test Subyektif (contoh, pengerjaan soal, latihan, esai, dsb). Alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasan atau hal-hal yang sudah dipelajari dengan cara mengemukakan dan mengekspresikan gagasan tersebut dengan kata-kata sendiri.

2) Penilaian lisan; Dilaksanakan secara lisan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan kepada peserta didik.

3) Penilaian unjuk kerja (performance); Penilaian yang dilaksanakan pada waktu peserta didik melakukan kegiatan, baik secara informal

4) Penilaian produk; Penilaian terhadap hasil kerja. Biasanya dilakukan terhadap mata pelajaran kesenian dan kerajinan.

5) Penilaian Portofolio; Portofolio adalah kumpulan hasil kerja atau karya seorang peserta didik dalam kurun waktu tertentu yang telah dipilih dan disusun secara sistematis untuk mengetahui perkembangan kemajuan belajar peserta didik dalam mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tentang penilaian di atas maka diasumsikan bahwa guru sebagai tenaga pendidikan profesional memiliki kompetensi dalam mengelola penilaian dalam rangka menguji kompetensi peserta didik setelah proses pembelajaran. Karena itu guru harus sungguh memahami bahwa kurikulum memerlukan pola penilaian pendidikan yang variatif, untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

III. KAJIAN TEMUAN

A. Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik

Berdasarkan evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Katolik (KBK 2004/ KTSP 2006) yang telah dilaksanakan bersama wakil-wakil Guru Agama Katolik seluruh Indonesia, yang diselenggarakan oleh Komisi Kateketik KWI bekerjasama dengan Bimas Katolik Kemenag RI, pada tahun 2010 dan 2011, di beberapa tempat secara regional (Indonesia Barat – Tengah – Timur) diperoleh beberapa temuan sebagai bahan kajian, selain temuan yang diperoleh penulis selama mensosialiskan Kurikulum 2013 di beberapa propinsi. Adapun temuan lapangan tersebut antara lain sebagai berikut:
  • Ada materi pembelajaran yang dirasakan tidak sesuai dengan tingkat/ kelas peserta didik sehingga peserta didik sulit untuk memahami materi tersebut. Dalam kondisi seperti ini, guru kurang mampu mengolah kembali materi tersebut sesuai kondisi peserta didiknya. Guru terkesan hanya membacakan isi buku pelajaran dan bukan mengajar dengan bahasanya sendiri.
  • Metode pembelajaran yang dipergunakan oleh guru, masih banyak yang monoton (cenderung menggunakan metode ceramah), sehingga tidak tercapai tujuan dari pembelajaran itu sendiri.
  • Sarana pembelajaran kurang mendukung untuk tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah. Dalam kondisi seperti itu, guru kurang kreatif untuk mencari solusinya, dan hanya bersikap pasrah, minimalis.
  • Masih banyaknya guru yang tidak kompeten dalam bidang Pendidikan Agama Katolik (pedagogik) sehingga proses pembelajaran tidak dapat terlaksana seperti apa yang diamanatkan oleh kurikulum.
  • Dibeberapa wilayah Indonesia, guru-guru masih mempergunakan kurikulum lama (kurikulum 1994) karena keterbatasan informasi yang membuat mereka tidak dapat mengakses perubahan dengan cepat.
1. Penilaian Pendidikan Agama Katolik

Sebagaimana temuan lapangan tentang kegiatan pembelajaran dalam kegiatan evaluasi tersebut di atas, demikian pula dengan kegiatan penilaian Pendidikan Agama katolik. Adapun temuan lapangan menyangkut desain penilaian Pendidikan Agama katolik oleh guru pendidikan agama Katolik, antara lain sebagai berikut:
  • Penilaian lebih bersifat kognitif. Artinya bahwa dalam penilaian, atau uji kompetensi peserta didik, guru lebih banyak memberikan penilaian pada ranah pengetahuan, dan kurang memperhatikan penilaian pada ranah sikap dan keterampilan.
  • Penggunaan bentuk dan lebih-lebih pada alat-alat penilaian berkisar pada tes tertulis dan tes lisan. Sementara alat-alat penilain yang lain seperti; penilaian unjuk kerja (performance), penilaian produk (unjuk karya) dan penilaian Portofolio, kurang diperhatikan.

