PENGERTIAN PENYAKIT DERMATOFITOSIS

Jumat, 06 November 2015

BAB I TINJAUAN PUSTAKA 
I. DERMATOFITOSIS 
A. DEFINISI 
Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara umum disebut mikosis. Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu mikosis profunda, yaitu yang menyerang alat di bawah kulit dan mikosis superfisialis, yaitu yang menyerang kulit, rambut, atau kuku. Mikosis superfisialis dapat dibagi menjadi dermatofitosis dan non dermatofitosis. 

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk. Jaringan tersebut misalnya adalah stratum korneum, rambut, dan kuku. Penyebab dari dermatofitosis ini adalah dermatofita. Dermatofita bersifat keratofilik, mencerna keratin dan membutuhkan zat makanan untuk pertumbuhannya sehingga dermatofita akan banyak ditemukan pada daerah yang kaya akan zat keratin seperti kulit, kuku, dan rambut. Hingga saat ini terdapat 40 dermatofita yg telah dikenal, terbagi dalam tiga spesies yaitu epidermophyton, microsporum, dan trichophyton .

B. PATOGENESIS
Secara umum, dermatofita dapat bertahan dengan mencerna keratin sebagai sumber nutrisi. Terdapat 3 tahap pada infeksi dermatofita: 
  • Adherensi 
  • Penetrasi 
  • Timbulnya respon host2 
C. KLASIFIKASI  
Saat ini klasifikasi dermatofitosis yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan lokasi. Terdapat 6 bentuk dermatofitosis yang saat ini dikenal yaitu: 
  • tinea kapitis, yaitu dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala; 
  • tinea barbe, yaitu dermatofitosis pada jenggot;
  • tinea kruris, yaitu dermartofitosis pada daerah genitokrural, anus, bokong, dan perut bagian bawah;
  • tinea pedis et manum, yaitu dermatofitosis pada kaki dan tangan; 
  • tinea unguium, yaitu dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki;
  • tinea korporis, yaitu dermatofitosis pada bagian lain selain bentuk 5 tinea di atas. 
Selain itu juga terdapat beberapa istilah dengan arti khusus seperti: 
  • tinea fasialis dan tinea aksilaris yang menunjukkan daerah kelainan; 
  • tinea imbrikata;
  • tinea favosa; 
  • tinea sirsinata dan arkuata; 
  • tinea inkognito 
Gejala klinis tergantung pada daerah mana yang terkena. Biasanya lesi berbentuk polimorf dengan tepi yang lebih aktif.

1. Tinea  Pedis 
Tinea pedis atau yang sering dikenal dengan nama athlete's foot atau kutu air adalah dermatofitosis pada kaki, terutama sela- sela jari dan telapak kaki. Selain pada kaki, kelainan juga dapat terjadi pada tangan dan disebut tinea manus. 

Terdapat beberapa jenis tinea pedis. Yang sering terlihat adalah bentuk interdigitalis dengan predileksi terutama pada sela jari ke-4 dan ke-5. Kelainan berupa fisura yang dilingkari oleh sisik halus dan tipis. Kelainan dapat meluas ke daerah subdigital dan sela jari lain. Kelainan juga sering disertai maserasi akibat dari keadaan daerah kaki yang seringkali lembab. 

Bila maserasi dibersihkan akan terlihat kulit baru yang umumnya juga telah diserang oleh jamur. Hal ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, hingga bertahun- tahun dengan sedikit atau bahkan tanpa keluhan sama sekali. Kelainan juga dapat disertai infeksi sekunder sehingga dapat terjadi selulitis, limfangitis, atau erisipelas. 
Gambar 1.1. Tinea Pedis Interdigitalis

Selain bentuk interdigitalis, dapat terjadi juga bentuk moccasin foot berupa kulit yang menebal dan bersisik pada seluruh kaki dengan eritema ringan pada tepi lesi disertai papul atau vesikel, atau bentuk subakut yang ditandai dengan vesikel dan vesikopustul yang jika pecah membentuk lingkaran yang disebut dengan koleret. 

Tinea pedis banyak terjadi pada orang- orang yang sehari- hari sering memakai sepatu tertutup dan perawatan kaki yang tidak baik atau para pekerja yang kakinya sering basah. 

2. Tinea Unguium 
Tinea unguium adalah dermatofitosis pada kuku. Terdapat 3 bentuk klini menurut ZAIAS, yaitu : 
  • Subungual distalis, yang dimulai dari tepi distal atau disolateral kuku dan menjalar ke proksimal. Pada bagian bawah kuku dapat ditemui sisa kuku yang rapuh. Jika proses berlanjut kuku pada bagian distal akan hancur menjadi menyerupai kapur;
  • Subungual proksimalis, dimulai dari pangkal kuku. Pada kelainan tipe ini, didapatkan kuku bagian distal masih utuh sedangkan bagian proksimal sudah rusak. Sering dijumpai pada kuku kaki; 
  • Leukonikia trikofita, kelainan kuku berupa keputihan di permukaan kuku. Kelainan ini disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes. 
3. Tinea kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada daerah lipat paha, perineum, dan sekitar anus. Kelainan dapat bersifat akut atau menahun bahkan hingga seumur hidup. Lesi dapat meluas dari daerah genito-krural hingga ke sekitar anus, daerah gluteus, atau perut bagian bawah. Tinea kruris menimbulkan kelainan berupa lesi berbatas tegas pada daerah kruris. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengah. Eflorosensi bersifat polimorf, terdiri dari lesi primer dan sekunder. Bila berjalan kronik, lesi dapat berupa bercak hitam yang bersisik sedikit. Tinea kruris sering ditemukan di Indonesia.

4. Tinea Korporis
Tinea korporis merujuk pada semua dermatofitosis pada daerah kulit yang tidak berambut kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan skrotum. Kelainan berupa lesi yang bulat atau lonjong berbatas tegas dengan eritema dan skuama kadang disertai vesikel dan papul di tepinya. Seperti jenis tinea lainnya, lesi lebih aktif pada tepinya. Lesi- lesi pada umumnya merupakan bercak- bercak terpisah satu dengan lainnya dan jika menjadi satu membentuk lesi dengan tepi polisiklik. Kelainan lebih sering ditemukan pada anak- anak. 

Pada tinea korporis menahun, biasanya tidak terlihat tanda radang lagi. Bentuk menahun dengan penyebab Trichophyton rubrum sering terlihat bersama- sama tinea unguium. Terdapat bentuk tinea korporis lain yang khas yaitu tinea imbrikata berupa lingkaran- lingkaran skuama yang konsentris. Pada kasus menahun penderita seringkali sudah tidak merasa gata seperti pada awal infeksi dan kadangi kadang lesi dapat menyerupai iktiosis.

Gambar 1.2. Tinea Corporis

5. Tinea Fasialis 
Tinea fasialis adalah dermatofitosis pada kulit tidak berambut pada wajah. Secara tidak langsung, tinea fasialis sebenarnya merupakan bagian dari tinea korporis akan tetapi karena penampakan yang seringkali atipikal, tinea ini dibedakan dari tinea korporis. Pada laki- laki dapat juga terjadi tinea barbae yaitu dermafitosis pada bagian jenggot. Tinea fasialis seringkali didapatkan dari binatang peliharaan akan tetapi juga dapat ditularkan dari individu lain yang memiliki dermatofitosis dari bagian tubuh lainnya. 

Sehubungan dengan kompleksitas anatomi wajah, penampakan atipikal seringkali muncul pada kulit wajah dibandingkan dengan lesi tinea korporis pada bagian tubuh lainnya. Lesi muncul berupa bercak eritematosa tunggal atau multipel tanpa struktur anular yang seringkali menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga seringkali salah didiagnosis.