IV. PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

Setelah memahami makna belajar dan pembelajaran yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan, serta temuan atas fakta di lapangan menyangkut praktik belajar dan pembelajaran pendidikan agama Katolik, maka di sini akan dkemukakan gagasan tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik, khususnya pada pelaksanaan kurikulum 2013 ini. Ada beberapa aspek pokok pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti yang perlu dipahami para guru, Kepala Sekolah, dan para pengawas pendidikan agama Katolik yaitu; prinsip pembelajaran, pola pembelajaran, metode pembelajaran, strategi pembelajaran dan model pembelajaran.

1. Prinsip Pembelajaran

Ada beberapa prinsip pembelajaran yang yang dikembangkan dalam pendidikan agama Katolik dan budi pekerti, antara lain: penguasaan pengetahuan yang dikembangkan dengan menggunakan berbagai sumber belajar melalui prinsip pendekatan ilmiah, terpadu serta berbasis kompetensi. Prinsip yang dikembangkan dalam pembelajaran sikap dicapai melalui keteladanan guru dan pengembangan kultur sekolah, sehingga pembelajaran sikap tidak bersifat verbalis. Sedangkan pengembangan keterampilan, prinsip yang dikembangkan berorientasi pada kemampuan mencipta. Kerangka pembelajaran yang dikembangkan berpijak pada tiga unsur, pengalaman, Kitab Suci / Tradisi serta refleksi pengalaman iman.

2. Pola Pembelajaran

Pembelajaran adalah sebuah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Pada kurikukulum sebelumnya (KBK-2004) pola pembelajaran pendidikan agama Katolik telah dirancang dalam pola belajar-aktiv. Pola ini memungkinkan peserta didik untuk aktif. Kalau peserta didik menjadi partisipan, maka diandaikan dalam proses pembelajaran ada interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru. Interaksi yang terjadi adalah interaksi terarah, sehingga diandaikan ada suatu proses yang berkesinambungan. Interaksi yang berkesinambungan bertujuan untuk menginterpretasi­kan dan mengaplikasikan ajaran iman dalam hidup nyata, sehingga ia menjadi semakin beriman. Pola yang dipakai pada Kurikulum Pendidikan Agama Katolik 2004 disebut juga pola interaksi (komunikasi) aktif. Dengan pola ini para peserta didik dibimbing untuk menginterpretasikan dan mengapli­kasikan ajaran imannya dalam hidup nyata. Dapat pula disebut pola eks­plo­ratif atau inquiry/discovery method. Pola ini kemudian dijabarkan dalam berbagai metode yang memungkinkan para peserta didik sungguh-sungguh berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Komisi Kateketik KWI, 2006)

Metode Pembelajaran
Kurikulum 2013 menekankan metode saintifik guna mengembangkan kompetensi yang diharapkan. Dalam konteks Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti penemuan pengetahuan, pengembangan sikap iman dan pengayaan penghayatan iman diproses melalui tindakan merefleksikan pengalaman hidup dalam terang Kitab Suci dan Tradisi. Walaupun demikian guru tetap dapat memanfaatkan berbagai macam pendekatan yang selama ini dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik, yakni pendekatan berbasis pengalaman (pergumulan), pendekatan naratif-eksperiensial, dan pendekatan pedagogi reflektif.

a. Metode Pergumulan

Komisi Kateketik KWI pada lokakarya di Malino tahun 1981 mengusulkan metode pergumulan sebagai pola pembelajaran pendidikan Agama Katolik di sekolah. Pendekatan ini berorientasi pada pengetahuan yang tidak lepas dari pengalaman, yakni pengetahuan yang menyentuh pengalaman hidup peserta didik. Pengetahuan diproses melalui refleksi pengalaman hidup, selanjutnya diinternalisasikan dalam diri peserta didik sehingga menjadi karakter. Pengetahuan iman tidak akan mengembangkan diri seseorang kalau ia tidak mengambil keputusan terhadap pengetahuan tersebut. Proses pengambilan keputusan itulah yang menjadi tahapan kritis sekaligus sentral dalam pembelajaran agama.