Gambar 1.3. Tinea fasialis

Manifestasi tipikal seperti pada tinea korporis lainnya juga dapat terjadi yaitu lesi eritematosa anular atau serpiginosa dengan tepi yang aktif dan kadang ditemui papul atau vesikel. Bagian kulit yang paling sering terkena adalah pipi, disusul dengan hidung, periorbital, dagu, dan dahi.

6. Tinea Kapitis  
Tinea kapitis merupakan dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi kerion. Tinea kapitis terbagi menjadi 3 bentuk secara klinis, yaitu: 
  • Grey patch ringworm, merupakan tinea kapitis yang disebabkan oleh microsporum sp. Awalnya berupa papul merah kecil di sekitar rambut kemudian melebar, membentuk bercak, dan menjadi pucat bersisik. Keluhan terutama berupa rasa gatal. Selain itu ditemukan perubahan pada warna rambut dan menjadi tidak berkilat. Rambut kemudian mudah patah dan terlepas dari akar sehingga pencabutan dengan pinset tidak menimbulkan rasa nyeri. Pada akhirnya dapat ditemukan alopesia setempat yang terlihat sebagai grey patch. Pada pemeriksaan dengan lampu wood, dapat terlihat fluoresensi hijau kekuningan yang luasnya dapat melebihi grey patch. 
  • Kerion, merupakan tinea kapitis dengan peradangan yang berat. Dapat terlihat pembengkakan dengan bentukan seperti sarang lebah dengan sebukan sel radang di sekitarnya. Kerion dapat menyebabkan jaringan parut yang menyebabkan alopesia menetap. 
  • Black dot ringworm, disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Gambar klinis awalnya menyerupai grey patch ringworm. Rambut yang terinfeksi kemudian patah tepat pada muara folikel,meninggalkan ujung rambut yang penuh spora, memberikan gambaran black dot.
Gambar 1.4. Grey Patch Ringworm

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG  
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan mikologik dapat berupa pemeriksaan langsung ataupun biakan. Bahan untuk pemeriksaan mikologik dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Sebelum dikerok, daerah yang akan diambil specimen terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alcohol. 

Untuk kulit tidak berambut dapat diambil bagian tepi dengan kelainan sampai sedikit di luar menggunakan bagian tumpul dari skalpel. Untuk kulit berambut dapat digunakan pinset untuk mencabut rambut dengan kelainan. Kulit sekitar daerah rambut tersebut juga dikerok. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat dilakukan sebelum pengumpulan bahan. Untuk kuku dapat dilakukan pemotongan hingga mengenai seluruh tebal kuku pada kuku yang sakit dan diambil bahan di bawah kuku. 

Jika specimen akan dibuat sediaan basah, maka specimen diletakkan di atas gelas objek kemudian diteteskan 1-2 tetes larutan KOH. KOH yang digunakan untuk rambut adalah 10 %, kulit 20%, dan kuku 30%. Setelah itu ditunggu 15-20 menit agar jaringan larut. Dapat dilakukan pemanasan untuk mempercepat proses akan tetapi jangan sampai beruap. Pada sediaan kulit dan kuku dapat terlihat hifa ataupun artrospora. Pada sediaan rambut dapat terlihat mikrospora dan makrospora. 

Pemeriksaan dengan biakan diperlkan untuk menentukan spesies jamur. Media yang digunakan adalah agar saboraud. Dapat ditambahkan antibiotic seperti kloramfenikol untuk menghindari kontaminasi1 . 

E. PENGOBATAN  
Pengobatan dermatofitosis umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 10-25 mg/kgBB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab, dan keadaan penderita. Setelah sembuh pengobatan masih dilanjutkan 2 minggu untuk menghindari keadaan residif. Untuk mempertinggi absorbsi obat, obat dapat dimakan bersama makanan berlemak. 

Obat per oral lain yang dapat digunakan adalah ketokonazol yang ebrsifat fungistatik, khususnya pada kasus- kasus resisten terhadap griseofulvin. Dosis sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari hingga 2 minggu. Pada kelainan hepar, tidak boleh diberikan ketokonazol. Sebagai gantinya, dapat digunakan itrakonazol 2 x 100-200 mg/hari selama 3 hari. Untuk onikomikosis dapat diberikan hingga 3 bulan. 

Selain itu terdapat terbinafin yang bersifat fungisidal. Dapat diberikan selama 2-3 minggu dengan dosis 62,5- 250 mg.hari. Efek sampingnya ditemukan pada sekitar 10% penderita berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan konstipasi ringan. 

Untuk obat- obat topical dapat diberikan asam salisil, 2-4%, sulfur 4-6% atau obat- obat baru seperti tolnaftat, tolsiklat, dan haloprogin. Pemberian obat juga harus memperhatikan vehikulum yang cocok untuk lokasi lesi terkait1 . 

II. DERMATITIS SEBOROIK 
Merupakan penyakit kulit akibat faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik. 
A. GEJALA KLINIS 
Secara klinis tampilannnya adalah : 
1. Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama, membentuk plakat eritroskuamosa di tempat predileksinya, yaitu terutama di alis dan nasolabial, scalp, retroaurikuler, sternal terutama daerah V, interskapula, aksila. umbilikus, dan genito-krural. 

2. Pada bayi dan anak: 
  • Dapat dimulai pada masa bayi berusia 2 minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun.
  • Relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopic, skuama dan krusta lebih berminyak. 
  • Pada daerah scalp, krusta dapat menebal dan menyerupai topi. 
  • Bila meluas dapat menjadi eritroderma, dapat merupakan bagian dari sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan muntah sertai infeksi sekunder bakteri. 
3. Pada dewasa: 
  • Kelainan kulit lebih kering. 
  • Tempat predileksi lebih utama pada daerah berambut atau kepala. Gatal terutama bila berkeringat atau udara panas.
Gambar 1.5. Dermatitis Seboroik pada bayi2       

Gambar 1.6. Dermatitis Seboroik pada dewasa2

B. PENATALAKSANAAN 
1. Non-medikamentosa 
a. Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat. 
b. Perbaiki pola hidup, terutama makanan berlemak/pedas, hidup seimbang. 

2. Medikamentosa 
a. Prinsipnya menghilangkan dan mengeluarkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi sekunder, mengurangi eritema dan gatal. 

b.   Pilihan terapi: 
1. Antijamur 
  • Topikal: Imidazol 
  • Oral: Ketokonazol, Itrakonazol, Terbinafin 
2. Metrodinazol 
  • Topikal: Metrodinazol 1 – 2% (gel, krim) atau 0,75% (lotion) sebanyak 1 – 2 kali sehari.
3. Inhibitor kalsineurin: Salap takrolimus atau krim pimekrolimus 
4. Analog Vitamin D: Kalsipotriol (krim, lotion atau salap), takalsitol salap 
5. Isotretinoin: Isotretinoin oral: 0,05 – 0,10 mg/kgBB/hari selama beberapa bulan. 
6. Fototerapi: Narrow band UVB atau Psoralen dan UVA untuk yang luas 
7. Konsultasi 
  • Ke psikolog atau psikiatri jika ada stress. 
  • Ke dokter anak atau IPD jika ada kelainan sistemik. 
III. PSORIASIS 
A. DEFINISI  
Merupakan peradangan pada kulit yang bersifat kronik residitif yang ditandai dengan plak eritematosa dengan skuama kasar di atasnya yang transparan, berlapis- lapis. Pada penyakit ini juga terdapat fenomena tetesan lilin, Aispitz, dan Koebner. 