Tahapan proses metode pergumulan adalah sebagai berikut:
  1. Menampilkan fakta dan pengalaman manusiawi yang membuka pemikiran atau yang dapat menjadi umpan
  2. Menggumuli fakta dan pengalaman manusiawi secara mendalam dan meluas dalam terang Kitab Suci
  3. Merumuskan nilai-nilai baru yang ditemukan dalam proses refleksi sehingga terdorong untuk menerapkan dan mengintegrasikan dalam hidup
b. Metode Naratif-Eksperiensial

Yesus Kristus adalah seorang narator sejati. Dalam pengajaran-Nya seringkali menggunakan cerita. Cerita-cerita itu menyentuh dan mengubah hidup banyak orang secara bebas. Metode bercerita yang digunakan Yesus dalam pengajaranNya dikembangkan sebagai salah satu pendekatan dalam Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti yang dikenal dengan pendekatan naratif-eksperiensial. Dalam metode Naratif-eksperiensial biasanya dimulai dengan menampilkan cerita (cerita-cerita yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan kesaksian) yang dapat menggugah sekaligus menilai pengalaman hidup peserta didik

Tahapan dalam proses pendekatan naratif eksperiensial adalah sebagai berikut:
  1. Menampilkan cerita pengalaman/ cerita kehidupan/cerita rakyat
  2. Mendalami cerita pengalaman/cerita kehidupan/cerita rakyat
  3. Membaca Kitab Suci/Tradisi
  4. Menggali dan merefleksikan pesan Kitab Suci / Tradisi
  5. Menghubungkan cerita pengalaman/cerita /kehidupan/cerita rakyat dengan cerita Kitab Suci/Tradisi sehingga bisa menemukan kehendak Allah yang perlu diwujudkan dalam hidup sehari-hari.
c. Metode Dialog – Partisipatif

Metode ini mendorong siswa-siswi untuk kreatif, kritis, mandiri, dan terampil berkomunikasi. Metode dialog partisipatif dapat dijabarkan/dikonkretkan dalam kegiat­an-kegiatan seperti: diskusi kelompok dan pleno; sharing pengalaman dan sharing pengalaman iman; wawancara; dramatisasi dan dinamika kelompok.

d. Metode Reflektif

Pendekatan reflektif ialah suatu pembelajaran yang mengutamakan aktivitas peserta didik untuk menemukan dan memaknai pengalamannya sendiri. Pendekatan ini meliputi tiga unsur utama, sebagai satu kesatuan dalam proses pembelajaran, yaitu: pengalaman, refleksi dan aksi.

Pengalaman: Pengalaman yang melatarbelakangi baik secara faktual maupun aktual dari peserta didik. Pengalaman yang akan direfleksi ini digali dari peserta didik dengan menampilkan kisah kepada mereka yang bisa diambil dari koran, majalah atau berita media massa, kisah nyata, pengalaman peserta didik dan guru atau dari cerita rakyat. Refleksi: Kegiatan untuk menemukan makna lebih, nilai, kesadaran, semangat serta sikap baru. Aksi: Perwujudan atas gerakan/dorongan batin yang tumbuh sebagai buah dari proses refleksi, tindak lanjut dari proses pembelajaran yang perlu diarahkan dan dipantau, baik berupa aksi batiniah maupun lahiriah.

e. Metode Analisis Sosial (ANSOS)

Metode ANSOS dilakukan melalui kegiatan melihat, mengamati keadaan sosial dalam lingkup masyarakat yang dekat dan mudah dikenali oleh para peserta didik. Peserta didik diajak untuk mempelajari keadaan, unsur-unsur yang menyebabkan keadaan sosial itu terjadi. Setelah keadaan sosial itu dikaji dan dikaitkan dengan Kitab Suci/Ajaran Sosial Gereja (ASG), kemudian peserta didik diajak untuk merancang kegiatan positif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sosial tersebut.