B. GEJALA KLINIS
1. Psoriasis Tipe Plak 
  • Bentuk yang paling umum terjadi. 
  • Berbentuk plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berwarna keperakan. 
  • Daerah predileksinya siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar. Terkadang genitalia. 
2. Psoriasis Guttata 
  • Onset mendadak, sering paska infeksi streptokokal pada saluran napas atas. 
  • Berbentuk menyerupai tetesan air, plak berwarna merah muda dengan skuama.
  • Daerah predileksinya badan dan ekstremitas. 
3. Psoriasis Pustularis Generalisata (von Zumbusch) 
  • Berbentuk pustule steril yang dapat membentuk gabungan pustule dengan kumpulan pus. 
  • Terdapat gejala sistemik, seperti demam dan malaise.
  • Daerah predileksinya area tubuh dan ekstremitas. 
4. Psoriasis Pustulosa Lokalisata 
  • Berbentuk pustule yang dapat terletak di atas plak. 
  • Daerah predileksinya adalah palmar dan plantar.
5. Psoriasis Eritroderma 
  • Bersifat generalisata dan berat (hampir 100% luas permukaan tubuh). 
  • Berbentuk eritema yang luas disertai dengan skuama. 
  • Fungsi pelrindungan kulit hilang, rentan infeksi, temperatur tubuh tidak terkontrol, kehilangan cairan banyak, membahayakan jiwa. 
  • Gejala sistemik berupa demam dan malaise. 
C. PERJALANAN PENYAKIT 
  1. Usia awitan: 16 – 22 tahun dan 57 – 60 tahun. 
  2. Infeksi, terutama streptokokus dapat sebagai pemicu. 
  3. Obat, seperti litium, anti malaria, alkohol, dan beta-blocker dapat sebagai pemicu. 
Gambar 1.7. Gambaran psoriasis

D. PENATALAKSANAAN 
1. Edukasi Pasien 
  • Edukasi yang efektif akan meningkatkan keberhasilan pengobatan. 
  • Inti edukasi adalah meyakinkan pasien bahwa penyakit ini banyak dijumpai dan dapat dikontrol dengan terapi yang baik namun tidak dapat disembuhkan.
2. Fototerapi / Fotokemoterapi 
  • Ultraviolet B (UVB) broadband (BB)
  • Ultraviolet B (UVB) narrowband (NB) 
  • PUVA 
  • Soak / bath PUVA 
  • Laser 308-nm excimer 
3. Terapi Topikal
  • Emollen 
  • Kortikosteroid 
  • Ditranol (Antralin) 
  • Keratolitik
  • Retinoid
  • Analog Vitamin D 
  • Tar
4. Terapi Sistemik 
  • Metroteksat 
  • Siklosporin 
  • Retinoit 
  • Hidroksiurea 
  • Mikofenolat mofetil 
  • Sulfasalazin 
  • Alefacept 
  • Efalizumab
IV. PITIRIASIS ROSEA 
A. GEJALA KLINIS  
  1. Muncul lesi pertama (herald patch) pada 50 – 90% kasus. Lesi ini biasanya berbentuk oval / bulat dengan warna salmon / eritematosa atau hiperpigmentasi (pada pasien dengan kulit gelap), berdiameter 2 – 4 cm, berbatas tegas , dengan skuama halus di bagian dalam tepi perifer plak. Lesi primer ini umumnya terletak pada bagian badan yang tertutup baju. Meskipun dapat juga pada leher. Jarang di wajah atau penis. 
  2. Lesi sekunder umumnya muncul pada 2 minggu setelah kemunculan plak primer, namun dapat bervariasi antara 2 hari hingga 2 bulan. Erupsi simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal. Lesi sekunder ini terbagi atas 2 tipe utama, yaitu plak kecil menyerupai plak primer, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan pola distribusi menyerupai bentuk pohon cemara; dan papul kecil yang biasanya berwarna kemerahan, tanpa skuama.
Gambar 1.8. Herald patch pada Pitiriasis Rosea2

Gambar 1.9. Lesi sekunder pada Pitiriasis Rosea2

B. PENATALAKSANAAN  
  1. Tidak ada terapi kausatif karena penyakit ini merupakan penyakit yang swasirna. 
  2. Untuk gejala seperti pruritus dapat dipakai kortikosteroid topikal potensi sedang. 
  3. Fototerapi dinilai efektif pada penyakit ini, namun terdapat efek samping berupa hiperpigmentasi pasca inflamasi



November 06, 2015

0 comments:

Posting Komentar