Proses Pembelajaran agama Katolik menggunakan metode ANSOS yaitu dengan langkah-langkah SOTARAE (Situasi-Obyektif- Tema–Analisis -Rangkuman–Aksi–Evaluasi) yaitu:
  1. S (=situasi): pada tahap awal ini peserta didik dihadapkan pada situasi (keprihatinan) yang dapat diambil dari majalah/koran/tayangan TV/cerita kehidupan/cerita rakyat. Tahap ini dimaksudkan untuk membangkitkan perasaan peserta didik. Oleh karena itu pertanyaan kepada peserta didik difokuskan pada perasaan.
  2. O (=Obyektif): tahap selanjutnya adalah mengajak peserta didik untuk memahami masalah (isi cerita) secara obyektif, tanpa diberi penilaian kualitatif (baik, jelek, jujur, dsb). Pertanyaan pembantu berkisar pada: jalan cerita, tokoh-tokoh. Tujuan yang hendak dicapai adalah peserta didik diajak untuk mengerti isi cerita.
  3. T (=Tema): pada tahap ini peserta didik diberi kesempatan untuk mencoba memikirkan pokok-pokok atau hal-hal penting yang dapat ditarik dari sebuah cerita. Peserta diharapkan menemukan pokok- pokok pesan dan berusaha memilih tema atau pokok yang akan dijadikan prioritas atau diutamakan untuk dibahas bersama di kelas.
  4. A (=Analisis). Pada tahap analisis peserta didik berusaha menemukan latar belakang, sebab-akibat terjadinya cerita; mencermati tokoh yang diuntungkan atau dirugikan. Peserta didik diajak untuk melihat lingkungan sekitarnya adakah kesesuaian dengan cerita tersebut. Dalam tahap ini guru atau fasilitator dituntut terampil dalam mengajukan pertanyaan dengan baik dan tepat sehingga cerita menarik dan aktual. Dalam analisis tersebut ditampilkan kutipan Kitab Suci dan atau Ajaran Gereja dan didalami maksudnya. Guru atau fasilitator perlu mempunyai penguasaan Kitab Suci yang memadai agar dapat memilih teks yang sesuai dengan tema yang dipelajari.
  5. R (=Rangkuman): pada tahap ini fasilitator mengajak peserta didik untuk memperjelas analisis yang telah ditemukan bersama dan bagaimana analisis tersebut dikonfrontir dengan ajaran iman kristiani.
  6. A (=Aksi): Akibat dari mempertemukan hasil temuan dalam ANSOS yang sudah dirumuskna menjadi tema dan visi Kristiani, timbul rencana untuk melakukan aksi nyata (entah pribadi atau kelompok). Dalam kegiatan ini perlu tersedia waktu yang cukup. Perencanaan yang dibuat tetap berpegang pada prinsip: bukan rencana yang melampaui kemampuan peserta didik, melainkan rencana yang dapat dilaksanakan peserta didik.
  7. E (=Evaluasi): pada tahan ini fasilitator, guru mempertanyakan kepada peserta didik tanggapan mereka atas pembelajaran model ANSOS: senang, tidak senang, puas sulit, dan lain sebagainya.
4. Strategi Pembelajaran

Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti tidak lain ialah pembelajaran mengenai hidup. Pengalaman hidup peserta didik menjadi sentral dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu strategi pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti perlu dirancang sehingga memungkinkan optimalisasi potensi-potensi yang dimiliki peserta didik yang meliputi perkembangan, minat dan harapan serta kebudayaan yang melingkupi kehidupan peserta didik. Metode yang relevan untuk mengoptimalisasikan potensi peserta didik dan pendekatan saintifik sesuai dengan kurikulum 2013 antara lain: observasi, bertanya, refleksi, diskusi, presentasi, dan unjuk kerja. Rencana pembelajaran meliputi analisis kompetensi, analisis konteks, identifikasi permasalahan (kesenjangan antara harapan dan kenyataan), penentuan strategi yang meliputi pemilihan model, materi, metode, dan media pembelajaran untuk mencapai kompetensi bertolak dari konteks. Berdasarkan keseluruhan gagasan tersebut disusunlah proses pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.



September 13, 2015

0 comments:

Posting Komentar